Running on Air © eleventy7 chapt 9

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 9
.
Lampu besar mengiluminasi jalan raya tak berujung dan terdapat sesuatu yang memikat, melumpuhkan soal itu. Dia bisa pergi ke mana saja. Dia bisa terus mengemudi, menuju perjalanan yang tak diketahui.
Dia mengerling kursi penumpang.
Draco ada di sana.
"Kau ada di sini," ujar Harry pelan.
"Ya."
"Aku bisa mendengarmu kali ini."
Draco menatap jalanan di depan menghilang ke bawah roda mobil, garis-garis putih berkilat cepat seakan dunia bergerak di bawah mereka dan mereka hanya diam terpaku.
"Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal," kata Draco.
"Tidak." Kata itu keluar sebelum sempat Harry hentikan.
"Aku punya sesuatu untukmu." Draco memalingkan muka. "Sebuah memori. Tapi untuk memberikannya padamu butuh harga yang besar."
"Jangan." Mungkin ini karena ramuan, mungkin ini karena kesadaran menghantam Harry bagai ombak menabrak karang: bisa jadi ini terakhir kalinya dia melihat Draco. Dia tidak tahu apakah dia akan pernah bisa menemukannya. "Aku lebih memilihmu daripada memori."
Draco kembali menatap jalanan. "Setelah aku memberikan memorinya padamu," ujarnya, "Aku tidak akan bisa datang lagi."
"Apa kau dengar aku?"
"Aku mendengarmu."
Harry mengendara dalam keheningan untuk waktu lama. Matanya terus terpaku pada jalanan di depan, tapi dia bisa merasakan berat tatapan Draco padanya. Kemudian, Draco berbicara pelan.
"Menepilah."
"Apa? Sekarang?"
"Ya."
Mereka memasuki desa kecil di Hampshire. Ada taman bermain di dekat sana, embun malam berkumpul di atas ayunan kosong. Harry belok ke tempat parkir di sampingnya. Dia mematikan mesin dan menunggu. Draco diam untuk waktu lama dan Harry pikir dia tengah mengumpulkan pikiran. Draco memang metodikal seperti itu. Segalanya harus berurutan dengan benar.
"Menurutmu apa yang terjadi padaku?" tanya Draco akhirnya. Harry mengeryit.
"Apa maksudmu?"
"Bagaimana aku menghilang."
"Yah—hilang secara paksa, tentu saja—"
"Bukan."
Harry menunggu lama, sambil berkonsentrasi merasakan roda kemudi di bawah tangannya. Sesuatu yang solid, sesuatu yang nyata. Dia menghembuskan napas perlahan-lahan.
"Bukan?" ulangnya pada akhirnya, berusaha menyembunyikan rasa dikhianati dalam suaranya, tapi tetap saja kelihatan.
"Bukan. Aku memilih untuk menghilang. Setidaknya, pada awalnya."
Harry terdiam lama. Dia mengerling taman bermain, menatap ayunan-ayunan kosong, jejak kaki usang di rumput bekas orang-orang yang mencari jalan pintas. Jalan hasrat, kalau tidak salah namanya begitu. Ketika seseorang menciptakan jalan mereka sendiri alih-alih menggunakan jalan yang sudah ada.
"Kau marah," ujar Draco, dan Harry berusaha tertawa, tapi suara yang keluar sedikit lebih dari sekadar teriakan tercekik.
"Kau meninggalkan orang-orang di belakangmu, Draco. God, pernahkah kau memikirkan orang lain? Istrimu, Astoria —dan ibumu, dia tidak pernah berhenti mencari— sialan! Sialan kau dan sikap egoismu—" Harry memotong dirinya sendiri, membenci Draco, membenci dirinya sendiri. Dia mencoba tertawa getir, tapi dia bahkan tak kuasa melakukan itu. Dan dia mencari-cari handel pintu, tiba-tiba merasa claustrophobic, butuh pelarian.
"Kau mau pergi?" tanya Draco.
Harry berhenti.
"Aku akan mengerti," ujar Draco setelah beberapa saat. "Mudah untuk pergi."
Sulit untuk pulang.
Harry mengembuskan napas perlahan dan menjatuhkan tangannya dari pegangan pintu.
"Kenapa?" tanyanya.
Lagi-lagi keheningan panjang. Lalu, "Aku tak tahu. Aku hanya bermaksud pergi selama tiga bulan. Aku memutuskan untuk kembali sesudah itu, untuk memperbaiki beberapa kesalahan, tapi… terjadi sesuatu."
Rasa frustasi menusuk-nusuk Harry bagai jarum. "Draco—"
"Apa kau pernah berlatih seni Legilimency?"
Jantung Harry mencelos. Dia berpaling, menatap ke luar langit malam. Angin bermain-main di sekitar taman bermain, membuat ayunan bergerak. Bila Harry mendengarkan dengan seksama, dia dapat mendengar bunyi keretak rantai.
"Aku bisa melakukan mantranya," kata Harry akhirnya. "Tapi tidak akan bekerja dengan bagus. Mereka bilang padaku untuk sering berlatih demi mencalon sebagai Kepala Auror, dan…" dia terhenti, "Aku tidak suka," ujarnya akhirnya, menatap ayunan yang bergerak perlahan. Lalu dia menoleh kembali pada Draco dan mengangkat tongkat sihirnya. "Tapi aku akan mencobanya."
"Tunggu."
Harry menunggu. Draco menyentuhkan sebelah tangan ke jendela, jari-jarinya menetap di atas kaca dingin seolah berusaha menguatkan dirinya sendiri entah bagaimana.
"Baiklah."
"Legilimens."
xxx
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Harry merapal mantra itu dan dia meringis begitu dia mengucapkan kata itu, menunggu memori-memori semrawut menabrak ke dalam kepalanya, menunggu untuk tertangkap tanpa daya ke dalam kesadaran orang lain.
Tapi tak ada apapun kecuali kegelapan dan keheningan, dan untuk sesaat dia pikir dia gagal total.
Lalu sebuah adegan perlahan mencerah di sekelilingnya hingga dia mengerjap-ngerjap pada matahari. Segalanya tampak begitu silau dan kering; dia bisa melihat setiap warna, merasakan setiap tekstur. Rasanya sama sekali berbeda dengan memori dalam pensieve. Dia tengah berdiri di tengah padang gandum. Dia mengulurkan sebelah tangan, merasakan gandum keemasan menggelitik jari-jarinya. Terdapat aroma musim panas menyengat di udara, aroma udara kering dan rumput kering.
Dia mendongakkan kepala, menatap langit. Langitnya biru tanpa awan, begitu murni dan sempurna. Mungkin dia bisa tinggal di sini selamanya. Dalam musim panas tanpa akhir. Di sini, di dalam benaknya.
Lalu dia berbalik perlahan dan berjalan melintasi padang. Gandum-gandum bergoyang ke segala arah, lautan keemasan. Di kejauhan, terdapat jalan hitam tipis memotong daratan bagai bekas luka, sebuah Renault Mégane diparkir di sampingnya.
Harry berjalan ke arah sana. Dia merasa ganjil dan tidak terhubung dari segalanya. Tidak bahagia, tidak sedih, tidak marah.
Kosong.
Dia membuka pintu pengemudi dan duduk, mengerling kaca spion. Dia dapat melihat dirinya sendiri, tapi pada saat yang sama itu bukan dirinya. Untuk sesaat, hijau matanya memudar menjadi abu-abu.
Dia menyalakan mesin dan mengemudi. Untuk sejenak, yang dia lihat hanyalah jalanan.
Kemudian gambar-gambar berkilat melintasi dirinya bagai serangkaian foto, bagai hembusan angin ketidakbahagiaan. Orangtuanya —bukan, itu adalah orangtua Draco— muda dan tersenyum lagi. Lucius akan selalu menjadi orang terkuat di dunia, dan Narcissa paling cantik, dan keluarga mereka sempurna—
—dan kemudian mereka menua, dan Lucius tampak sangat lemah dan ketakutan dan itu tidak seharusnya terjadi, para ayah seharusnya tak terkalahkan— dan itu membuat perutnya mual, itu membuatnya sangat ngeri—
—Narcissa dan Lucius bertengkar lagi. Tampaknya akhir-akhir ini mereka selalu melakukan itu, tapi suara Narcissa semakin lama semakin pelan karena terlalu banyak orang di dalam rumah sekarang. Bibi Bellatrix membuat tahanan menjerit, menjerit, menjerit, hingga Harry ingin memukulkan kepalanya sendiri ke dinding atau hanya pergi ke ruang bawah tanah dan meng-Avada Kedavra mereka semua demi membebaskan mereka dari penderitaan mereka—
—atau mungkin dia akan meng-Avada Kedavra dirinya sendiri. Lalu segalanya akan berakhir. Tidak ada lagi yang bisa mengontrol dirinya bila begitu. Tidak ada siapa pun yang dapat mengontrol orang yang sudah mati. Tapi dia bahkan tak kuasa melakukan itu. Dan dia berdiri di depan cermin dengan tongkat sihir diangkat ke dahinya sendiri tapi dia tak kuasa untuk melakukannya, itu menyedihkan—
—Dan kemudian emosi-emosi. Semua kemarahan dan kebingungan dan kemurkaannya mati bersama peperangan. Lucius pergi dan Narcissa bilang dia akan segera bergabung dengannya, tapi dia tidak bisa pergi. Bila dia lari, dia hanya akan jadi seperti ayahnya. Dan bukankah itu ironi, ketika dia menghabiskan separuh hidupnya ingin tumbuh dewasa menjadi seperti ayahnya—
—tidak, dia adalah master rumah ini sekarang, jadi dia harus menjadi putra yang sempurna untuk sekarang. Dan dia tidak bisa lari, dia harus mengatur semua urusan keuangan dan memastikan Narcissa tidak tersia-sia dan menjaga dirinya sendiri dengan benar. Dan dia harus memastikan segalanya sempurna. Dia akan menikahi seseorang dan mereka akan punya rumah dan kehidupan terhormat dan segalanya akan jadi sempurna—
Tapi tidak begitu.
Dan dia tidak merasakan apa pun di dalam. Seakan perang telah memotong segala yang pernah membuatnya manusiawi dan tak meninggalkan apa-apa selain potongan kertas.
Aku tidak bisa lari. Aku tidak ingin lari, aku tidak ingin melakukannya—
Tiba-tiba Harry direnggut keras ke depan, seakan tangan-tangan tak terlihat menyambar kerah bajunya, dan dia mengenali tempat ini.
Dia tengah berdiri di tengah emporium burung hantu.
Ketika itu suatu hari di bulan September yang hangat. Musim panas mulai memudar dari bumi. Dia akan membeli burung hantu baru kemudian pulang ke rumah dan…
…dan memulai segalanya lagi. Setiap hari sama saja, dan dia sudah tak tahan lagi. Kekosongan ini, rutinitas tanpa henti ini. Bagai menyanyikan lagu yang sama lagi dan lagi. Bagai menggambar garis di peta untuk perjalanan yang tak akan pernah dia lakukan. Bagai berlari di udara. Dia harus lari, lari, lari, hingga dia tak bisa mendengar seseorang memanggil namanya lagi. Hingga dia lupa segalanya. Hingga dia tersesat. Hingga dia hilang.
Dia berjalan keluar dari dalam toko. Ketika itu suatu hari di bulan September yang hangat. Dia bisa pergi ke mana saja.
Dia ber-Dissaparate.
xxx
Harry merasakan dingin terlebih dahulu, dan kemudian seluruh sisa inderanya menyaring masuk. Dia tengah duduk di kursi pengemudi Renault, tapi dia sudah jadi dirinya sendiri lagi. Dalam kepalanya sendiri.
Saat itu malam hari, dan dia parkir di sebelah taman bermain di suatu kampung kecil di Hampshire. Dia mengerling kaca spion, hanya untuk menatap refleksinya sendiri, hanya untuk memastikan dia betul-betul dirinya.
Dia menoleh ke samping, ke kursi penumpang. Draco duduk di sana, tapi dia tampak kelelahan, sama padatnya dengan asap, dan Harry menyadari dia sudah mulai pudar.
"Hal yang paling buruk adalah," ujar Draco, setiap katanya dibebani oleh kelelahan, "Bahkan sekarang pun, aku tidak yakin aku ingin pulang. Aku lari, sama seperti ayahku. Semuanya tidak berguna sekarang, bukan?"
"Kau tidak lari," kata Harry, hatinya berat oleh emosi, dan dia tidak dapat membedakan apakah itu kesedihannya sendiri atau sisa-sisa kesedihan dari pikiran Draco. "Kau hanya pergi untuk sementara waktu. Kita semua seperti itu." Dia mengingat Ron yang meninggalkan mereka selama pencarian Horcrux; dia mengingat dirinya sendiri dan masa-masa di mana dia mengharapkan kematian yang cepat untuk membebaskan dia dari pilihan perang yang dipaksakan padanya.
"Apa kau ingat," kata Draco, "Ketika kita masih sebelas tahun?"
Harry menatap keluar taman bermain, mendengarkan deru angin menembus rantai-rantai ayunan.
"Ya," jawabnya.
Ketika dia menoleh kembali pada Draco, dia tidak ada di sana.
Dia akhirnya hilang.
Dia akhirnya pergi.
xxx
Harry tiba di rumah Ron dan Hermione tengah malam lewat sedikit. Hermione menatap wajahnya, lalu dengan segera bersiap-siap menyeduh teh. Ron menggiring dia ke depan perapian.
"Apa yang terjadi? Apakah ramuan keberuntungannya bekerja?" tuntut Ron. "Kau kelihatan seperti habis pulang dari neraka."
"Kurasa, ramuannya bekerja," kata Harry. "Sekarang pun masih bekerja. Kau bilang dua belas jam, iya kan, Hermione?"
Hermione mengangguk, datang menghampiri mereka untuk duduk di sofa berlengan di seberang Harry. "Kapan kau minum Felix Felicis-nya?"
"Jam satu siang hari ini."
Hermione mengecek jamnya. "Masih tersisa dua puluh menit."
"Kau perlu sesuatu yang lebih kuat dari teh?" tanya Ron. "Aku punya beberapa wiski-api kalau kau mau."
"Tidak, terima kasih." Harry menerawang ke dalam kobaran api. Apinya berkobar pelan dalam perapian dan apinya kecil, bergetar lembut di atas arang membara. "Draco sudah hilang."
Ron menyeret pijakan kaki terdekat dan bertengger di atasnya, tampak khawatir. "Memang itu keseluruhan kasusnya, kan? Maksudku, kau sudah mencari dia selama berbulan-bulan. Itu sih tidak bisa dibilang pencerahan."
Harry tertawa tanpa humor. "Dia beberapa kali muncul, ingat?"
"Oh, yeah. Aku ingat kau bercerita pada kami soal itu." Ron mengeryit. "Sejujurnya, kupikir kau hanya…"
"Mengkhayalkan segalanya?"
Ron tampak malu. "Maaf, sobat. Tapi dalam kasus ini… Kau sedikit terlalu terobsesi dengannya. Aku tak tahu, tapi obsesimu bisa mempermainkan otakmu kadang-kadang."
Hermione muncul lagi membawa tiga cangkir teh, menyerahkan salah satunya pada Harry. "Bagaimana kau bisa tahu dia tidak akan kembali lagi?" tanyanya lembut.
"Dia bilang padaku." Harry menunduk menatap cangkir teh. "Dia bilang dia tidak akan bisa kembali. Tidak cukup energi atau sihir yang tersisa." Dia bertanya-tanya apakah dia harus bercerita pada mereka soal memorinya. Normalnya dia tidak akan cerita, tapi dia punya firasat bahwa itu adalah sesuatu yang mesti dia bagikan. "Dia memintaku untuk merapal Legilimency padanya dan melihat beberapa memori."
"Oh tidak," ujar Ron, tampak waspada. "Kau kan sangat payah dalam mantra itu. Apa yang terjadi?"
"Aku melihat memori," ujar Harry. "Sejernih foto. Kemudian aku semacam… Yah, semua memori-memori dan emosi-emosi itu terurai, seperti gulungan tali." Realisasi atas keterampilan Draco baru disadari Harry sekarang. "Itu adalah Occlumency terbaik yang pernah aku lihat, termasuk semua pelatih Auror yang bekerja bersamaku. Kau tidak akan percaya. Aku tidak melihat memorinya… Aku hidup dalam memorinya."
"Seperti apa rasanya?" tanya Hermione, tampak tertarik. "Aku sendiri belum pernah melakukannya, dan aku selalu bertanya-tanya…"
Harry ingin menjawabnya, tapi dia tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. Rasanya seperti melayang, pikirnya, tapi tanpa sapu terbang, tanpa mantra, tanpa apa pun. Hanya bergegas melintasi angkasa, dan dia teringat sangat kuat pada malam di mana Draco mengemudi di sisi sungai. Dan rasanya seolah mereka berkendara melintasi langit, dunia lenyap di bawah mereka dan bintang-bintang berjatuhan bagai hujan.
"Rasanya seperti berlari di udara," jawab Harry akhirnya.
"Oh, sudah jelas kalau begitu," ujar Ron. "Omong-omong, jangan terlalu khawatir soal itu. Kau akan memecahkan kasus ini pada akhirnya. Terutama bila kau memiliki Auror brilian sepertiku yang membantumu." Dia nyengir. "Dan Hermione, tentu saja." Ron menoleh pada Hermione. "Benar, kan?"
Hermione menatapnya kosong. Wajahnya tampak linglung dan Harry mengenalinya dengan segera. Dia perlahan menaruh cangkirnya ke samping dan sedikit maju.
"Hermione," ujarnya pelan, tapi Hermione buru-buru menyuruhnya diam dengan lambaian tangan.
Ron dan Harry menunggu. Akhirnya, Hermione pelan-pelan berdiri.
"Ron," katanya. "Bisa tolong kau bawakan buku Keajaiban Matematika dan Hukum Sebab-Akibat punyaku?"
"Aku— Apa? Buku macam apa sih yang kau baca, roket Muggle atau apa?" Ron berdiri dan menghilang, muncul lagi beberapa menit kemudian dengan buku yang sangat besar di bawah sebelah lengan. "Kau betul-betul perlu mengontrol perpustakaanmu. Aku diserang oleh pijakan kaki yang mengamuk," ujarnya menggerutu.
"Diamlah," kata Hermione terganggu, dan Harry, tak tahan terus diam, berdiri dan mulai mondar-mandir. Beberapa menit ke depan, semua yang dapat dia dengar hanyalah langkah kakinya sendiri dan kadang-kadang suara halaman buku dibuka. "Aku ingat sekarang," gumam Hermione. "Kita lihat… Itu betul-betul mewakili kutipan dari gelombang ruang, itulah kuncinya… Tiga aturan… Jangan ikut campur pada watak sebab-akibat…" Hermione mendongak pada Harry, matanya cerah.
"Harry," ujar Hermione. "Kurasa Malfoy memiliki pembalik waktu."
Jam berdentang satu kali.
Keberuntungan Harry habis.
xxx
"Ruang dan waktu selau tidak stabil ketika bersinggungan dengan sihir," ujar Hermione, sambil menyesap cangkir tehnya yang ketiga. "Ruang, iya— itulah kenapa ber-Dissaparate dalam jarak yang sangat jauh dihindari— tapi terutama waktu. Itu sangat berbahaya dan tidak stabil. Dan cara kerjanya mirip dengan ruang— berkelana melewati era yang jauh sangat berbahaya."
"Tapi dari mana dia bisa dapat pembalik waktu?" sela Ron. "Semua pembalik waktu sudah dihancurkan oleh Kementrian, ingat?"
"Aku tak tahu, Ron. Tapi itu kemungkinan." Hermione menaruh kembali cangkirnya. "Aku tak percaya aku tak kepikiran ke sana sebelumnya. Ketika kau ber-Dissaparate dan terjadi kesalahan, kau akan terbelah (splinched), dan hal yang sama terjadi padamu ketika kau menggunakan pembalik waktu dengan tidak benar."
Ron meringis. "Malfoy terbelah di antara dua dimensi?"
"Semacam itulah. Dia tidak sepenuhnya ada di ruang manapun, tapi dia juga tidak hilang sepenuhnya."
"Itu tidak masuk akal."
"Itu memang tidak perlu masuk akal," ujar Harry, mondar-mandir di depan perapian. "Hermione, bagaimana caranya menyelesaikan ini?"
Hermione menggeleng. "Aku perlu melakukan penelitian dulu. Mungkin berbincang dengan beberapa Unspeakable— mereka paham soal sihir semacam ini. Tapi, Harry, kau harus tahu bahwa hanya ada tiga catatan kasus semacam ini. Kasus semacam ini sangat jarang untuk didiagnosa karena tak ada yang tahu— seseorang biasanya menggunakan pembalik waktu secara rahasia, dan suatu hari mereka tiba-tiba lenyap dan hanya itu. Tapi dari tiga kasus tercatat itu…"
"Ya?" tanya Harry tak sabar. Hermione menunduk pada buku di pangkuannya.
"Setiap kasus itu membutuhkan pembalik waktu untuk menyelamatkan orang yang terjebak tersebut," ujar Hermione pelan. "Dan bukan hanya sembarang pembalik waktu, tapi harus pembalik waktu yang sama yang digunakan orang tersebut untuk berkelana menjelajahi waktu."
"Mustahil," kata Ron, tapi Hermione menggelengkan kepala.
"Pada dua kasus, orang tersebut menyimpan pembalik waktunya di tempat aman, di mana pembalik waktunya dapat ditemukan dan digunakan oleh penyelamat dari masa depan."
"Brilian, jadi kita hanya perlu—"
Hermione menggeleng lagi. "Para penyelamat harus menghabiskan berbulan-bulan untuk mencarinya. Pengelana waktu harus mematuhi hukum sebab-akibat— mereka tidak akan bisa memberitahu siapapun tentang bagaimana atau di mana mereka menyimpan pembalik waktunya, atau bahkan di masa mana mereka berada."
"Draco tidak bisa," ujar Harry tiba-tiba. Melihat ke belakang sekarang, semuanya masuk akal. "Dia mencoba, tapi—"
Hermione mengangguk. "Mencoba melanggar hukum sebab-akibat… Rasanya seperti mencoba ber-Dissaparate ke dua tempat berbeda sekaligus."
Ron meringis lagi. Harry menatap kobaran api perapian.
"Jadi yang perlu kulakukan hanyalah menemukan pembalik waktunya?" tanya Harry pelan.
"Yah, masih akan ada banyak sihir rumit yang terlibat, tapi— sebagai awalan, iya," kata Hermione. "Temukan pembalik waktunya, dan kita akan memulai riset."
"Kita?" ulang Ron muram.
"Kau ingin membantu, kan?" tanya Hermione.
"Hanya karena Harry sangat menjengkelkan ketika dia terobsesi pada Malfoy," jawab Ron, merosot turun dari sofa dan berjalan seenaknya ke ruang perpustakaan. Harry sedang terlalu sibuk berpikir untuk menyangkal pernyataan barusan. Dia menatap Hermione.
"Bagaimana kau bisa memecahkan ini, sih?"
Hermione tersenyum samar. "Berlari di udara."
"Apa?"
"Berlari di udara. Kau bilang berada dalam kepala Draco rasanya seperti berlari di udara." Dia berhenti sesaat. "Orang pertama yang melakukan perjalanan waktu —seorang penyihir perempuan dari abad ketujuh belas— berkata bahwa berkelana menembus waktu rasanya seperti berlari di udara."
"Kau ingat itu?"
Hermione tersenyum. "Iya. Sekarang pergi dan beristirahatlah."
Tapi malam itu dia memimpikan sungai lagi; jalan raya, dan Draco terus dan terus mengemudi. Dan Harry pikir dia akan tinggal di sana selamanya.
xxx
Sulit untuk mengatur jadwal semua orang untuk berkoordinasi, tapi di sinilah mereka. Astoria tengah mondar-mandir di dapur. Dia mulai membuat satu pot teh lagi sebelum Matthew mengingatkan dengan lembut bahwa dia sudah membuat satu pot.
"Dia telat," kata Astoria, menoleh pada Harry. "Tolong katakan saja padaku. Apa kau sudah menemukan Draco?"
"Aku ingin menunggu Narcissa," kata Harry, dan Astoria menggigit bibirnya keras lalu berpaling.
"Tiga tahun," ucap Astoria. "Tiga tahun. Merlin, aku hanya ingin ini semua berakhir. Kau tak pernah berhenti mencari sepenuhnya…"
Terdengar suara 'pop' pelan tanda seseorang ber-Apaparate. Matthew —berdiri kalem dan tegap di depan perapian bagai batu tak tergerak— angkat bicara ketika Astoria mulai terburu-buru ke depan.
"Harry, bisa tolong kau buka pintunya?"
"Aku yang akan membukanya. Ini rumahku," protes Astoria, tapi Matthew menggeleng dan Astoria mundur, membiarkan Harry menghilang ke koridor.
Narcissa tampak cukup tangguh, pikir Harry saat dia membuka pintu. Dia mengenakan jubah formal dan berat, serangkaian mutiara mengelilingi lehernya dan rambutnya ditata rumit. Akan tetapi dia menatap Harry dengan muka cemas yang tak ditutupi.
"Draco—"
"Masuklah, aku ingin berbicara pada semuanya sekaligus," ujar Harry, dan Narcissa buru-buru mengikutinya masuk ke dalam.
Astoria menyapa Narcissa dengan ala kadarnya, tapi mata kedua wanita itu tertuju pada Harry. Membuat mereka menuggu lebih lama lagi akan kejam. Harry mengambil napas.
"Apakah Draco memiliki pembalik waktu?"
Reaksi mereka memberitahu Harry segala yang perlu dia ketahui. Astoria mengerjap, tampak bingung sepenuhnya. Narcissa mulai menggelengkan kepala, lalu kilasan realisasi dan ketakutan melintasi wajahnya.
"Narcissa," kata Harry. Astoria melonjak kaget dan menoleh pada Narcissa.
"Draco punya pembalik waktu?" tuntut Astoria, ekspresinya menuduh. "Kau—"
"Tidak apa-apa," kata Harry cepat-cepat. "Narcissa, bila kau tahu sesuatu soal ini, kau harus memberitahuku sekarang juga. Kurasa Draco menggunakan pembalik waktu dan terjadi sesuatu yang sangat salah."
"Dia terjebak dalam waktu selama tiga tahun lamanya?" tanya Astoria, sembari menatap Narcissa.
"Astoria," ujar Matthew pelan. Astoria meliriknya tapi tidak menjawab. Narcissa menatap Astoria, lalu menatap pada Harry.
"Draco… Draco tak pernah punya pembalik waktu," ucapnya, sebelah tangannya meraih kalungnya. "Tapi… Lucius punya."
Astoria membuka mulut, tapi lalu dia melihat ke seberang Matthew dan tampak menangkap penghiburan tak terucap. Astoria mendekatinya dan Matthew menaruh sebelah lengannya ke bahu Astoria. Narcissa menatap tanpa betul-betul melihat pada api.
"Lucius hampir menghabiskan semua kekayaan keluarga untuk mendapatkannya," lanjut Narcissa. "Itu kegilaan, tapi dia tak dapat dibujuk. Dia sudah kabur ke Crete pada saat itu, tapi dia sering mengunjungi kami untuk membicarakan rencana masa depannya."
"Lalu dia dan Draco menggunakan pembalik waktu?" tanya Harry pelan, dan Narcissa mengerling tajam padanya, tatapannya kembali fokus.
"Tidak," jawabnya, terdengar tersinggung. "Draco tidak akan pernah menggunakannya. Tidak akan pernah! Dia memang pernah mengatakan sesuatu pada Lucius soal menggunakan pembalik waktu pada perselisihan mereka, sekali—"
Memori terakhir Narcissa, Harry ingat. Bila kau ingin melindungi keluargamu, Father, kusarankan kau mencari pembalik-waktu dan mempertimbangkan ulang keputusan yang kau buat dua belas tahun lalu.
"—dan Lucius tampak menjadi terobsesi untuk kembali ke masa lalu demi mengubah beberapa pilihan tertentu. Tapi Draco ngeri ketika dia tahu soal itu."
"Aku tahu Draco ingin kembali ke masa lalu," ujar Harry, mengingat surat-surat yang dia temukan di buku harian Draco. Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
Tapi Narcissa menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak. Draco menyesali banyak hal, tapi dia sudah mengatakan dengan jelas bahwa masa lalu tidak seharusnya ditinjau ulang. Semakin sering Lucius bicara soal menggunakan pembalik waktu, semakin Draco mendebat mengenai bahayanya dan mengkritik obsesi Lucius pada masa lalu." Narcissa ragu-ragu, lalu berpaling. "Pada akhirnya," ucapnya, begitu pelan hingga Harry harus sedikit maju untuk mendengarnya. "Draco berkata bahwa bila Lucius bersikeras pada kegilaan itu, dia akan melaporkannya pada pihak berwajib. Pada akhirnya, Draco… Draco mengambil pembalik waktunya dan men-transfigurasikannya, untuk menyembunyikannya. Dia menolak untuk memberi tahu ayahnya di mana pembalik waktu itu berada."
Astoria bergerak tiba-tiba, tapi saat Harry menoleh padanya, kedua tangannya disilangkan dan ekspresinya tak terbaca.
"Dan kemudian apa yang terjadi?" tanya Harry. Mulut Narcissa sedikit bergetar tapi dia berbicara dengan jelas.
"Draco menghilang."
Kali ini, Astoria angkat bicara. "Teganya kau! Aku sangat khawatir! Aku betul-betul kacau ketika Draco menghilang, dan ternyata kau sudah tahu—"
"Aku tidak tahu," ucap Narcissa, tampak putus asa. "Ketika Draco pertama menghilang, aku tidak tahu. Aku menghubungi Lucius, kupikir mungkin akhirnya Draco pergi ke Crete. Tapi Lucius berkata dia tidak tahu di mana Draco berada." Dia memilin kalungnya begitu keras hingga Harry pikir benangnya akan putus dan membuat mutiara-mutiara bergulir ke mana-mana. "Lalu, tiga bulan setelah Draco menghilang, Lucius mengirim surat padaku, mengatakan bahwa Draco merencanakan pertemuan dengannya. Lucius sangat senang. Dia pikir Draco sudah sadar akan kesalahannya dan ingin bergabung dengannya pada akhirnya."
"Tapi kau tidak berpikir itulah maksud dari pertemuan tersebut," ujar Harry, menatap Narcissa lekat-lekat. Narcissa menggeleng.
"Tidak. Aku… Aku punya firasat bahwa Draco akan memalsukan pertemuan, lalu memberitahukan lokasi ayahnya pada Auror."
"Kau tidak mengenal Draco," ujar Astoria tiba-tiba. "Kau tidak tahu apa yang hendak dia lakukan."
"Aku mengenal Draco lebih dari yang kau pikir," balas Narcissa, menatap Astoria. "Aku tahu pernikahan kalian palsu, dan Draco melakukannya hanya demi menyenangkanku." Dia berpaling lagi.
Kerahasiaan dan tutup mulut, pikir Harry. Kalau saja semua orang jujur pada satu sama lain…
"Kurasa aku tahu apa yang terjadi," ujar Harry pelan, dan baik Astoria maupun Narcissa menoleh untuk menatapnya. "Kurasa kau benar, Narcissa. Draco pergi dengan sengaja untuk tiga bulan, tapi memutuskan untuk kembali dan melaporkan keberadaan Lucius. Di pagi hari saat penangkapan Lucius, sumber tanpa nama memberitahu kami lokasinya. Tapi kurasa Lucius menyadari apa yang hendak Draco lakukan, dan lalu mencoba membawa mereka berdua kembali ke masa lalu. Dan terjadi kesalahan fatal."
Harry bisa membayangkan pergulatan mereka dengan sangat jelas. Mungkin pembalik waktunya rusak, atau tergelincir, tapi bagaimana pun juga— hanya Draco yang terbawa ke masa lalu, sementara Lucius tertinggal di belakang. Di tengah kekacauan setelah Auror tiba, Lucius tak punya kesempatan untuk memberitahu siapa pun apa yang terjadi sebelum dia terbunuh.
"Oh, Merlin. Oh, tidak," kata Astoria, tampak pucat dan acak-acakan. "Tidak, tidak. Selama ini Draco terjebak di masa lalu entah di mana…" Astoria mulai menangis. Rasanya aneh sekali melihat dia menangis —Astoria yang ceria dan riang, selalu tersenyum— dan Harry berpaling tak nyaman ketika Matthew menghiburnya.
Narcissa tidak menangis. Dia menatap jantung perapian, pada kobaran api yang berkedip-kedip di belakang perapian, dan matanya kering. Yang Narcissa inginkan hanyalah keluarganya utuh lagi, bersama lagi, dan tiba-tiba hati Harry perih untuknya.
"Bila Draco menyembunyikan pembalik waktunya di suatu tempat di masa lalu," kata Harry. "Apa kau tahu kira-kira di mana? Mungkin tempat favoritnya di Manor, atau area tersembunyi yang kadang-kadang dia pakai?"
Narcissa menggeleng.
"Maafkan aku," ujarnya. "Aku bahkan tidak tahu pembalik waktunya ditransfigurasi menjadi apa."
Harry mengangguk dan berusaha memikirkan sesuatu yang optimis untuk dikatakan.
Dia tidak bisa.
xxx
Dia menghabiskan seminggu berikutnya menelusuri file-file lama, membaca ulang rincian penangkapan dan kematian Lucius lagi dan lagi. Terdapat komisi dari Kementrian untuk kematiannya, tentu saja, dan itu membutuhkan laporan dari petugas forensik. Ada catatan lengkap daftar pakaian dan barang-barang yang ditemukan pada waktu kematian Lucius, dan tak ada yang terdaftar sebagai barang hasil transfigurasi. Lucius hanya membawa tongkat sihir dan sekantong kecil penuh Galleon.
Harry ber-Dissaparate ke lokasi di mana Lucius ditangkap dan mencoba meng-Accio pembalik waktu, tanpa hasil. Mungkin Draco meninggalkannya di belakang; mungkin dia menjatuhkannya sebelum menghilang. Itu bisa jadi salah satu kemungkinan, Hermione berkata pada Harry, tapi suaranya terdengar ragu.
Meski begitu, dia terus mencari.
xxx
Musim dingin perlahan meleleh menjadi musim semi. Ginny mengirim kartu pos dari Prancis untuk Harry. Ginny tengah mengunjungi Tim Nasional Prancis untuk mengukur kinerja mereka. Sebuat surat menyusul kemudian: dia membeli apartemen studio lebih dekat ke pusat London.
Kau akan terkejut (atau mungkin tidak) pada banyaknya gaji pemain Quidditch Internasional, tulis Ginny. Keuanganku dalam keadaan baik, jadi bila kau ingin pindah kembali ke apartemen Westminster, boleh saja. Aku tidak akan rewel asal kau tidak menjualnya. Kurasa kita harus mentransfer kepemilikannya, kecuali kau senang berbagi kepemilikan denganku. Kudengar pasar sewa apartemen sedang stabil saat ini.
Harry merasa dia sudah terlalu lama tinggal di rumah Ron dan Hermione, meski mereka mempersilakan. Tapi dia tidak pernah berani mengatakan itu pada mereka. Dia hanya bisa membayangkan kemarahan dan kegeraman yang akan muncul. Dia sudah tinggal di sana sejak Natal dan sekarang sudah bulan Maret.
Jadilah dia kembali pindah ke apartemen, meyakinkan Ron dan Hermione bahwa iya, dia betul-betul ingin tinggal di sana, dia butuh sedikit ruang sekarang. Dan dia bersyukur, untuk pertama kalinya, bahwa baik dia maupun Ginny tidak pernah benar-benar tinggal di sana sejak awal. Tak ada kenangan yang mesti ditangani ataupun barang-barang yang mesti disingkirkan. Segalanya hambar dan tidak personal seperti yang dia ingat.
Apartemen ini bisa jadi tempat tinggal sementara untuknya hingga dia menemukan rumah. Rumah yang selalu dia inginkan. Rumah yang dia cari sepanjang hidupnya.
Pemandangannya bagus. Tapi ini bukan dirimu, kan, Potter? Ini bukan apa-apa. Hanya kotak beton di atas langit. Kau perlu sesuatu yang lebih dekat dengan tanah. Sesuatu yang nyata.
Malam pertama kembalinya dia ke apartemen, dia berdiri di samping konter dapur dan mengingat bagaimana Draco pernah berdiri di sana sekali, cahaya dari pohon Natal kecil mengiluminasi wajahnya.
"Maafkan aku," ujar Harry, dan kata-katanya memantul di sepanjang dinding putih, lantai kayu yang dipoles. Maafkan aku maafkan aku maafkan aku.
Kedengarannya sangat mirip seperti mengakui kekalahan.

tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart