Running on Air © eleventy7 chapt 12

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 12
.
Di dalam apartemen, kotak kardus berisi barang milik Draco terduduk rapi di atas meja makan. Di kamar tamu, masih ada setengah gelas air di atas meja, kasurnya belum dirapikan.
Harry duduk di ujung kasur dan mengeluarkan tongkat sihir dari dalam saku. Hawthorn, sepuluh inchi, inti rambut unicorn.
Dia mengambil tongkat sihir itu dari Gringotts pada Selasa sore, ketika Draco masih tidur dan Harry belum mulai cemas. Tongkat sihir itu terlupakan selama bertahun-tahun; Harry berniat mengembalikannya pada Draco setelah perang usai, berencana mengirimnya lewat pos burung hantu demi menghindari kecanggungan bertemu secara langsung. Tapi dia hanya lupa. Terlalu sibuk oleh hal lain, dan tongkat sihir itu berakhir tersimpan di dalam peti barang di Gringotts setelah dia dan Ginny membeli apartemen.
Dia tak pernah ingat untuk mengambil dan membongkar peti barangnya. Butuh waktu lama baginya untuk menemukan tongkat sihir itu, dan dia harap dia setidaknya mengorganisir isi petinya, atau melabelinya. Tongkat sihir itu berada di antara tumpukan benda-benda lain: setumpuk majalah Quidditch Mingguan yang seharusnya dibuang sejak lama, satu galleon palsu yang Hermione buat untuk Laskar Dumbledore, sebuah kompas sapu terbang, rompi Weasley, pisau lipat Sirius.
Dan tongkat sihir Draco.
Harry kaget ketika dia pertama kali melucuti Draco, merebut tongkat sihirnya lalu kabur. Dia kira tongkat sihir itu akan menentang dan tidak ramah (meski dia sangat takut memakai tongkat sihir Bellatrix). Tapi tongkat sihir itu tak jauh berbeda dengan memakai, misalnya, tongkat Hermione, dan terbukti luar biasa sebagai pengganti tongkat milik Harry.
Hal itu membuat Harry merasa bersalah lagi. Draco —berdasarkan surat-surat yang dia tulis di belakang diari kalender— tak pernah melupakan tongkat aslinya dan merana karena kesulitan untuk memintanya kembali. Tapi bagi Harry, tongkat itu bahkan tidak layak mendapat pikiran kedua. Dia membuat rencana samar untuk mengembalikannya, tapi dia terlalu sibuk dengan hal-hal bodoh. Tersenyum dan sibuk dengan kawan-kawannya, hidupnya, dan dia melemparkan tongkat itu ke dalam kotak bersama benda-benda terlupakan lainnya, lalu meninggalkannya hingga berdebu di dalam kotak besi Gringotts.
Maafkan aku, Harry ingin berkata. Tapi Draco tak dapat mendengarnya. Dia tak ada di sini.
Harry mengangkat tongkat sihirnya. "Defervesco."
Draco benar. Mantra itu tidak mempan bila dirapalkan pada diri sendiri.
xxx
Siang berikutnya, ketika Harry tengah merevisi kasus terbaru, Ron melangkah cepat memasuki kantor.
Ron hanya berjalan cepat bila ada hal yang penting, Harry tahu. Di waktu-waktu lain, dia melenggang ke dalam kantor, mata jelalatan mencari kantong makanan manis.
"Malfoy sudah bangun," ujar Ron tanpa basa-basi. Harry mendongak tajam.
"Kapan?"
"Dia bangun tadi malam, sekitar jam sembilan. Dia terus tidur lagi, tapi mereka bilang kali ini tidurnya alami. Dia bangun lagi sekitar jam enam pagi dan terus terjaga."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tuntut Harry, mendorong file kasusnya ke samping lalu bangkit berdiri.
"Hanya mengantar salah satu peserta pelatihan Auror junior ke St. Mungo— dia lagi berlatih duel dan tak sengaja mengganti jari-jarinya dengan wortel. Sekalian aku tanya soal Malfoy sementara aku masih di sana."
"Kau— kau tanya soal Malfoy? Kenapa?"
"Terima kasih banyak," ujar Ron, tampak sebal. "Aku berlaku seperti manusia yang baik dan kau malah menginterogasi motifku. Baik sekali kau ini."
Harry terlalu sibuk berpikir untuk merasa menyesal. "Tak ada yang memberitahuku."
"Yah, mereka memberitahu ibunya pagi ini." Ron mengangkat bahunya simpatik. "Kau kan bukan keluarga atau bahkan teman. Kau hanya pengelola kasus."
Harry mengeryit. "Bagaimana kau bisa mendapat informasi ini dari Penyembuh? Mereka tidak memberitahu apa-apa padaku."
"Aku bisa bilang apa? Pesona alami."
Harry menyambar mantelnya dari gantungan. "Aku pergi."
"Oh, masa?" kata Ron. "Holdsworth bakal lebih mengerikan dari naga ngamuk kalau kau pergi tanpa kata. Aku harus pergi dan membuatkan alasan untukmu, kalau begitu?"
"Terima kasih, Ron. Kau yang terbaik," ujar Harry, mengabaikan sarkasme Ron dan melangkah keluar pintu. Suara Ron melayang mengejarnya.
"Kau berutang padaku, sobat!"
Harry langsung mengarah ke atrium.
xxx
Draco sudah pergi.
Penyihir wanita di belakang meja Resepsionis harus mengatakannya tiga kali pada Harry. Dia pasti berpikir otak Harry sangat lamban, karena Harry hanya bisa menatap tak mengerti ketika si resepsionis mengulang kata-katanya dengan riang.
"Mr. Malfoy pulang pada jam sebelas pagi ini. Ada hal lain yang dapat saya bantu?"
Jam sebelas. Lima jam yang lalu. Harry mengangguk akhirnya, lalu perlahan berbalik dari si wanita.
Dia kembali ke kantor. Mengikuti jejak penyihir wanita Staffodshire, yang terlihat di dekat rumah sakit. Dan ketika dia kembali ke kantornya lagi, waktu menunjukkan pukul enam tiga puluh sore. Dia menghabiskan banyak waktu untuk menulis laporan, membereskan meja, dan mengambil mantel dari gantungan, meski saat itu musim panas dan cuaca tidak menuntut pakaian ekstra.
Dia tahu kenapa dia berlama-lama.
Dia berharap Draco akan berdiri di depan pintu apartemen. Tapi dia tahu itu tak akan terjadi. Dan selama dia masih belum ada di sana, masih berdiri di dalam kantornya, dia tak akan tahu. Draco mungkin ada di sana, atau mungkin tidak. Draco Schrödinger, pikir Harry dengan senyum yang sangat kecut.
Dia ber-Dissaparate ke apartemen, muncul di lobi, dan memilih menggunakan tangga alih-alih elevator. Lantai satu, lantai dua, lantai tiga, lantai empat…
Lantai lima.
Dia melangkah memasuki koridor. Apartemennya half-floor, dan karena itu hanya ada dua pintu di koridor: satu di sebelah kiri, apartemen Harry. Satu lagi di sebelah kanan, tetangganya.
Dia mengambil kunci dari dalam saku. Setiap suara terasa dikalikan di koridor kosong: gemerincing pelan kunci, gesekan logam pada lubang pintu. Pintu mengayun terbuka dan dia melangkah ke dalam, melihat apartemen masih sama seperti saat dia tinggalkan. Tirai terbuka lebar, matahari terbenam menyinari ruangan dengan cahaya amber lembut. Dia berjalan dari satu kamar kosong ke kamar lain. Di kamar tamu masih ada segelas air di meja samping, setengah kosong.
Suara cakaran pelan datang dari area tamu. Harry meninggalkan kamar dan buru-buru ke pintu kaca geser menuju balkon; seekor burung hantu tengah mencakar kaca, tampak tidak senang.
Narcissa. Teman Harry tahu untuk tidak mengirim pos burung hantu ke rumahnya— burung hantu yang terus-terusan datang dan pergi tidak diragukan lagi akan membingungkan atau mengganggu tetangga Muggle-nya. Kirim pos burung hantu ke kantorku selalu jadi aturan Harry. Dan selain kawan-kawannya, hanya Narcissa yang tahu alamatnya.
Tebakannya tepat. Dia membaca suratnya sebentar.
Dear Harry,
Terima kasih atas semua usahamu untuk menemukan putraku. Aku akan berbicara pada atasanmu dan menyarankan rekomendasi atas kerja kerasmu.
Best wishes,
Narcissa Malfoy.
Dia membacanya lagi dan lagi. Kosong. Hanya ucapan terima kasih sopan, selamat tinggal sopan. Rekomendasi. Seolah Harry melakukan ini semua demi tepukan di kepala dan pujian. Dia merasa mual, tapi setelah mualnya reda dia mulai merasa marah. Marah bahwa tak ada yang memberitahunya apa pun, marah bahwa Narcissa jelas-jelas menganggapnya tidak begitu penting secara pribadi. Narcissa bahkan tidak menyebutkan Draco, di mana dia berada atau apakah dia baik-baik saja.
Bahkan Astoria tidak repot-repot untuk menghubungi Harry. Tapi kenapa pula Astoria atau Narcissa harus repot-repot? Kau kan bukan keluarga atau bahkan teman. Kau hanya pengelola kasus.
Lalu, tertangkap dalam kabut amarah, Harry melemparkan segenggam bubuk Floo ke perapian.
"Rumah Astoria Venn."
xxx
Matthew menyapa Harry paling pertama. Dia tengah duduk di sofa berlengan empuk di dekat perapian, membaca koran, dan dia melonjak kaget, mengumpat, ketika Harry melangkah keluar dari dalam api.
"Kau sangat mengagetkanku! Aku kan mengajarimu mengemudi— kenapa kau harus muncul dari perapian, demi Dewa-Dewi?"
"Maaf," ujar Harry tidak menyesal. "Apa Astoria ada?"
Matthew mengeryit. "Dia baru saja mengantar Sophie tidur. Dengar, apa ini soal mantan suaminya? Dia sangat sedih akhir-akhir ini. Mungkin kau harus membicarakannya besok saja."
"Tidak, aku mau membicarakannya hari ini," ujar Harry tegas, dan Matthew menatapnya. Untuk sesaat, Harry pikir Matthew akan mengusirnya, tapi lalu langkah kaki terdengar dan sebuah suara memotong ketegangan.
"Harry." Astoria berdiri di ambang pintu, wajahnya tertutupi bayang-bayang. Dia melalui hari yang berat, pikir Harry, melihat kantung gelap di bawah mata Astoria.
"Kudengar Draco sudah bangun," ujar Harry, suaranya masih sedikit ketus.
"Maaf aku tidak mengabarimu." Astoria membuang muka.
"Di mana dia?"
Astoria mengeluarkan suara yang entah tawa atau tangisan. "Kau tidak tahu?"
"Tidak."
"Dia kembali ke manor." Astoria terdiam lagi untu beberapa saat. "Merlin, itu buruk sekali. Narcissa dan aku bertengkar hebat. Biasanya kami tidak suka berselisih, tapi kurasa emosi kami saat itu sedang tinggi. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tetap tenang, tapi aku tak bisa menahan untuk merasa marah. Aku tahu, itu jahat, tapi jujur saja. Tiga tahun lamanya, dan lihat apa yang harus ibunya lalui karena dia! Hal pertama yang kutanyakan padanya adalah kenapa. Kemudian Narcissa datang, dan itu buruk sekali karena Narcissa menangis, dan aku tak pernah melihat Narcissa menangis—"
"Apa Draco mengatakan sesuatu?" tuntut Harry. Draco tak pernah membicarakan apa yang dia lalui selama tiga tahun dan Hary membiarkannya —tapi selama ini, bila yang harus Harry lakukan hanyalah bertanya—
Astoria menggeleng. "Aku tidak tahu. Kurasa dia mencoba mengatakan sesuatu beberapa kali, tapi aku sedikit —marah, sungguh— masih mencoba menanyainya, dan Narcissa berbicara padanya. Narcissa terus mengatakan padanya dia harus pulang ke rumah, ke manor, dan segalanya akan baik-baik saja."
"Lalu?"
"Narcissa dan aku berselisih pendapat. Draco masih tampak sangat parah dan aku bilang dia harus dirawat setidaknya sehari lagi. Tapi Narcissa bersikeras bahwa dia harus kembali ke manor dan terus berbicara soal kualitas perawatan." Astoria menghembuskan napas tajam. "Narcissa memang bisa jadi sangat keras kepala—"
"Lalu apa? Dia pergi begitu saja?" tanya Harry, sedikit terbata mengatakannya. Dia mengulangnya lagi, suaranya lebih kuat. "Dia pergi begitu saja."
Astoria mengangguk. "Sementara kami berdebat, Draco pergi dan berganti pakaian. Segera setelah dia muncul lagi, Narcissa membawanya turun ke meja resepsi untuk pulang—meninggalkanku begitu saja di sana, seolah aku hanya perabot atau semacamnya!"
Harry tidak menjawab. Dia menatap api.
Dia pergi begitu saja. Draco pergi begitu saja. Kembali ke manor.
Tentu saja dia kembali ke manor. Apa yang Harry harapkan?
Dia berterima kasih pada Astoria karena telah bersedia bicara padanya, memberitahunya segala yang terjadi. Astoria menawarkan teh; dia menolak.
Ketika dia ber-Floo pulang ke apartemen, dia melihat kartu-kunci Renault Mégane di atas konter. Yah, setidaknya Draco masih harus kembali ke sini untuk mengambil itu.
Dia mengambil kartu-kunci tersebut dan menaruhnya di dalam laci meja.
xxx
Harry berusaha menyibukkan diri dengan kasus-kasus lainnya. Dua minggu setelah Draco bangun dan pulang ke manor, Harry menutup kasusnya yang kesembilan, si penyihir wanita dari Staffodshire. Tinggal beberapa minggu lagi, waktunya bersama Divisi Investigasi akan berakhir.
Dia pulang ke rumah malam itu dan mendapati Draco menunggu di luar pintu.
Dia tampak…
Seperti Draco Malfoy yang dulu.
Dia memakai pakaian yang dijahit bagus dan satu set jubah hitam rapi. Rambutnya disisir rapi, lencana burung hantu emas kecil tersemat di mantel. Yang kurang hanyalah udara penghinaan samar.
Harry mencoba mengatakan sesuatu yang kasual, sesuatu yang acuh. Tapi mulutnya mengering dan semua yang dapat dia lakukan hanya mengangguk sekali pada Draco ketika dia mengambil kunci dari dalam saku lalu membuka pintu.
"Malfoy," ujarnya akhirnya, dan Draco menatapnya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang mengingatkan pada tahun keenam. Pecahan kesedihan bersembunyi di sudut mulutnya; jejak pasrah di matanya.
"Harry."
Harry buru-buru berbalik, berjalan menuju kamar. Ketika dia kembali, kartu-kunci berada di sebelah tangannya. Draco menatapnya, tidak bergerak.
"Kartu-kunci milikmu," ujar Harry, mengulurkannya.
"Aku tahu."
Mereka berdiri seperti itu lama sekali, tak ada satu pun yang bergerak. Lalu Draco mengambil kartu-kuncinya dan menatap meja makan, di mana kotak kardus berisi barang-barangnya masih tertata rapi. Dia mengeluarkan tongkat sihir —tongkat sihir ibunya, pikir Harry— dan melambaikannya ke arah kotak-kotak.
"Reducio."
Kotak-kotak kardus perlahan menciut hingga seukuran saku. Harry menyaksikan Draco memungutnya lalu bergerak ke arah pintu.
"Tunggu," ujar Harry, dan Draco berhenti. Harry merogoh sakunya dan melemparkan tongkat sihir pada Draco; dia menangkapnya dengan cekatan, menunduk menatapnya. "Itu punyamu," ujar Harry, berusaha membuat suaranya terdengar ringan dan santai. "Aku tak bisa memberimu pembalik waktu, tapi aku bisa mengembalikan tongkat sihirmu."
Draco akhirnya mengangkat kepala, melirik Harry sebelum mengetukkan tongkat sihirnya pada lencana burung hantu di mantelnya. Lencana itu meringkuk dengan sendirinya, makin lama makin kecil, hingga mirip kelereng mungil. Warna emasnya memudar menjadi perak sesaat kemudian, dan sepasang sayap kecil terbentuk di sekelilingnya.
Sebuah lencana snitch perak kecil.
"Kau mau pergi, kalau begitu?" tanya Harry, masih berusaha menjaga suaranya tetap ringan.
"Ya." Draco mengulurkan tangannya. Harry menatapnya tak mengerti, bertanya-tanya apakah dia harus menjabat tangan Draco dan mengucapkan selamat tinggal dengan sopan. Pikiran itu membuatnya mual.
Setelah beberapa lama, Draco menjatuhkan tangannya.
Lalu dia berbalik dan pergi, melangkah keluar pintu dan menutupnya. Harry mendengarkan ceklik pelan pintu, diikuti langkah kaki memudar.
Harry berdiri di tengah apartemen kosong miliknya. Matahari akhirnya terbenam sekarang, menutupi apartemen dengan banyangan dingin. Perlahan dia menuangkan minuman lalu pergi ke balkon, mendengarkan. Tapi tak ada siapa pun yang menyiulkan lagu tentang angin selatan malam ini, dan cahaya kereta tampak lebih jauh.
Harry menutup mata dan sedikit bersandar pada pegangan balkon, hanya untuk mengingatkan diri sendiri bagaimana rasanya terbang.
xxx
Ketika dia kembali ke kantor esok harinya, dia menyelesaikan kasusnya yang kesepuluh.
Mudah untuk melakukannya.
Dia mengambil file dari dalam laci meja dan membuka halaman pertama.
Nomor kasus : L10-332-5

Tanggal pelaporan : 10 September 2003
Klasifikasi Kasus : Hilang
Nama : MALFOY, Draco
Nama lain : Tidak ada.

Dia membuka halamannya perlahan. Foto Draco tersenyum padanya. Dia tidak ingat pernah melihat Draco tersenyum di dalam foto —dia selalu tampak serius dan kaku— tapi dia tersenyum pada Harry sekarang, meski samar tapi senyum itu ada.
Harry membuka halaman, menutupi foto itu dengan perkamen kosong. Lalu, pelan-pelan dia mengetukkan tongkat sihirnya pada halaman kosong.
"Kasus ditutup," ujarnya, kata-katanya berjatuhan bagai beban. Kata-kata perlahan muncul di atas perkamen, meniru pernyataannya: Kasus Ditutup.
Di bawah kata itu, lebih banyak huruf muncul. Alasan.
"Subjek ditemukan."
Satu kata lagi muncul pada perkamen. Status.
"Hidup."
Dan dengan itu, file tertutup bagai burung yang menutup sayapnya.
Dia pulang ke rumah malam itu dan akhirnya membuang segelas air dari meja samping tempat tidur. Mencuci gelasnya, mengeringkannya, lalu menaruhnya. Melucuti kasurnya dan menggantinya dengan linen bersih.
Seakan-akan Draco tak pernah ada di sana.
xxx
Di hari pertama musim panas Harry menerima promosi menjadi Kepala Auror. Williamson tengah duduk di sana, tampak senang, dengan dua kepala divisi mengangguk-angguk dan tersenyum pada satu sama lain di sampingnya.
"…sangat puas dengan kerja investigasimu, Potter," Williamson sedang berkata, tapi segala yang dapat Harry pikirkan adalah cara Williamson bicara seakan kerja investigasi hanyalah hobi, sesuatu untuk mengisi waktu luang, sesuatu yang dipakai sebagai bahan latihan.
Tapi bukan begitu. Itu adalah hidup manusia. Keluarga dan sahabat yang hilang, orang-orang putus asa ingin tahu. Tiga tahun lamanya, bisik suara Astoria, dan kau tak pernah berhenti mencari. Orang-orang berusaha untuk pulang, karena terkadang pulang adalah perjalanan paling sulit yang pernah mereka lakukan.
"Bisakah saya terus bekerja di Divisi Investigasi?" tanya Harry tiba-tiba, dan Williamson terhenti di tengah kalimat untuk memberinya tatapan kaget.
"Yah, tidak. Kewajibanmu sebagai Kepala Auror akan cukup menuntut waktu. Kau akan bertanggung jawab mengkoordinasikan proyek dan—"
"Dan bila saya ingin tetap di sana?"
Williamson bertukar pandang dengan kedua koleganya.
"Kau tidak bisa terus di sana. Kau Kepala Auror."
"Belum."
Williamson tidak mengatakan apa-apa untuk waktu lama. "Ini keputusan serius, lebih baik jangan buru-buru. Mungkin kau harus ambil beberapa hari untuk mempertimbangkan tawaran kami."
"Saya ingin tinggal di Divisi Investigasi." Harry berhenti sejenak. "Bahkan mungkin akan mengajukan pemindahan."
Williamson terbatuk. "Potter, kusarankan kau mengindahkan rekomendasiku dan pikirkan selama beberapa hari. Mari kita buat keputusan yang tidak akan kita sesali nantinya."
"Tidak." Harry sudah lelah mendengar orang lain mengatur apa yang mesti dia lakukan. Hanya pergi kemana pun orang lain membawamu. "Saya ingin melanjutkan pekerjaan investigasi. Dan bila itu berarti menolak promosi, itu tidak apa-apa."
"Dengar, kau salah satu Auror terbaik kami," lelaki di samping Williamson berkata tiba-tiba. "Kau punya rekor terkenal. Kau terlibat langsung dalam penangkapan setidaknya setengah Pelahap Maut—"
"Saya menangkap yang terakhir tiga tahun lalu," ujar Harry tajam. "Lucius Malfoy, yang meninggal dalam tahanan. Anehnya, itu tidak terasa seperti kemenangan."
"Setelah perang usai, pekerjaan Divisi Auror jelas makin berkurang. Akan tetapi, bukan berarti pekerjaanmu menjadi kurang penting," ujar Williamson tegas. Harry hampir bisa tersenyum, bila dia tidak merasa begitu pahit dalam masalah ini.
"Pekerjaan terakhir yang saya lakukan sebelum saya bekerja di Divisi Investigasi, saya menghabiskan waktu seminggu —seminggu penuh— menjadi pengawal terpuja untuk Menteri. Berdiri memakai seragam cerdas, memainkan ibu jari saya."
"Sebagai Kepala Auror," kata Williamson, "kau dapat mendelegasikan peran-peran semacam itu."
"Mendelegasikan? Anda betul-betul menawarkan hal itu sebagai keuntungan promosi? Wow, brilian. Saya selalu melandaskan keputusan saya pada berapa banyak kekuasaan yang saya miliki di atas orang lain." Harry tertawa.
Williamson meringis, tapi pulih dengan cepat. "Kita berkumpul lagi di akhir minggu," ujarnya tegas. "Potter, bagaimana kalau kau sitirahat selama sisa minggu ini?"
Harry menahan balasan tajam dan bangkit. "Saya akan menemui anda di hari Senin," ujarnya, dan mereka semua mengangguk dan berpisah canggung.
Dia naik kereta untuk pulang ke rumah. Hari pertama musim panas mekar menjadi sore malas; pasangan berjalan-jalan santai di sepanjang Regent Street, menatap pajangan di jendela. Dan bahkan kerumunan sibuk di Jalan Oxford tampak kurang bergegas dari biasanya.
Dia melihat kereta. Selalu membawa orang-orang pergi, selalu membawa orang-orang pulang.
xxx
Empat hari kemudian, hari kelima di bulan Juli, Draco pulang.
Minggu.
Musim panas datang lebih awal dan kehangatan menyelimuti kota bagai mantel, menciptakan sore yang dihiasi sinar matahari redup. Harry berdiri di balkon dan melihat orang berlalu-lalang. Anak-anak memegang permen loli sementara orangtua mereka berjalan di samping mereka. Matahari perlahan tenggelam, cahaya biru terang memukau di cakrawala. Setitik awan, sama tipisnya dengan dandelion, perlahan meluruh di sepanjang langit.
Harry masuk ke dalam, menaruh gelas kosongnya di atas konter. Dia mengambil nampan es dari dalam freezer, memasukkan es batu ke dalam gelas dan mendengarkan suara 'ting' gelas beradu dengan es. Lalu dia menuangkan rum sewarna madu di atas es batu, berhenti ketika dia mendengar ketukan di pintu. Dia menurunkan botol dan berjalan melintasi ruangan, separo menduga kunjungan dari Ginny ketika dia membuka pintu.
Draco Malfoy berdiri di sana.
"Oh," ujar Harry.
Draco menatapnya. Dia tampak seperti terakhir kali mereka bertemu —jubah formal dan penampilan tanpa cela— dan Harry masih menunggu sikap dingin itu, alis terangkat itu, dan cemooh samar itu.
Tapi Draco langsung berjalan masuk seakan dia pemilik rumah, membuka mantel, dan melemparkannya ke atas konter dapur. Dan ada sesuatu yang menenangkan dari cara dia melakukannya, seakan dia membuang topeng yang dia pakai di depan semua orang kecuali Harry.
"Mau pergi mengemudi?" tanya Draco, seakan itu undangan kasual. Seakan dia muncul dan menanyakan pertanyaan ini sepanjang waktu. Seakan ini adalah rutinitas di antara mereka.
"Baiklah," jawab Harry.
Ada semacam energi tak bisa diam di sekitar Draco. Dia mondar-mandir, sebelah tangan menelurusuri sisi konter, dan Harry pikir dia tampak seperti seeker yang hendak menangkap snitch.
Dan Harry akan melakukan apa saja untuk mencegah Draco menghilang ke dalam langit biru.
Atau setidaknya, menghilang tanpa Harry.
Mereka berjalan bersama menuju Renault. Harry menunggu Draco memilih kursi penumpang atau pengemudi; mengejutkannya, Draco memilih sisi penumpang lalu membuka glovebox, mengeluarkan atlas jalan. Harry mengisi kursi pengemudi.
"Kita mau kemana?" tanyanya pada Draco.
Draco tersenyum samar, seakan diam-diam terhibur oleh sesuatu.
"Apa?" tanya Harry, mengeryit.
"Apa kau suka menepati janji, Potter?"
"Ya?" jawab Harry tak yakin, bingung.
"Ayo kita ke Dover, kalau begitu."
Harry membuang muka, tak kuasa menyembunyikan senyum.
Dia menyalakan mesin.
xxx
Perlu waktu sekitar satu jam untuk meninggalkan London, tapi dengan segera mereka berpacu di sepanjang M2. Draco hanya berbicara untuk memberi arah jalan, dan Harry mengikuti tanpa kata. Mereka mengikuti garis daratan, melengkung di sepanjang jalan raya lalu pecah menjadi jalan yang lebih kecil, sempit, dan berkelok-kelok yang menuju pedesaan dan bertemu singkat pada sebuah gereja kecil sebelum, sekali lagi, berpisah dan terurai. Mereka berkendara di sisi sungai untuk waktu yang lama. Harry menanyakan namanya.
"Sungai Medway," jawab Draco, sebelah tangan di atas atlas. "Sungai ini terhubung dengan sungai Thames dan, pada akhirnya, Laut Selatan."
Semua sungai mengarah ke lautan. Harry tak ingat di mana dia mendengar itu.
Mereka berhenti di Gillingham untuk membeli bahan bakar. Draco, yang tengah sibuk menavigasi perjalanan mereka selanjutnya, menyerahkan sepotong kartu pada Harry.
"Ini apa?" tanya Harry kosong.
"Yah, kau lihat, Potter, ini adalah penemuan luar biasa Muggle pada tahun 1960, namanya 'kartu Bank'—"
"Aku tahu ini apa," ujar Harry, memutar mata. "Hanya saja… Kenapa kau punya kartu bank?"
"Toko Muggle cenderung tidak menerima galleon," jawab Draco seraya mengangkat bahu. "Cara yang paling mudah untuk membeli bensin."
Keajaiban tak akan pernah berakhir, pikir Harry.
Mereka lanjut mengemudi, menuju malam tak berujung. Awan datang bergulir di atas langit, menutupi bulan. Dan hujang gerimis mulai turun sekitar tengah malam. Hampir mempesona. Harry menatap hujan keperakan, diiluminasi lampu mobil, dan berpikir dia dapat melihat ribuan corak berbeda. Draco hening dan beberapa kali, Harry pikir dia tertidur. Akan tetapi setiap kali dia mengerling, dia dapat melihat cahaya terefleksi di mata Draco yang tengah menatap ke depan.
Mereka mengambil rute yang cukup berkelok-kelok menuju Dover, meninggalkan M2 untuk menjalin garis pesisir, dan perjalanan yang relatif singkat dengan segera berubah menjadi perjalanan panjang. Mereka mencapai Margate tengah malam— Dover masih satu jam lagi, Harry mengkalkulasi. Dia mulai merasa letih. Draco tampak menyadarinya, karena dia menyuruh Harry menepi dan bertukar tempat.
Harry tidak ingat kapan dia tertidur, tapi ketika dia terbangun, sinar Margate sudah lama hilang. Padang gelap gulita mengelilingi mereka, dan tak ada mobil lain dalam jarak pandang.
"Di mana kita?" tanyanya mengantuk.
"Tidak di mana pun. Kembali tidur."
Harry melakukannya.
xxx
Mereka tiba di Dover jam satu dini hari.
Harry terbangun ketika mesin mati. Mereka parkir di mercusuar, dia lihat. Satu-satunya mobil di tempat parkir berangin kuat.
Draco membuka pintu; Harry melakukan hal sama. Mereka menjejak tanah pada saat yang persis sama, batu kerikil berderak di bawah sepatu mereka, dan angin menembus rambut Harry bagai terjangan ombak. Harry tersenyum dan menutup pintu penumpang. Sedetik kemudian, terdengar gema hantaman ketika Draco menutup pintu pengemudi.
Mereka beranjak dari tempat parkir, melewati mercusuar. Dindingnya yang melengkung berkilau putih di bawah sinar bulan, tapi dengan cepat memudar di kejauhan saat mereka berjalan makin jauh, makin jauh, hingga bumi di bawah kaki mereka lembut dan basah, dan tebing putih bangkit dari dalam kegelapan seperti hantu pucat.
Harry duduk di ujung batuan kasar, mendengarkan debur ombak dan menatap Draco. Dia berdiri membelakangi Harry, menatap lautan. Bulan, terselimuti awan, menyediakan sedikit penerangan.
"Dia menjualnya," ujar Draco.
"Menjual apa?" tanya Harry.
Hening panjang.
"Menjual rumahku," jawab Draco, dan suaranya retak pada kata terakhir. Dan Harry menyadari bahwa keheningan lama tadi adalah karena Draco mencoba menenangkan diri.
Menjual rumahku.
Rumah Draco di Devon Timur, Harry menyadari dengan sakit hati yang tiba-tiba. Narcissa menjualnya. Dan perabotnya pun ikut dijual. Barang-barang Draco —empat kardus kecil, terduduk di dalam manor bertahun-tahun— hanya itu yang tersisa.
Hening panjang sebelum Draco berbicara lagi, masih belum menoleh pada Harry.
"Dia berkata aku bisa tinggal di manor selama aku suka, tentu saja." Suaranya —begitu kalem hingga sekarang— tiba-tiba naik dengan amarah tertahan. "Aku pernah pergi satu kali, tidakkah itu cukup? Merlin, aku tidak tahan tinggal di sana, aku tak tahan dia terus bergelayut padaku—" Draco terhenti tiba-tiba dan, akhirnya, berbalik untuk menatap Harry. "Astoria lebih parah, menuntut penjelasan. Dia ingin jawaban yang tak kumiliki. Ibuku ingin penghiburan yang tak bisa kuberikan. Semua orang menginginkan sesuatu, tapi aku tak punya apa pun yang tersisa untuk dibagi."
Harry diam. Cahaya tipis dari bulan hanya sedikit menunjukkan ekspresi Draco. Harry membuang muka, memiringkan kepala untuk mendengarkan debur ombak berputar di dasar tebing.
Dia sangat tahu perasaan itu. Empati mengaliri nadinya, menyusup ke bawah kulitnya. Orang-orang menginginkan sesuatu, segalanya.
Selama peperangan, perasaan itu mengikutinya di kejauhan bagai Dementor, melayang dalam pikirannya dan membayangi hari-harinya dengan keraguan-diri dan kesengsaraan. Hal yang paling buruk adalah, mereka tidak menginginkan Harry yang asli. Mereka ingin sandiwara, keceriaan palsu dan rapuh. Orang normal, orang percaya diri yang tahu persis apa yang mesti dilakukan. Katakan pada kami, permohonan tak terucapkan mereka berkata. Katakan pada kami kau baik-baik saja.
"Kau tahu," ujar Harry, "aku tak tahu apa yang sedang kulakukan."
Draco menatapnya. "Potter," ujarnya akhirnya, "itu tidak bisa dibilang menghibur."
"Memang tidak dimaksudkan untuk menghibur. Aku tak tahu apa yang sedang kulakukan, kau juga tak tahu apa yang sedang kaulakukan." Harry mengangkat bahu. "Tidak penting."
Draco menimang. "Aku tak punya rencana," ujarnya.
"Baiklah."
"Aku tak tahu kemana harus pergi."
"Kau membawa kita ke Dover, kan? Dan besok, kau akan membawa kita ke tempat lain. Ke mana saja, tidak ke mana pun, ke mana-mana."
Draco terdiam.
Mereka diam di tempat untuk waktu yang lama, hingga fajar mulai menyingsing, menimbulkan semburat samar di langit.
.

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart