Running on Air © eleventy7 chapt 8

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 8
.

Hermione dan Ron terperanjat.
"Kau tidak bisa putus dengan Ginny dua hari sebelum Natal," kata Hermione murka, menaruh mug di depan Harry dan membuat tehnya tumpah-tumpah ke atas meja kopi.
"Apa yang kau pikirkan?" tambah Ron. "Mum bakal marah besar! Dia sudah merajutkan rompi Natal yang serasi untuk kalian!"
"Dan dia bilang padaku dia menunggu kalian untuk mengumumkan tanggal pernikahan!" bentak Hermione.
"Oh, ayolah," protes Harry. "Kami sudah bertunangan tiga tahun sekarang, dan berkencan tujuh tahun!"
"Itulah keseluruhan intinya! Molly bilang, waktu mana lagi yang lebih baik daripada anniversary yang ketujuh? Tujuh dianggap angka keberuntungan bagi penyihir, Harry. Molly sudah mengharapkan pernikahan, malahan dia sudah mendesain undangan—"
"Oh, tidak," ujar Ron horor. "Mum sudah sampai ke tahap mendesain undangan?"
"Lebih parah lagi," ujar Hermione tak senang. "Aku memergoki dia tengah membuat daftar nama-nama calon cucu."
Perlahan Ron tenggelam ke sofa empuk berlengannya, sembari mencengkeram gelas Wiski-api. "Harry," katanya, "kita berbagi begitu banyak petualangan. Dan meski persahabatan kita sering diuji, aku menghargai waktu yang kita lalui bersama. Kau cowok keren dan akan dirindukan oleh banyak orang."
"Tidak separah itu juga," kata Harry. "Maksudku, Ginny tidak hancur atau apa. Ini keputusan kami berdua—"
"Tidak penting. Mum sudah membayangkan pernikahan dan anak cucu." Ron menegak Wiski-apinya. "Aku kenal seorang cowok di Norfolk, dia bisa memberi paspor palsu dengan harga murah. Aku bisa memberimu alamatnya."
Harry menatap Hermione. "Apa kau dengar dia? Merlin, bisakah kau katakan padanya ini tidak separah itu?"
Hermione menyesap butterbeer dan tidak mengatakan apa-apa.
xxx
Harry duduk di kamar lama Ron, mencolek-colek pudding Natalnya dengan merana. Si pudding terkikik dan lari menjauh. Harry mendesah lalu mendongak ketika Ron dan Hermione masuk dari ambang pintu.
"Sudah selesai?"
"Belum. Mum sedang minum sherry-nya yang kelima."
"Kabar baiknya, dia berhenti teriak-teriak," kata Hermione gelisah.
"Yeah, sekarang dia nangis melihat pai daging. Aku tidak begitu mengerti, tapi rupa-rupanya 'Celeste' ada di daftar teratas nama anak gadis."
Harry sebal. "Keluar. Lagipula aku tidak mau menamai anakku Celeste."
"Yeah, Percy juga bilang itu nama yang jelek. Lalu mereka mulai cekcok dan George mengubah telinga Percy jadi lobak dan Bill tidak bisa berhenti ketawa, jadi Percy memanggilnya si jabrik dungu dan…" Ron meringis ketika terdengar debuk dari bawah tangga diikuti oleh tawa dan, sesaat kemudian, jeritan murka.
"Yah, setiap keluarga punya sedikit argumen di saat Natal," kata Hermione penuh tekad, sembari menawarkan sekantong kecil permen dan kue kering. "Tidak ada alasan kita tidak bisa menikmati kemeriahannya lagi."
Harry mengambil kue jahe berbentuk newt dan menggigit kakinya. Si newt tampak senang.
"Aku masih punya kontak si cowok dari Norfolk," kata Ron.
Di atas segala yang terjadi, Harry tidak bisa menahan senyum.
xxx
Setidaknya, ini penangguhan hukuman. Dan dia selalu beryukur karena Hermione dan Ron selalu memberinya momen-momen seperti ini: kilasan saat-saat terhibur dan senyum ringan, kesempatan untuk menghirup udara di permukaan.
Karena sepanjang hari, dia masih memikirkan kesakitan di wajah Draco ketika dia menghilang lagi. Seakan Crucio dirapalkan padanya. Dan Harry merasa dia tidak seharusnya berada di sini, merayakan Natal bersama kawan-kawan dan keluarga, membuka bungkus hadiah dan makan makanan manis sementara, entah di dunia sebelah mana, Draco melayang sendirian, dan kemungkinan besar terluka parah atau kelelahan. Hermione memergokinya tengah berpikir keras beberapa kali dan mengeryit padanya, dan Ron menyeretnya ke samping.
"Ingat apa yang mereka katakan di latihan Auror? Kau tidak bisa menghabiskan sepanjang waktu untuk memikirkan kasus atau kau bakal terbakar hangus, dan kau tidak akan mampu membantu siapa pun."
Jadilah Harry berusaha sekuat tenaga untuk menikmati hari. Dan di malam hari, dia ber-Floo ke apartemen. Ginny, tertinggal karena masih asyik berbincang dengan Fleur, tidak diragukan lagi akan segera pulang juga. Untuk sekarang, apartemen gelap gulita selain dari cahaya pohon Natal kecil. Pohon itu masih terduduk di atas konter, ditaburi lampu-lampu kecil.
Draco berdiri di samping pohon natal, cahaya samar lampu berdansa di wajahnya bagai awan yang mengapung di langit. Di belakangnya, di luar jendela, Harry bisa melihat penerangan malam kota London. Ada segaris kereta, bergerak pelan dari stasiun ke stasiun; jauh di atas, bulan sabit berjuang untuk menembus malam musim dingin berkabut.
"Kau ada di sini," kata Harry perlahan, mengetes kata-kata untuk melihat apakah mereka akan runtuh dan pecah berkeping-keping.
Draco menatapnya. Dia tampak parah, pikir Harry. Kurus, dan kelelahan. Bayangan di bawah matanya. Jelas sekali, upaya untuk terus muncul mulai membebaninya.
Mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang.
Draco membuka mulutnya dan berbicara, tapi kata-katanya hening. Harry menggigit bibir.
"Aku tidak bisa mendengarmu," ujarnya pelan, dan Draco berhenti bicara. Bahunya sedikit merosot. Dia berjalan ke arah Harry, dan cahaya bulan menembus dirinya seakan dia tidak lebih padat dari air, dan Harry menyadari bahwa Draco berjuang hanya untuk terus berada di sini. Entah seberapa tenaganya yang tersisa tidak cukup untuk berbicara, tidak cukup untuk nampak solid. Dia seperti hantu. Ketika dia hanya berjarak beberapa langkah dari Harry, dia mengulurkan tangan, dan Harry merespon tanpa berpikir, menjulurkan tangannya sendiri.
Jari-jarinya mengenggam kekosongan. Draco pudar sepenuhnya.
Di luar, di jalan raya di bawah, seseorang bersiul lagi.
Blow the wind southerly, southerly, southerly...
xxx
Hari setelah Natal. Kota akan penuh sesak oleh para pembeli. Pasangan modis berjalan melihat-lihat label mewah di sepanjang Bond Street; keluarga-keluarga muda dan para pemburu diskon tertangkap dalam kerumunan di Westfield.
Harry berdiri di balkon, menatap manusia-manusia terburu-buru di bawah sana. Dini hari tadi, jalanan amat kosong mencekam, tapi sekarang —di jam-jam terakhir siang hari— orang-orang mulai berhamburan pulang dari perjalanan mereka.
"Tutup pintunya," kata Ginny. "Di luar dingin sekali."
Ginny berdiri di tengah dapur, mengenakan celana jeans dan rompi Natal terbarunya. Rambutnya tidak disisir dan entah bagaimana itu menenangkan bagi Harry. Lebih mudah untuk berbicara dengan Ginny ketika dia seperti ini, alih-alih berpakaian seragam Quidditch lengkap, buru-buru pergi untuk menghadiri rapat atau latihan lainnya. Dia mengenakan seragamnya bagai orang lain memakai baju zirah.
Harry melangkah ke dalam dan menutup pintu. Mereka bilang mungkin minggu depan akan bersalju, meskipun sangat jarang turun salju di London. Kota ini bergerak dan bernapas bagai binatang buas raksasa, menghirup kehidupan delapan juta manusia dan mengubahnya menjadi hujan salju hanya dengan panas kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Ginny mondar-mandir di dalam dapur, lalu menyalakan ketel.
"Apakah menurutmu," Ginny berkata akhirnya, "kita bisa memperbaiki hubungan ini?"
Harry memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Kartu kunci Renault menyenggol jari-jarinya dan ada sesuatu yang menenangkan datang dari plastik dingin nan mulus itu.
"Tidak."
Ginny berpaling. "Kurasa kita bisa," ujarnya, "sampai esok paginya, ketika aku berangkat latihan Quidditch. Kita baru saja putus, dan aku masih bangun dan pergi latihan. Dan aku menyadari bahwa bagiku, latihan lebih penting daripada berusaha memperbaiki hubungan ini. Karirku adalah prioritas utamaku."
Dia menatap Harry, dan rasanya seakan mereka saling jujur pada satu sama lain untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dan tiba-tiba Harry muak memakai topeng dan mengulang naskah yang ditulis orang lain, jadi dia mengatakan kebenaran, pikiran yang dia sembunyikan begitu lama selama tahun terakhir hubungan mereka.
"Terkadang, kupikir kesamaan yang kita punya hanyalah perang. Dulu kita berdua begitu berbeda, dan aku tidak tahu apakah salah satu dari kita akan bertahan hidup untuk menyaksikan akhirnya. Mudah untuk jatuh cinta." Dan kemudian, setelahnya, ketika kita menjadi orang biasa, diri masa lalu kita perlahan pudar…
Harry bertanya-tanya apakah dia bicara terlalu terus terang, tapi Ginny tidak nampak tersinggung. Ginny memiringkan kepala, berpikir.
"Aku tidak pernah memikirkannya seperti itu," katanya perlahan. "Kurasa kau benar. Mudah untuk jatuh cinta. Kehabisan cinta…kau tidak menyadarinya hingga terlambat."
Mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang.
Mereka menghabiskan teh dalam diam. Lalu Ginny berkata dia ada pertemuan dengan Wanda, seeker tim dan sahabat terbaiknya.
"Mau cerita padanya tentang kita?" tanya Harry, dan Ginny mengangguk.
"Aku hanya ingin berbicara pada seseorang. Selain kau," tambahnya, lalu dia meringis. "Oh, aku tidak bermaksud seperti itu—"
"Tidak apa. Aku mengerti." Harry ragu-ragu. "Aku ingin bicara pada seseorang juga. Aku tidak akan pulang sampai besok."
"Baiklah. Katakan pada Ron dan Hermione aku bilang halo." Ginny berhenti, lalu berbalik dan pergi.
Harry berdiri sendirian dalam apartemen untuk waktu lama, lalu pergi juga.
xxx
Ketika Harry masih sangat kecil, dia senang berandai-andai bahwa mobil adalah kapal angkasa, dan mereka bisa membawanya ke mana saja. Dia bisa berpacu di sepanjang Bimasakti, tergelincir di sepanjang lengkungan bulan, melewati ledakan bintang dan beristirahat di antara nebula dingin yang berkilauan.
Alam semesta tanpa ujung.
Dia lanjut mengemudi, mengikuti jalan berliku dan jalan raya hingga terasa seperti lingkaran tanpa batas. Butuh waktu enam setengah jam untuk sampai ke Helston. Dia berhenti di Launceston untuk membeli bahan bakar dan menghabiskan waktu satu jam untuk meneliti peta dalam glovebox. Halaman itu ditandai oleh ribuan perjalanan dan Harry bertanya-tanya apakah Draco mengikuti rute dalam peta dengan hati-hati.
Lahan pertanian dan gembala datar berubah menjadi lembah dan tebing naik turun ketika dia mulai mendekati garis pesisir. Udara menjadi dingin dan kering, menjanjikan lautan dingin dan dia menyalakan pemanas. Dia melewati Helston, menuju pemukiman kecil Landewednack; yang terdiri dari sekumpulan gubuk batu dan gereja kecil dengan gerbang bertipe kissing gate. Jalanan sepi—saat ini jam dua dini hari dan dia membayangkan para penduduk tengah tertidur dalam rumah hangat mereka, api berkobar pelan dalam perapian.
Dia mengikuti petunjuk jalan hingga perlahan menyusuri jalan sempit menuju Mercusuar Lizard. Dia dapat mendengar deru ombak di kejauhan, menabrak karang dalam irama tanpa henti. Harry memarkirkan mobil dan berhenti sejenak. Saat itu puncak musim dingin, dan dia berada di tempat terpencil jam dua dini hari, mendengarkan suara deru ombak, mendengarkan suara manusia lain. Mendengarkan angin bertiup ke selatan, ke selatan, dari ujung daratan Britain. Mendengarkan angin bersiul melalui retakan batu dan rongga rahasia dan teluk-teluk kecil di sepanjang pantai.
Dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Anginnya sangat dahsyat sekarang, menggigit wajahnya, menyambar rambutnya, menarik-narik pakaiannya. Dia menggenggam tongkat sihirnya tinggi-tinggi lalu berbisik.
"Lumos."
Cahaya biru lembut menerangi jalan di hadapannya. Ada tanda bertuliskan South-West Coastal Walk dan dia mengikuti arah panah. Laut musim dingin menderu liar dan anginnya kuat serta dingin, menyapu Lautan Celtic dan menjilat puncak ombak sebelum membawa sengatan bergaram pada kulit Harry. Bahkan dengan cahaya dari ujung tongkat sihir, jalannya berbahaya akibat cuaca basah dan malam gelap gulita, dan Harry hampir tejungkal beberapa kali. Bila Draco ada di sini, pasti dia tengah tertawa sekarang.
Suara lautan tumbuh makin dekat. Anginnya bertiup tanpa henti sekarang, menangkap pakaian Harry dan menghentak-hentaknya seakan anak kecil yang tengah merengek; membuat merah wajahnya oleh tamparan tajam udara laut. Akhirnya, Harry tiba di ujung tebing karang. Ombak gelap bergulung di sekeliling batuan di bawah sana, busa lautnya sewarna langit badai di bulan Desember. Nun jauh di sana, di suatu titik gelap horison, cahaya perahu berkedip-kedip memotong lautan. Harry bergerak makin dekat ke ujung tebing.
Dia mendongak. Malam ini bulan separo. Fase bulan yang sama dengan pertama kali dia memimpikan pesisir Cornish.
Perjalanan yang panjang untuk kembali ke mobil sendirian, dan perjalanan yang lebih panjang lagi untuk kembali ke London, tapi Harry rasa dia bisa terbiasa dengan perjalanan panjang.
xxx
Tahun Baru datang dan pergi. Harry pindah dari apartemen di hari kedua bulan Januari. Hermione dan Ron membereskan kamar tamu di rumah mereka. Dia berhasil memecahkan kasus di tanggal 5 Januari ketika dia berhasil melacak orang hilang di Prancis Timur, di mana si lelaki punya hidup baru dan meninggalkan istrinya yang kebingungan di Inggris, keluarga baru.
Tapi dia selalu, selalu berada di tempat lain. Pikirannya melayang-layang di sepanjang jalan raya berliku; melintasi tikungan dan mendengar deru lautan dan lagu musim dingin. Dia bangun jam tiga dini hari setiap malam, memimpikan tebing karang ambruk dan sebuah suara memanggil; dia duduk dalam Renault Mégane dan menatap kekosongan berjam-jam.
Apakah kita makin dekat, atau malah tersesat?
Lucius Malfoy. Itu adalah kata-kata Draco pada Harry, terakhir kali mereka bicara. Ayahku.
In inceptum finis est.
Harry membuka-buka file, menatap dua kata yang dia tulis begitu santai tujuh bulan yang lalu.
Menyukai lingkaran.
Dia perlu memori dari Narcissa, dia tahu itu. Dia telah bersabar, tapi Narcissa tak mau memberitahu. Bagaimana caranya mengekstrak memori dari seseorang yang tak ingin memberikannya?
Punggung Harry menegak. Tidak. Tidak akan pernah berhasil.
Well… Itu pernah berhasil sebelumnya.
xxx
Ketika Harry pulang kerja, dia langsung ke ruang tamu dan melemparkan jubahnya di sana, lalu kembali dan duduk di meja makan, menatap Hermione. Hermione tengah menikmati secangkir teh dan tampak hanyut dalam buku, tapi ketika dia menyadari Harry ada di sana perlahan dia mendongak.
"Oh, tidak," kata Hermione waspada. "Kau menginginkan sesuatu. Kemungkinan ilegal, sudah pasti sulit didapat, dan jelas-jelas berbahaya."
"Apa kau kenal peramu ramuan yang handal?"
Hermione menutup buku dan menatapnya tajam. "Peramu ramuan yang bagus, atau peramu ramuan yang lumayan?"
"Bagus. Sangat bagus."
"Cukup bagus untuk meramu, misalnya, Veritaserum?"
"Tentu tidak, aku bukan barbar," kata Harry. "Aku sedang berpikir…cukup bagus untuk meramu Felix Felicis."
Tatapan Hermione melembut. "Yah, setidaknya itu masih legal," ujarnya, perhatiannya kembali ke buku. "Ron ingin tahu apakah aku tahu sesuatu tentang Tetesan Kegilaan minggu lalu. Yah, yang benar saja."
"Jadi, kau bisa mendapatkannya?"
"Mungkin. Tapi harganya akan mahal."
"Seberapa mahal?"
"Kalau kau menggadaikan apartemenmu, mungkin akan cukup." Hermione mengerling dan menangkap ekspresi Harry. "Aku hanya bercanda, Harry. Tapi kau sangat menggemaskan."
"Beritahu saja aku kalau kau sudah menemukan master ramuan, dan sisanya serahkan padaku."
"Apa ini… untuk pekerjaan?" tanya Hermione setelah beberapa waktu. "Harry… Kau tahu ramuan itu tidak bekerja seperti itu. Ramuan itu tidak bisa memberimu semua jawaban secara ajaib. Hanya menawarkan jalan menuju hasil yang paling memungkinkan. Dan efek sampingnya bisa sangat berbahaya…"
"Aku tahu." Harry berpaling.
Hermione menghela napas. "Hanya untuk jalan terakhir, Harry."
"Aku tahu," ulangnya.
"Harganya kemungkinan sangat mahal."
Tapi berapapun harganya, pikir Harry, hasilnya akan sepadan.
xxx
Dia menghubungi Narcissa. Tanggal telah ditetapkan. Narcissa pikir dia hanya melakukan kunjungan rutin untuk meyakinkannya bahwa kasus Draco masih dikelola secara aktif. Hari Rabu, empat belas Januari. Sudah tiga minggu sejak terakhir kali Harry melihat Draco. Berdiri di dalam apartemen, tampak seperti hantu yang memudar.
Apa dia akan kembali?
Harry minum Felix Felicis satu jam sebelum berangkat. Cairan keberuntungan untuk dua belas jam. Dia harus diam sejenak untuk membiarkan euforia menyenangkan membasuh dirinya setelah dia menegak ramuan itu. Lalu dia menuju pintu depan, berencana untuk ber-Dissaparate setelah dia berada di luar, tapi entah kenapa dia terus berjalan.
Menuju Renault Mégane.
Butuh waktu dua jam untuk mengemudi ke Manor, tapi Harry sedang tidak peduli soal ini. Dia hanya bakal telat dua jam, itu saja.
Setelah diabaikan selama tiga tahun, Renault pulih dengan baik, dan mesinnya mendengkur lembut ketika Harry menghidupkan mobil. Dia diam sejenak, lalu meraih map yang di simpan dalam glovebox. Bagaimana kalau dia mengambil rute yang lebih banyak pemandangannya? Lagipula dia bakal telat dua jam; apa bedanya bila ditambah satu jam lagi?
Draco telah menggambar garis di sepanjang pesisir. Draco menyukai pesisir, pikir Harry. Tampat-tempat luminal. Orang-orang tertarik pada tempat-tempat semacam itu, tempat dimana garis batas antara daratan dan perairan memudar.
Dia menempatkan kedua tangan pada roda kemudi —satu tangan di masing-masing bekas yang sudah pudar, dimana Draco begitu sering menempatkan tangannya sendiri— lalu mengemudi.
xxx
Dia tiba di Manor ketika matahari tengah terbenam. Seorang peri rumah yang tampak gelisah membukakan pintu dan menatapnya.
"Aku ada janji bertemu dengan Narcissa," ujar Harry ramah, mengetuk-ngetuk katu kunci Renault di telapak tangan.
"Tolong tunggu di aula resepsi," kata si peri rumah, buru-buru membungkuk. "Saya akan memanggil Mistress." Si peri mundur, terburu-buru menaiki tangga. Harry, ditinggalkan sendirian di aula resepsi, bertanya-tanya apakah pernah ada orang lain yang telat berjam-jam untuk janji pertemuan dengan seorang Malfoy. Normalnya, dia akan duduk tidak nyaman di kursi antik terdekat, tapi kali ini dia berjalan-jalan di sekitar koridor dengan acuh.
Ada sederet foto keluarga Malfoy berbingkai di atas meja aula dan dia mengamatinya dekat-dekat. Di beberapa foto pertama, Draco muda tersenyum bangga di antara kedua orangtuanya. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia Draco, senyuman itu perlahan menghilang dan jarak di antara ketiga Malfoy bertambah, hingga foto yang paling terakhir. Harry bertaruh foto itu diambil tepat sebelum Lucius menghilang. Lucius berdiri di ujung kiri foto; Draco berdiri di ujung kanan. Narcissa di antara mereka berdua, menatap tanpa daya dari satu sisi ke sisi lainnya. Ketika Harry mengamati mereka, Lucius mengerling Draco dan mengulurkan tangannya. Draco memberinya tatapan kemarahan dingin dan menepi lebih jauh hingga hampir keluar dari foto seluruhnya..
Terdengar langkah kaki dari undakan tangga. Harry mendongak. Narcissa berjalan ke arahnya, sebelah tangan menelusuri pegangan tangga.
"Kau terlambat," teliti Narcissa.
"Maaf. Aku memutuskan untuk mengemudi ke sini."
"Aku lihat." Narcissa menuruni sisa anak tangga dan berdiri di undakan terakhir, sebelah tangan masih beristirahat di atas banister dan sebelah lagi naik untuk menyentuh kalungnya. "Ketika aku melihat mobil itu, kupikir —untuk sesaat— Draco pulang."
"Maafkan aku."
Narcissa menggelengkan kepala. "Pemikiran bodoh."
"Aku mengambil rute indah melewati Portsmouth. Menyenangkan sekali, mengemudi di sepanjang pesisir di waktu-waktu sekarang ini. Jalanannya tidak macet."
Narcissa menatapnya lama, lalu mengerling. "Mungkin," ujarnya perlahan, "itulah kenapa aku mengizinkanmu untuk memiliki mobil itu."
"Kenapa?"
Narcissa sedikit memiringkan kepala, ke arah ruang tamu. Harry bertanya-tanya apakah gerakan itu secara sadar atau tidak.
"Kau mengingatkan aku padanya. Aneh, bukan? Tapi kurasa Draco akan senang melihat mobilnya dikendarai oleh seseorang yang…" dia terhenti dan bergerak menjauh, mungkin mau memanggil peri rumah, tapi Harry buru-buru menyela.
"Seseorang yang senang mengemudi juga? Seseorang yang senang mengambil rute pemandangan?" Harry tersenyum. "Aku pergi ke Cornwall. Menelusuri jejak perjalanan terakhir Draco. Apakah kau pernah melihat titik paling selatan dari daratan Britain?"
Narcissa menatapnya lama sekali, lalu berdeham. Seakan merespon perintah tak terucapkan, peri rumah yang tampak gelisah muncul di sampingnya.
"Minuman," ujar Narcissa, dan si peri rumah membungkuk rendah sebelum menghilang lagi. Narcissa berjalan menjauh, meninggalkan Harry untuk mengikutinya hingga mereka memasuki ruang duduk formal. Harry melihat-lihat sekeliling ruangan: ada banyak tempat untuk duduk, tapi Harry memilih untuk berjalan menuju jendela. Narcissa diam, tapi Harry tidak merasa perlu untuk bicara. Dia menunggu, menatap keluar halaman Manor hingga si peri rumah muncul lagi. Dia tidak menoleh dari pemandangan, menunggu hingga dia mendengar gelas beradu dan langkah kaki si peri rumah makin jauh.
"Draco akan sangat marah mendengarku mengatakan ini," kata Narcissa. Matahari hampir terbenam seluruhnya dan Harry bisa melihat refleksi Narcissa dalam kegelapan kaca jendela. Narcissa tengah menatapnya dengan ekspresi sedih. Dan Harry rasa bila dia tahu Harry bisa melihat ekspresinya, dia akan cepat-cepat menyembunyikannya. "Tapi ada sesuatu tentang dirimu yang bisa kulihat dalam dirinya juga."
"Kurasa Draco tidak akan marah oleh perbandingan itu," kata Harry, dan keterkejutan melintasi wajah Narcissa.
"Mungkin," ujarnya. Narcissa berjalan menuju nampan gelas dan mengambil segelas wiski, berisi semacam minuman jernih dan dihiasi oleh jeruk nipis. Gin dan tonik, pikir Harry.
"In inceptum finis est," ujar Harry, dan Narcissa melonjak kaget. "Aku tahu pepatah yang mirip dengan itu. Aku membuka pada penutup." Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku, mengamati refleksi Narcissa di jendela. Bintang-bintang sudah muncul sekarang, dingin dan putih melawan langit gelap Januari. "Aku ingat malam itu. Malam pertempuran. Aku berjalan menuju kematianku tapi aku tidak sendirian. Aku ingat jiwa ibuku berjalan di sampingku." Dia menoleh, bersandar pada kaca dingin jendela. "Apakah menurutmu Draco pernah merasa dia berjalan sendiri?"
Narcissa berpaling darinya. "Kau tidak punya hak untuk menanyakan pertanyaan semacam itu," ujarnya dalam nada rendah, tapi Harry bisa mendengar gemetar di bawah kata-katanya dan tahu dia mengenai titik sensitif. "Aku melakukan yang terbaik untuk Draco."
"Dan bagaimana dengan Lucius?" Harry ingat foto di bawah tangga. "Pada waktu dia menghilang, aku bertaruh Draco jarang berbicara padanya."
Narcissa menyisip gin dan toniknya lama. Dia tampak ingin menegur Harry karena membicarakan urusan pribadi. Akan tetapi, dia melihat kilasan kartu kunci Renault di tangan Harry dan tampak berubah pikiran.
"Mereka berselisih," kata Narcissa akhirnya. "Draco selalu mengagumi ayahnya, dan dulu dia selalu mendengarkan setiap kata-katanya. Kurasa sangat sulit bagi Lucius, melihat Draco tiba-tiba menjauh. Kurasa Lucius berharap segalanya akan tetap sama setelah perang… Tapi setelah pertempuran, Draco tidak berbicara pada kami. Ada begitu banyak jarak, dan rasanya seolah Draco hampir meninggalkan kami sepenuhnya… Lucius tidak menerima hal itu. Dia berkata pada Draco untuk menguatkan diri. Aku takut dia cukup marah pada Draco. Tapi semakin Lucius marah, semakin Draco mundur menjauh…"
"Hingga…" pancing Harry, dan Narcissa berpaling.
"Aku akan memberikan memorinya padamu," ujar Narcissa akhirnya. "Hanya karena, untuk sesaat, kupikir Draco-lah yang pulang malam ini, ketika aku melihat mobil itu. Dan kau memberiku momen tersebut, jadi aku akan memberimu memori."
Lalu, dia mengangkat tongkat sihir ke dahinya sendiri, dan membiarkan asap keperakan mengapung di udara.
Mungkin inilah potongan puzzle terakhir, pikir Harry.
xxx
Dia meninggalkan manor dengan segera setelahnya, menyusuri rute yang sama. Botol memori terasa berat di kantungnya, dan perjalanan pulang menuju rumah Ron dan Hermione terasa lama sekali. Hermione membukakan pintu, secangkir teh di sebelah tangan.
"Aku perlu pensieve," kata Harry padanya. Hermione menguap, tampak tidak terkejut.
"Dia ruang kerja Ron. Dia memakainya untuk kerja."
"Aku harus menghancurkan memorinya sesudahnya."
"Baiklah."
Harry menghargai Hermione tidak banyak bertanya, atau mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri; dia segera kembali ke tumpukan buku di ruang tamu dan Harry berjalan menuju ruang kerja Ron. Udara di ruang kerja sedikit dingin, karena mantra penghangat —lebih dikonsentrasikan pada bagian rumah yang lebih sering dipakai— kurang efektif di sini.
Beberapa saat kemudian, dia tenggelam ke dalam memori.
Hal pertama yang dia dengar adalah suara Draco. Keras dan marah.
"Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan lari—"
Sekeliling terbangun dengan sendirinya di sekitar Harry. Dia tengah berdiri di koridor —kemungkinan besar koridor Manor. Narcissa ada di sampingnya, mendengarkan dengan seksama— tengah mencuri dengar, Harry menyadari. Suara-suara keras datang dari ruangan di depan mereka, pintunya sedikit terbuka.
"Kau bersikap tidak tahu terima kasih, Draco," ujar Lucius murka. "Aku menghabiskan banyak uang untuk menyiapkan perumahan di Crete—"
Draco tertawa getir. "Aku percaya itu."
"Kau bersikap sangat keras kepala sekarang ini," bentak Lucius. "Ini kesempatan, Draco. Tinggal di sini kalau kau mau —sembunyi dalam Manor, di mana mereka yang ingin membalas dendam tidak bisa mencelakaimu— dan kemudian setelah kau lelah tinggal dalam sangkar, aku akan menghubungi orang untuk menyiapkan perjalananmu ke Crete. Aku melakukan ini demi melindungi kau dan ibumu—"
"Bila kau ingin melindungi keluargamu, Father, kusarankan kau mencari pembalik-waktu dan mempertimbangkan ulang keputusan yang kau buat dua belas tahun lalu."
"Dan kau sendiri membuat keputusanmu sendiri, aku ingat.'
Narcissa meringis.
"Saat itu aku enam belas tahun," ujar Draco, kemurkaan mengaliri suaranya.
"Cukup dewasa untuk menunjukkan tanggung jawab atas perbuatanmu sendiri, Draco. Keputusan untuk menerima Tanda Kegelapan adalah keputusanmu sendiri, aku ingat. Ibumu menentang hal itu, dan aku tidak berkomentar dalam masalah itu."
Jeda panjang. Lalu Lucius bicara lagi, terdengar tidak sabar.
"Dan sekarang kulihat kau merajuk lagi. Aku sudah merasa cukup menghadapi sikap kekanakanmu. Besok, aku akan pergi ke Crete. Kau dan Ibumu akan tinggal di sini selama tiga bulan, hingga perhatian Kementrian beralih, lalu kalian akan menerima komunikasi dari sumber terpercaya dan kalian akan pindah ke Crete."
Jeda panjang lagi. Harry, sangat ingin melihat wajah Draco, bergerak lebih dekat ke pintu dan mengintip ke dalam ruangan. Tapi karena Narcissa sendiri tidak menyaksikan kejadian itu, ruangan itu tidak lebih dari warna krem pudar.
"Hari di mana perang berakhir," kata Draco akhirnya, "aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah menerima perintah dari siapapun lagi."
Lalu pintu ruangan terbuka dan Draco berjalan menembus Harry seakan dia hantu. Harry otomatis terhuyung ke belakang, lalu menatap Draco menghilang di ujung koridor.
Dia hampir lupa bahwa memori ini milik Narcissa, tapi kemudian Narcissa melangkah melewati ambang pintu dan menatap Lucius. Ruangan menajam dalam penglihatan: ruang kerja, dengan meja oak di satu sisi dan dua kursi berlengan di depan perapian marmer.
"Kau tidak seharusnya berbicara seperti itu padanya," kata Narcissa. Harry tidak bisa membedakan apakah dia sedih atau marah.
Lucius tampak jauh lebih tua dari yang Harry ingat. Wajahnya lebih banyak bergaris, dan dia tampak lelah.
"Aku melakukan ini demi dia dan kau, Narcissa. Draco mungkin marah sekarang, tapi dia akan berterima kasih padaku ketika dia lebih tua."
"Dia lebih tua sekarang. Putra kita dua puluh dua tahun, Lucius. Bukan anak bandel yang perlu dikuliahi dan disuruh pergi."
Lucius tenggelam pada salah satu kursi berlengan. "Kau selalu lebih pandai untuk berurusan dengan suasana hatinya."
"Suasana hatinya? Lucius, dia melalui peperangan—"
"Begitu pula kita semua," ujar Lucius tajam. Setelah beberapa lama, dia berpaling. "Aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun. Setelah tiga bulan, pastikan Draco ikut denganmu ke Crete."
Narcissa mengamati suaminya. "Sayangnya," kata Narcissa, "Draco sudah dewasa. Kita tidak bisa lagi mengontrol pilihannya."
Lucius tidak mengatakan apa-apa. Narcissa berbalik dan pergi, lalu memorinya pudar.
Harry muncul dari permukaan pensieve dan memutuskan untuk mengemudi.
Entah ke mana.
Ke mana saja.
Dia tidak tahu kenapa, tapi Felix Felicis —mulai memudar dari dalam tubuhnya, tapi masih ada— tampaknya tahu. Jadi dia membiarkan ramuan itu mengontrol keputusannya.
Dia berdiri dan berjalan menuju mobil, batu-batu kerikil berderak di bawah kakinya. Dia menyentuhkan sebelah tangan pada pegangannya yang dingin dan menarik pintu terbuka, lalu masuk ke kursi pengemudi dan menempatkan kedua tangan pada roda kemudi.
"Kita bisa pergi ke mana saja," ucapnya pelan.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan, tapi dia sudah menduga hal itu.
Dia menyalakan mesin.

tbc~
.

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart