Running on Air © eleventy7 chapt 16

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 16
.
Draco mengambil alih mengemudi ke Birmingham lagi. Harry tak yakin kemana mereka hendak pergi, tapi dia tak keberatan.
"Tidurlah," Draco berkata padanya dan Harry mengangguk. Dia menghadap Draco, matanya sedikit terbuka, cukup untuk mengamati Draco tanpa membuat dia menyadarinya. Dari waktu ke waktu, sinar jingga lampu jalan memudar di atas mobil, atau lampu depan mobil lain melintas lewat, mengiluminasi Draco untuk sedetik. Selalu melihat ke depan, pikirnya, seraya menatap wajah Draco. Tak pernah berpaling.
Dia tertidur dengan tatapannya masih awet menatap Draco.
xxx
Kali berikutnya dia bangun, dia menuju alam sadar dengan lambat, sinar buram perlahan-perlahan semakin fokus. Persimpangan jalan dihiasi lampu lalu lintas, lampu-lampu jalan menyilaukan, dan lampu mobil lewat. Suara kereta api bergemuruh di dekatnya. Harry menegakkan punggung di tempatnya duduk, mengerjap pelan-pelan.
London, dia menyadari. Mereka berada di London. Jam tangannya berbunyi: jam tiga dini hari. Tapi kota ini tak pernah tidur dan lalu lintas sekarang pun tetap sibuk. Harry bertanya-tanya berapa banyak orang yang sedang dalam perjalanan menuju Heathrow, sedang dalam perjalanan mereka menuju ribuan tempat tujuan yang hanya bisa Harry mimpikan.
"Kita mau ke mana?" gumamnya, suaranya masih parah oleh kantuk. Draco mengerlingnya.
"Kau akan pulang."
Rasa kantuk hangat tergelincir dari Harry seperti mantel. Dia menatap Draco, detak jantungnya makin cepat.
"Pulang…?" ulangnya.
"Ke apartemenmu," kata Draco.
Kotak beton di atas langit. Di sinikah semua ini berakhir? Pantai berpasir datar Sutton-on-Sea, hiruk pikuk bising kota Brighton, tebing menjulang dan berangin kencang di tepi pantai Cornish, padang rumput canola Wiltshire, langit penuh bintang Snowdonia—
—dan semuanya berakhir di sini, pada sebuah apartemen tak berisi dengan perabot berdebu dan dinding kosong?
In inceptum finis est.
Well, tentu memang beginilah akhirnya. Perjalanan ini hanyalah waktu pinjaman. Penjelajahan curian, momen-momen yang seharusnya tak terjadi, memori-memori yang seharusnya tak pernah dibagi. Dan sekarang Draco akan kembali ke manor, pada ibu rewelnya dan peri-peri rumah yang memanjanya. Sedangkan Harry akan kembali pada apartemen putih kosongnya dan berdiri di balkon sambil minum scotch. Dan mungkin bila dia mendengarkan lebih seksama, dia mungkin dapat mendengar seseorang menyiulkan blow the wind southerly, southerly, southerly...
Di tengah belantara Snowdonia yang dalam dan murni, rasanya seakan bulan seimbang dalam hatinya, cerah dan bersih sama dengan langitnya. Di sini, di London, bulan terasa membebaninya, seberat kekang, membuatnya kesulitan bernapas. Bebannya semakin lama semakin berat ketika mereka meninggalkan jalan raya dan mengikuti jalan yang semakin familiar. Akhirnya, mereka mencapai blok apartemen; Draco memarkirkan Renault dengan keanggunan yang selalu dia miliki, entah saat berdiri di ujung tebing Cornwall atau menuntun tangan Harry untuk menunjukkan danau penuh bintang. Untuk sesaat, hati Harry melayang saat Draco berjalan bersamanya menuju tangga, tapi kemudian dia ingat Draco telah menyetir berjam-jam. Setidaknya secangkir kopi sebelum dia pergi demi sopan santun dasar.
Kembali ke apartemen lagi terasa aneh. Butuh waktu lama baginya untuk mencari kunci, dan waktu yang lebih lama lagi untuk membuka pintu. Udara dalam apartemen samar-samar berdebu, pikir Harry seraya menyalakan lampu, mengiluminasi dinding putih, rak-rak kosong, dan konter dapur yg rapi. Tirainya terbuka semua dan menampilkan sungai serta lampu kota berkelap-kelip. Perlahan Harry menaruh kuncinya di atas konter kosong.
"Kopi? Tapi aku tak punya susu," tambah Harry, tapi Draco menggeleng.
"Teh saja."
Harry pergi tidak terlalu lama, tapi untuk beberapa alasan dia kesulitan mengingat dimana dia menyimpan barang-barang. Gula ditaruh di rak kedua atau ketiga? Dia membuka lemari untuk mengambil mug, tapi ternyata isinya penuh dengan gelas. Dia sama saja sedang berada di rumah orang asing. Sementara mereka menunggu ketel mendidih, Draco duduk di bangku konter dan menelusurkan tangannya di sepanjang ujung konter.
"Pernah ada pohon Natal di sini, sekali," ujarnya.
Harry mengerlingnya. "Kau ingat…?"
"Tidak juga. Sulit untuk diingat. Tapi saat itu ada cahaya-cahaya kecil di sini, kan?"
Ya. Harry ingat momen sunyi itu, terkubur di kedalaman Desember. Draco, berdiri sendirian, diiluminasi cahaya samar lampu pohon Natal. Harry mengulurkan tangan untuknya dan dia memudar seperti hantu. Sebelum tangan mereka memiliki kesempatan untuk bersentuhan. Harry menunduk untuk menatap tangannya sendiri sejenak, pada cara pergelangan tangannya bergerak saat dia mengangkat ketel dan menuang air. Ini nyata, pikir Harry, tapi pasti dia mengatakannya keras-keras; Draco menatapnya lama sebelum melirik konter, jari-jarinya masih menelusuri corak tanpa arti pada permukaannya.
"Aku makin baikan dalam hal itu," kata Draco. "Membedakan memori, mimpi, dan realita."
Jadi tak ada alasan untuk kontak manusia lagi, pikir Harry tumpul. Dia mendorong cangkir teh Draco di atas konter, menahan dorongan untuk membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sepertinya itu adalah tema pikirannya malam ini, pikirnya. Tangan, meraih satu sama lain. Bukankah itu akan terlihat aneh, Tanda Kegelapan Draco di samping saya tidak boleh berbohong?
"Mungkin aku salah," ujar Draco, dan Harry mendongak kaget.
"Apa?"
"Mungkin aku salah," ulang Draco, tatapannya intens dan menyelidik. "Mungkin kita bisa jadi teman."
Fajar telah tiba, pikir Harry, seraya menatap melewati Draco pada pintu geser kaca. Tak lebih dari noda biru pucat di cakrawala, ragu-ragu menyentuh bintang-bintang rendah. Untuk sesaat, dia dapat memimpikannya. Terus dan terus berkelana, mengemudi selamanya bersama Draco. Menuju pegunungan luas Scotland, sungai dan air terjun Peak District, pergi memandang bintang di Dark Sky Reverse, melihat bunga liar dan padang canola di Wiltshire mekar, dan setiap tahun mereka akan kembali ke Snowdonia untuk berdiri di ujung dunia. Dan memori kesukaan Harry akan digantung dengan cahaya Natal kecil dan angin musim dingin garis pantai Cornish.
Dan kemudian dia ingat bahwa Draco menghabiskan tiga tahun terakhir terjebak di masa lalu, di mana dia berpikir dia telah mati, tak bisa menyentuh siapa pun, suaranya tak terdengar, keberadaannya tak terlihat. Selama tiga tahun lamanya. Tentu saja setelahnya akan terasa aneh bagi Draco. Tentu saja dia akan tersenyum pada Harry, berjalan bersamanya di sepanjang tebing putih Dover, dan berbagi kenangan masa kecil. Itu hanyalah utang budi, tidak lebih. Dia memulai kontak hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini nyata.
Dan sekarang setelah dia tahu ini nyata, akal sehatnya akan kembali. Dia akan berterima kasih pada Harry atas tehnya, berdiri, lalu berjalan keluar pintu dengan mudahnya. Seakan semua ini tak berarti apa-apa baginya, dan mungkin memang begitu.
Harry tak ingin memikirkan harga yang harus ia bayar. Jadilah pertahanan-diri yang membuat dia menggeleng, menolak untuk menatap Draco, dan memaku tatapannya pada konter dapur saat dia menjawab. "Sebetulnya, kurasa kau yang benar. Kita tak bisa jadi teman."
Harry tak berani mendongak, memilih untuk mengaduk sesendok teh gula pasir dengan hati-hati sebagai gantinya. Dia melihat butitan-butiran kecil itu perlahan larut. Keheningan memanjang untuk waktu lama sebelum Draco angkat bicara.
"Kau bilang aku sudah berubah." Ada sesuatu dalam suara Draco yang belum pernah Harry dengar sebelumnya, tapi dia masih menolak untuk mendongak.
"Yeah, well…" Harry berusaha untuk fokus pada cangkir teh di hadapannya, meyakinkan setiap butir gula meleleh pada ketiadaan. "Aku hanya merasa dulu kita tak mungkin bisa jadi teman."
Draco diam untuk waktu lama lagi. Harry, akhirnya, meliriknya sekilas. Draco tidak sedang menatapnya, pikirnya lega. Dia tengah menatap pemandangan di balik pintu balkon, menatap lampu-lampu kota dan kereta yang merangkak perlahan di sepanjang rel.
"Dan sekarang?" ujarnya, tatapannya beralih pada Harry tiba-tiba. Harry memberinya senyuman tak nyaman sekilas sebelum berpaling lagi.
"Yah, kurasa kita mungkin bisa jadi teman. Kurasa itu tak akan aneh, mengingat akulah orang yang menyelesaikan kasus dan mengembalikanmu dari masa lalu." Dia berusaha tersenyum lagi.
Setelah beberapa lama, Draco berdiri. "Jadi ini hanya masalah utang budi, kalau begitu," ujarnya perlahan.
"Kurasa begitu."
"Yah," ujar Draco, seraya mengambil kartu-kunci Renault dari dalam saku. "Lebih baik aku pergi."
"Apa? Sekarang?" tanya Harry kaget, seraya mendongak. Draco menemui tatapannya, tak berkedip, ekspresinya tak goyah. Seakan diukir dari batu. Tak menunjukkan apa pun, pikir Harry tiba-tiba, meskipun itu bodoh karena mereka tengah mengucapkan perpisahan sekarang, bukan tengah berbagi rahasia. Draco melintasi ruangan dan membuka pintu, berhenti sejenak untuk menoleh pada Harry.
"Bila ini hanya masalah utang budi, kalau begitu terima kasih."
Kemudian dia pergi, seraya menutup pintu di belakangnya.
Harry melintasi ruangan setelah beberapa lama, membuka pintu geser menuju balkon. Udara hangat musim panas menyapa wajahnya dan dia berbalik untuk menghadap angin lembut, merasakannya berbisik melewati rambutnya. Dia bersandar pada pegangan balkon, menatap pada jalan raya di bawah, dan setelah beberapa menit dia melihat Renault, lampu depannya menyinari jalan sambil lewat. Dia melihatnya hingga ekor lampu merah memudar ke dalam kegelapan.
Di kejauhan, langit menjadi sedikit lebih cerah.
xxx
"Apa kau tahu," ujar Hermione, sembari mondar-mandir di depan perapiannya, "betapa cemasnya kami?"
"Aku sungguh minta maaf."
"Kau sudah mengatakannya."
"Kasih dia waktu istirahat," potong Ron, sambil menggosok lingkaran di bawah matanya lelah. "Malfoy habis menyeretnya keliling negeri. Kau tampak parah," tambahnya, menyapa Harry.
"Jangan bilang begitu," kata Hermione waswas, masih mondar-mandir di tengah ruang tamu dan hampir tersandung buku miliknya sendiri. "Dia baik-baik saja. Kau baik-baik saja kan, Harry? Maksudku, kau akan memberi tahu kami kalau—kalau kau tidak."
Jantung Harry mencelos oleh rasa bersalah melihat tampang cemas di wajah Hermione. "Aku… Aku baik-baik saja."
Ron merengut. "Ayolah, sobat. Ada sesuatu yang terjadi, kami tidak bodoh. Kenapa kau pergi?"
"Aku tak tahu…hanya saja…"
"Apa karena stres?" tanya Hermione. "Aku tahu mereka menawarimu promosi Kepala Auror, dan— oh, Harry," tambahnya dengan merana. "Pengawasmu menghabiskan tiga minggu terakhir mati-matian berusaha menghubungimu. Kurasa… Kurasa kau tak akan mendapatkan posisi Kepala Auror sekarang."
"Jelas-jelas tidak. Aku dengar mereka bilang tim butuh seseorang yang bisa diandalkan." Ron menangkap ekspresi Hermione. "Apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Aku tidak bermaksud membiarkan hal ini terjadi," protes Harry.
Hermione menggigit bibir. "Aku lega kau baik-baik saja, tapi—apa sih yang kau pikirkan? Apa segalanya baik-baik saja?"
"Aku tidak berpikir, sungguh," Harry mengakui. "Aku hanya… Ini bukan karena masalah pekerjaan. Aku pergi karena…"
Mereka menunggu dengan sabar, keduanya menatap Harry dengan ekspresi harapan yang sama.
"Kau pergi karena…" pancing Hermione setelah beberapa menit panjang.
"Karena Draco," gumam Harry akhirnya. Ron mengeryit.
"Dengar, aku tahu pasti tidak menyenangkan untuknya—terjebak di masa lalu selama tiga tahun—tapi kau tidak bertanggung jawab atas pemulihan dia, Harry. Kau sudah melakukan pekerjaanmu, kau menemukan dia, hanya itu yang perlu kau lakukan."
Harry mengerang dan menaruh cangkir tehnya ke samping, menenggelamkan wajah di kedua tangan. "Ini juga bukan soal itu! Ini bukan soal kewajiban atau obligasi."
"Kalau begitu apa?" desak Hermione.
Harry tak mengangkat kepalanya. Mereka berusaha keras untuk mengerti, pikirnya tak senang. Setelah segalanya, Harry-lah yang bersikap tak masuk akal di sini—muncul di rumah mereka jam enam pagi, penampilan acak-acakan dan sangat butuh teh dan percakapan—dan mereka berdua layak mendapat penjelasan. Tapi Merlin tolonglah dia, dia tak punya penjelasan satu pun.
"Aku tak tahu, aku hanya ingin pergi," gumam Harry akhirnya, mendongak.
Ron dan Hermione bertukar ekspresi dan tak mengatakan apa-apa.
xxx
Dia tak pernah merasa sayang pada apartemennya sebelumnya—apartemennya hanya eksis, seperti gravitasi, dan dia harus mentoleransinya. Akan tetapi, sekarang dia mendapati dirinya merasa tersiksa secara aktif oleh apartemennya setiap malam. Dapur kosong, dinding putih yang membuatnya merasa seperti berada di kantor alih-alih di rumah. Orang normal punya foto keluarga dan teman-teman, dia mengingatkan diri sendiri, dan dia mencoba memasang foto dirinya, Hermione, dan Ron ke dinding, tapi itu kelihatan aneh. Sebuah foto kecil di tengah-tengah kekosongan putih yang luas. Itu hanya membuatnya sedih tak terkira.
Di tempat kerja sama saja. Dia menghilang selama tiga minggu—tiga minggu—tanpa pemberitahuan, tanpa peringatan—dan kalau orang lain akan dipecat, dibubarkan, diusir tanpa rekomendasi. Sementara pengawasnya hanya menguliahinya—ini peringatan terakhirmu; bila bukan karena kemampuan dan kualifikasimu yang hebat; kau sangat beruntung memiliki kolega yang pengertian—itu hanyalah ancaman kosong. Mereka bahkan membuatkan alasan untuknya—Harry Potter menghilang bukanlah publisitas yang menyenangkan, dan mereka memberitahu seluruh sisa departemen bahwa dia dikirim untuk membantu para Unspeakable pada misi rahasia tingkat atas. Hari pertama kembali kerja, rekan-rekan kerjanya memberi selamat atas kerjanya dan mengucapkan selamat datang kembali padanya. Harry mencoba membalas senyum mereka tapi entah bagaimana dia tak terlalu berhasil.
Semua kerjaan yang biasanya sudah menunggu. Menangkap lelaki yang mencoba mendapat pendapatan ekstra lewat usaha sampingan ramuan ilegal. Merencanakan strategi keamanan untuk kemunculan publik oleh Menteri. Harry berdiri di tengah hujan, berdiri tegak dengan jubah rapinya, menatap ke depan saat Menteri lanjut dan lanjut berdengung pada kumpulan masa yang mendengarkan. Dia mengawasi protes teroganisir, berdiri diam menjaga St. Mungo sementara banyak penyihir laki-laki dan perempuan mengacungkan poster yang menuntut penolakan regulasi terbaru mengenai ramuan kesehatan. Seorang penyihir perempuan berusaha menembus pintu seraya berteriak marah, dan dengan cepat dihentikan oleh beberapa petugas MLE. Hujannya terasa suam-suam kuku di kulit Harry, tidak menawarkan kelegaan dari panasnya bulan Juli yang lembab. Semua orang tampak sebal oleh udara lembab, emosi mereka gampang terpicu dan wajah mereka selalu lembab.
Ketika Harry pulang malam itu, dia berdiri di balkon dan minum scotch, seraya melihat kereta datang dan pergi.
Dia cuma suka kereta, dia ingat pernah berpikir satu kali, karena kereta pergi ke tempat-tempat.
xxx
Dia tak akan menjadi Kepala Auror. Mereka mengatakan padanya bahwa mereka mempertimbangkan kandidat lain dan memberinya tatapan tak puas, sembari meniru kata-kata Ron: "Kami membutuhkan seseorang yang lebih… dapat diandalkan," ucap mereka. Williamsom membawanya ke sisi dan meyakinkan bahwa, bila posisinya kosong dalam beberapa tahun dan Harry 'sudah menyelesaikan urusannya', dia masih bisa mengajukan diri untuk mengisinya.
Dua minggu setelah kepulangannya, dia duduk di kantor lamanya di Divisi Investigasi. Holdsworth, dengan tatapan tajam dan bibir tipis rapatnya, menyimpan tempat ini untuknya.
"Merindukan tempat lama?" tanya Holdsworth, berdiri di ambang pintu. Harry duduk di kursi belakang meja, meski ada sedikit debu samar di atasnya.
"Ya," jawabnya jujur. Lalu dia membuang muka. "Saya rasa tak ada banyak kesempatan bagi saya untuk kembali, tidak setelah saya menghilang tiga minggu."
Holdsworth menatapnya, memiringkan kepala seperti yang selalu dia lakukan saat dia menemukan sesuatu yang dia anggap menarik. "Orang hilang adalah keahlian kami," katanya, lalu berbalik dan pergi.
Harry menatap ambang pintu kosong untuk waktu lama, lalu perlahan membuka laci meja. Semua file lamanya masih ada di sana, termasuk…
Dia mengambil folder biru pucat dan membiarkannya terbuka.
Nomor kasus : L10-332-5

Tanggal pelaporan : 10 September 2003
Klasifikasi Kasus : Ditutup; ditemukan masih hidup.
Nama : MALFOY, Draco
Nama lain : Tidak ada.

Dia membuka halaman. Ada foto yang dia dapat dari Narcissa, dan napas Harry tercekat untuk sesaat. Dua minggu lamanya sejak terakhir kali dia melihat wajah itu. Draco menatap Harry, matanya sewarna langit sebelum badai, mulutnya kecil dan serius. Harry mengulurkan tangan dan menelusurkan ujung jari-jarinya di atas foto. Sebuah gerakan yang tak akan pernah berani dia lakukan pada Draco yang asli. Tapi Draco dalam foto hanya menatapnya, tak bergerak saat jari Harry menelusuri tulang pipinya.
Aku merindukanmu, pikir Harry, tapi dia tak memiliki keberanian untuk mengatakannya keras-keras.
Dia menutup file perlahan, Draco menghilang di bawah halaman.
xxx
Juli meleleh menjadi Agustus. Harry berdiri di depan gedung Kementrian, dagu terangkat, menatap ke depan seperti biasa. Kakinya pegal. Matahari siang bersinar terik di atasnya, menciptakan bulir keringat di alisnya. Di sebelah kirinya, Ron sama diam dan heningnya. Agak jauh dari sana, para demonstran mengacau dan mengamuk. Ekonomi tidak berjalan lancar, dan di dalam Kementrian ada wacana untuk menaikkan ambang bebas pajak. Seorang penyihir laki-laki di depan Harry mengayun-ngayun papan demo dengan marah.
"Sir, tolong menjauh dari pintu masuk Kementrian," kata Harry. "Pegawai Kementrian memiliki hak untuk masuk ke dalam gedung tanpa gangguan."
"Gangguan? Oh, protes itu mengganggu, ya?" si lelaki mendidih. "Jangan kau berani-berani berdiri di sana dan memberitahuku bahwa penderitaanku itu merepotkan! Kau punya kerjaan enak dan bagus di Kementrian—"
"Sir, tolong menjauh dari pintu masuk Kementrian," ulang Harry sopan.
"—menganggur selama enam bulan! Tapi Kementrian tak peduli, bukan? Hanya mengirim troll tak berotak sepertimu untuk berdiri di sana dan meniru kata-kata dari buku aturan—"
Harry membiarkan si lelaki melancarkan pidato marahnya. Polijusnya akan segera habis, pikir Harry. Dia tak suka meminumnya, tapi pilihan lain apa yang dia punya? Seperti yang dikatakan pengawasnya, dia bakal menjadi resiko keamanan bila muncul sebagai diri sendiri.
Harry mengalihkan tatapannya singkat pada langit biru tanpa awan, dan berpikir bahwa padang rumput canola sebentar lagi akan dipanen. Bunga-bunga kuning sewarna matahari dipotong, pohonnya dibiarkan layu oleh hawa panas terakhir musim panas.
Langkah kaki ringan di tengah padang. Lengan yang mengelilinginya singkat.
Tangkap aku.
xxx
Di hari terakhir musim panas, saat langit sewarna safir memberi jalan pada biru pucat dan teriknya matahari melembut, Holdsworth memberi tahu Harry bahwa ada lowongan di Divisi Investigasi.
"Saya tak punya kualifikasinya," ucap Harry tak yakin.
"Lamaran ditutup tanggal delapan belas September," kata Holdsworth tajam.
"Saya akan memikirkannya."
Dia memikirkannya. Sering. Esok harinya—hari pertama di bulan September—dia bertanya pada Ron apakah dia senang bekerja sebagai Auror. Mereka sedang duduk di bar Mad Alchemist, dan Ron tengah minum butterbeer keempatnya dan tampak penuh pemikiran saat Harry menanyakan pertanyaan itu. Harry, menduga jawaban langsung 'ya, aku suka pekerjaanku' dengan semangat, terkejut saat Ron menjawab.
"Kurasa begitu." Ron menyesap butterbeer-nya lama. "Ingat awal-awal kita kerja dulu? Merlin, itu gila sekali."
"Sinting total," setuju Harry. "Dulu kita biasa mengadakan kompetisi untuk melihat siapa yang berakhir paling kurang tidur, ingat? Sepertinya Atkinson masih memegang rekor, ya?—empat hari berturut-turut di tempat kerja."
"Dulu kita biasa tidur di kantor kita, dan bertahan hidup hanya dengan makan roti isi dari kafe terdekat," ujar Ron, nyengir. "Tapi itu hebat, kan?"
"Fantastis." Harry membalas cengiran Ron, tapi setelah beberapa lama senyumnya perlahan memudar. "Kita sering pergi ke tempat-tempat kala itu. Membuat seluruh departemen melawan pemimpinnya. Mengubah semua kebijakan pelatihan, menyingkirkan semua korupsi, menciptakan area spesialis."
"Yeah, dan saat kita tidak sedang melakukan perubahan radikal, kita mengejar Pelahap Maut terakhir." Ron menggelengkan kepala. "Semua tugas-tugas lapangan itu… Kita tidak dapat kerjaan macam itu lagi. Menghabiskan berhari-hari mengintai tempat, melacak biang keladi Sihir Hitam…tentu saja, fakta bahwa sekarang sudah tidak begitu lagi itu bagus," tambah Ron cepat-cepat, penyangkalan setengah hati.
"Benarkah?"
"Well…yeah. Maksudku, tak ada Pelahap Maut, tak ada pengikut gila… Kerjaan berkurang banyak sejak perang," kata Ron, masih tersenyum, tapi suaranya sedikit tak yakin. "Kebanyakan hanya orang-orang bodoh yang bertransaksi di pasar gelap dan peramu ramuan tanpa lisensi. Hal-hal macam itulah."
Harry menunduk pada gelas kosongnya, lalu mendorongnya ke samping dan menangkap mata si bartender.
"Pesan Glenmorangie. Tak pakai es. Yang berumur dua puluh lima tahun bila ada," tambah Harry, dan si bartender menghilang sesaat, sebelum muncul kembali untuk menggelengkan kepala.
"Yang berumur sepuluh tahun tak apa?"
Harry mengangguk dan membayar. Ron memasang muka jelek.
"Dengan harga semahal itu, harusnya ditambahi Felix Felicis."
Harry tak mengatakan apa-apa, hanya menyisip dari gelasnya pelan-pelan. Ron mengeryit.
"Kalau kau?" tanyanya tiba-tiba. Harry mendongak.
"Kalau aku apa?"
"Apa kau senang menjadi Auror?"
Harry menunduk menatap minumannya, memutar gelasnya pelan dan melihat wiskinya berenang-renang. Kata-kata direnggut dari bibirnya enggan.
"Dulu sih begitu," katanya.
Saat dia berani untuk mendongak, Ron tidak tampak kaget sedikit pun. Dia hanya megangguk dan menyesap butterbeer-nya lagi.
"Yeah," ujarnya, "seperti itulah."
xxx
Merlin, dulu dia punya harapan yang amat tinggi.
Saat dia tujuh belas tahun dan berpikir dia akan merasa seperti itu selamanya. Bahwa dia akan selalu ingin jadi Auror, karena menjadi Auror adalah menghindari jampi-jampi, mengejar orang-orang, menghabiskan malam-malam nyaman dengan berargumen tentang strategi dengan kedua sobat baiknya. Lalu dia akan pulang ke rumah, kelelahan tapi bahagia di penghujung hari, melangkah melewati pintu pondok kecil di suatu tempat di pedesaan—sesuatu seperti gubuk, seperti the Burrow, atau kuno seperti Hogwarts—dan Ginny akan ada di sana, tersenyum, selamanya muda. Dalam mimpinya, dia tujuh belas tahun selamanya. Lucu. Dia lupa untuk menuakan dirinya, atau Ginny. Dia lupa soal pilihan dan ambisi Ginny, dan dia lupa soal kepraktisan apartemen di London, dan dia lupa bahwa Auror tidak begitu dibutuhkan ketika tidak terjadi perang. Dia lupa segala detail-detail kecil, bisikan dingin realita.
Tapi bila masa depannya tak seperti yang dia mimpikan, tak diragukan lagi banyak orang lain tak terhitung yang merasakan hal sama. Seamus Finnigan jelas-jelas membayangkan masa depan yang, contohnya, tidak melibatkan kedua orang tuanya mati dalam perang. Justin Finch-Fletchley juga, menghabiskan tahun pendidikan terakhirnya berada dalam pelarian, bersembunyi dari Snatcher, ibunya disiksa untuk mengungkap lokasi seluruh sisa keluarganya. Atau bahkan Millicent Bulstrode, yang Harry dengar menderita cedera parah selama Pertempuran Hogwarts dan berakhir dalam keadaan katatonik permanen, hidupnya bergantung pada perawatan paliatif. Tak ada satu pun dari murid-murid ini, ketika mereka sebelas tahun dan pertama menginjakkan kaki di Aula Besar, hidup dengan kegembiraan gugup dan getaran hati, akan pernah membayangkan masa depan macam itu untuk diri mereka sendiri.
Harry ingat momen itu. Berjajar di luar Aula Besar, semua orang menatap satu sama lain berbagi kekaguman. Mereka bisa diseleksi masuk Asrama mana saja, meraih apa saja, tumbuh menjadi siapa saja. Hidup mereka menunggu, sebuah hadiah yang belum dibuka. Harry ingat bagaimana rupa Draco kecil saat itu, wajahnya masih lunak oleh masa kecil, jubah agak kebesaran, lengan bajunya agak panjang. Tak peduli betapa arogan dan sombongnya Draco menurut Harry pada saat itu, Draco masih berdiri di luar pintu Aula Besar dan memimpikan masa depan yang terkandung di dalam. Mungkin dia memimpikan lelucon kekanakan, popularitas, dan memiliki kawan. Mungkin dia memimpikan menjadi bintang Quidditch, memamerkan gerakan hasil latihannya dengan sapu model terbaru. Mungkin dia memimpikan prestasi akademik, mengesankan seluruh teman-teman sekelasnya dan membuat ayahnya bangga.
Itu tidak penting. Semua mimpi-mimpi menjadi tak lebih dari sekadar debu dan puing-puing, fragmen yang hancur di bawah beban perang. Beban tinta gelap pada kulit pucat.
Terkadang beberapa mimpi memang mustahil, Harry memberitahu dirinya sendiri. Beberapa mimpi hanya…tak dapat diraih.
Menurutmu apakah kita bisa berteman saat di Hogwarts?
Harry menelusuri bibir bawahnya dengan unjung jari secara tak sadar.
xxx
Tanggal sembilan September.
Empat tahun sejak hari di mana Draco menghilang.
Hari ini hari Sabtu. Musim panas masih bergantung di udara bagai teman lama, enggan untuk pergi. Harry berdiri di balkon dan menengadah pada langit biru.
Terkadang mimpi mustahil untuk diraih.
Dia bisa berpura-pura. Bahwa bila dia berbalik, saat ini adalah Desember. Di dalam apartemennya gelap, hanya ada kilau lampu-lampu kecil mengiluminasi ruangan. Draco akan berdiri di samping pohon Natal.
Kau ada di sini, Harry akan berkata, dan Draco akan memberinya salah satu tatapan itu. Tatapan di mana dia sedikit memiringkan kepala, dan bibirnya melengkung sangat samar, ada tawa tersembunyi di sana. Dan Harry akan melangkah maju dan mencium tawa tersembunyi itu, menekan bibirnya pada sudut mulut Draco, tepat di mana seringai kecil itu bermula.
Kalau begitu jangan melihat ke belakang.
Harry melihat ke belakang.
Di seberang lantai kosong yang diterangi matahari, hamparan dinding putih tampak mengolok-oloknya. Foto kecil menyedihkan itu, tepat di tengah-tengah. Wajah Hermione dan Ron tak lebih dari bayangan blur.
Harry melangkah ke dalam, mengerling langit biru tanpa awan sekali lagi sebelum menutup pintu geser. Dia menelusurkan sebelah tangan di atas konter, merasakan semua ruang kosongnya dimana orang seharusnya berada. Kesunyian di mana seharusnya ada suara, kadang pelan dan serius, kadang ringan dan menggoda.
Tangkap aku.
Harry mengulurkan tangan, dan untuk sesaat dia hampir dapat merasakan bunga-bunga canola menggelitik jari-jarinya, bintang-bintang di kulitnya, tangan yang menggenggamnya.
Dia berkedip, lalu perlahan menurunkan tangannya.
Di sekelilingnya, butiran debu menari di bawah sinar matahari.
xxx
Mereka memberinya tugas lapangan baru di hari senin. Folder hijau tua dijatuhkan di atas meja Harry diirinyi bunyi debuk. Kepala Ron muncul di atas pembatas bilik.
"Tugas baru."
"Kurasa begitu." Harry memungut folder lalu membukanya. Sekelompok seniman penipu internasional menggunakan ramuan cinta dan jampi romansa untuk memperdaya penyihir tua untuk mendapat tabungan mereka. Ada banyak lokasi, tanggal, foto-foto tersangka, dan halaman laporan bank. Harry mengeryit dan membuka halaman, melewati bagian tanggal dan lokasi.
"Tak banyak informasi di sini," ujar Harry.
"Yeah, well, itulah kenapa pasukan Pelaksana Hukum memberikannya pada kita." Ron menggedikkan bahu. "Pearson sedang mengerjakan peta saat ini, semoga saja kita akan menemukan beberapa pola."
"Sudah bicara dengan salah satu korban?"
"Mereka rasa itu tidak perlu. Sudah pasang pengintaian dan beberapa mantra pelacak, harusnya sih bisa menangkap para penipu itu dalam seminggu."
Harry mendesah keras. Dia tak bermaksud melakukannya, tapi Ron mengangkat sebelah alis dan menatap Harry tajam.
"Hermione ingin tahu apa kau bisa datang untuk makan malam hari ini."
"Baiklah."
Ron menatap Harry untuk terakhir kali, lalu menghilang dari pandangan, kembali duduk di kursinya.
xxx
Harry mengunjungi kantornya di Divisi Investigasi sebelum pulang hari itu. Bukan, pikirnya untuk sesaat sebelum meringis dan menggeleng. Bukan, itu sudah bukan kantor Harry.
Seharusnya dia membereskannya, tapi dia lupa. Atau mungkin dia hanya menghindari memikirkannya. Kunci pintunya terbuka dengan ketukan tongkat sihir, seperti biasanya. Kelemahan keamanan, pikirnya otomatis—harusnya mereka menghapus tanda tangan tongkat sihir Harry dari kantor ini segera setelah dia pergi. Tapi itu adalah cara pikir seorang Auror—siaga setiap saat. Harry tersenyum garing. Tak akan ada yang mau mendobrak masuk ke kantor Orang Hilang. Tak ada yang menarik di sini—tak ada organisasi kriminal internasional atau informasi teroris. Hanya foto-foto orang hilang dalam potret keluarga yang tengah tersenyum. Orang-orang biasa, hilang dan hanya dirindukan oleh keluarga dan kawan mereka. Dianggap tak penting oleh orang-orang lainnya.
Jendelanya disihir menawarkan pemandangan matahari terbenam di atas London, menyinari ruangan dengan bayangan terakhir senja berawan. Harry melihat sekeliling ruangan, untuk sejenak melihat kartu yang dikirimkan oleh anak Fenwick. Terima kasih karena telah menemukan ayahku, tulisan canggung anak remaja. Itu sangat berarti. Tentu saja, saat Fenwick menghilang, putranya baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Sekarang dia berumur tujuh belas.
Orang-orang yang berterima kasih padanya tak pernah berhenti membuat Harry kagum. Dia menghabiskan berbulan-bulan mewawancarai mereka, meminta mereka untuk mengingat kembali memori sulit atau menyakitkan, duduk dan mendengarkan mereka mengingat kebiasaan kecil atau hobi orang terkasih mereka. Dan lalu dia akan menemukan tulang belulang di tengah padang, atau catatan bunuh diri, dan harus mengabari mereka. Dan Merlin tolonglah mereka, mereka berterima kasih padanya. Dengan air mata di mata mereka, mereka berterima kasih saat dia memberi tahu mereka bahwa orang terkasih mereka telah mati.
Perlahan Harry menelusurkan sebelah tangan di atas meja. Dia bisa saja sedang mengerjakan kasus sekarang, mengerjakan sesuatu yang penting…
Pekerjaan Auror juga penting, dia mengingatkan diri sendiri dengan jengkel. Orang-orang tua, kehilangan tabungan hidup mereka pada kriminal serakah…tentu saja itu penting. Jauh lebih penting daripada, misalnya, membawa seseorang pulang.
Dia cepat-cepat meninggalkan kantornya, menutup pintu sedikit terlalu keras di belakangnya.
xxx
Apartemennya dingin. Sekarang setelah September sedang berjalan, kehangatan terakhir musim panas menghilang dengan cepat. Harry membuka kunci pintu dan berhenti sebelum melangkah ke dalam apartemen. Dinding putih, lantai, konter dapur. Ruangan yang dilucuti telanjang. Tak ada apa pun di sini. Dengan sebersit kesedihan, Harry ingat menyusuri kebun bunga mawar Astoria, aroma manis kue yang sedang dipanggang dalam oven, derak musik dari Radio Penyihir. Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia mengunjungi Astoria dan Matthew.
Harry menutup tirai. Putih, pikirnya, sembari menatap kain tirai saat dia perlahan menariknya menutupi jendela. Kenapa segala hal di tempat ini berwarna putih? Dia melangkah ke dalam kamar. Kasur yang sama di mana dia dan Ginny tidur, ditata rapi dengan seprai putih dan selimut sewarna krim. Di meja samping, tak ada apa pun selain segelas air dan sebuah buku. Bunga untuk Algernon. Satu-satunya benda personal di tempat sialan ini, satu-satunya benda menarik, dan dia mencurinya dari Draco.
Dia sedang tak ingin bertemu siapa pun malam ini, tapi dia telah janji pada Ron dan Hermione. Harry membuka jubah kerja dan menggantungnya, lalu menatap kosong ke dalam lemari pakaiannya untuk waktu lama sebelum menutup pintu. Dia sudah terbiasa tidak memakai jubah, terutama selama tiga minggu terakhir. Dia membeli celana jeans dan kaus selama perjalanan mendadaknya; Draco lebih banyak membeli pakaian formal dan menjaganya tetap rapi tak peduli jam berapa pun di malam hari mereka mengemudi. Observasi ini membuat Harry ingin tersenyum pada waktu itu.
Dia sedang tak ingin tersenyum saat ini.
Sebaliknya dia meninggalkan kamar, berjalan menuju pintu depan, mendengar setiap langkahnya bergema dalam ruangan kosong.
xxx
Pada waktu dia tiba di tempat Ron dan Hermione, waktu sedikit lebih larut dari yang dia kira. Jam berdentang pukul delapan tepat ketika Hermione menggiringnya masuk melalui pintu. Matanya cerah dan ada sedikit rona merah di pipinya.
"Sudah minum wine, Hermione? Sayang sekali," kata Harry, tersenyum, dan Hermione memukul lengannya.
"Tidak! Yah—hanya beberapa gelas. Apa kau ingin minum sesuatu? Oh, jangan khawatir, aku tahu alkohol yang kau suka. Ada wiski oak berumur di tempat penyimpanan."
"Terima kasih." Harry beranjak ke dapur; Ron bertengger di atas konter, sedang membaca Quidditch Mingguan dengan seksama, sebotol butterbeer di dekat sikutnya. Dia hanya melirik Harry sekilas.
"Telat seperti biasa," ujarnya, nyengir.
Mereka jatuh ke dalam percakapan dengan mudah seperti biasa. Hermione bersandar di bagian lain konter, segelas wine di sebelah tangan, matanya cerah saat dia bergabung dengan mereka mengenang hari-hari mereka di Hogwarts. Waktu terasa berlalu dengan cepat; lama setelah mereka selesai makan malam, mereka tetap duduk di sekeliling meja makan. Harry tengah minum butterbeer dan menunduk menatap meja, samar-samar menelusuri corak melingkar pada serat kayu, ketika Ron angkat bicara.
"Mau melamar ke Divisi Investigasi, Harry?"
Harry mendongak. Ron nyengir padanya.
"Bagaimana kau tahu soal itu?"
"Pakai kemampuan Auror-ku yang hebat, tentu saja." Ron bersandar di kursinya. "Lebih baik kau cepat-cepat menyusun lamaranmu, lamarannya akan ditutup besok."
"Yah." Harry berhenti menelusuri corak dan meminum seteguk butterbeer. "Aku tidak akan melamar."
Ron mengeryit dan berbagi pandang dengan Hermione. "Tapi… kau bilang kau tidak suka dengan kerjaan Auror-mu. Kupikir…"
"Aku sudah jadi Auror selama tujuh tahun," kata Harry. "Aku pandai dalam hal ini."
"Kau juga pandai dalam hal investigasi," balas Hermione, mengeryit. "Kau berhasil menyelesaikan sepuluh kasus dalam kurun waktu delapan bulan!"
"Apa? Jadi aku harus membuang hasil latihan tujuh tahun begitu saja?"
"Tak ada yang bilang begitu." Ron tampak jengkel. "Tapi cobalah beranikan diri sedikit. Mungkin kau bisa menaiki pangkat dengan cepat—tak akan butuh waktu lama untuk mendapat promosi. Holdsworth cukup terkesan padamu, terutama setelah kau memecahkan kasus Malfoy. Itu brilian, Harry."
Harry tak ingin bicara soal Draco Malfoy. Dia menatap kondensasi di permukaan botol butterbeer dan menunggu lama sebelum bicara.
"Aku selalu ingin menjadi Auror sejak dulu."
"Yah, orang bisa berubah, Harry," ujar Hermione. "Hanya karena kau selalu ingin menjadi sesuatu, bukan berarti kau tak bisa berubah. Dan ya, kau menginvestasikan tujuh tahun karirmu sebagai Auror. Tapi tak ada gunanya tetap tinggal di departemen itu bila kau tak bahagia…"
"Aku bahagia di tempatku sekarang."
"Kau tak bahagia," kata Ron, seraya mengambil sebotol butterbeer baru. "Kau bilang begitu padaku, saat…"
"Dengar, jangan dibicarakan lagi, oke?" hardik Harry. "Aku hanya bilang…"
"Kau takut." Ron mengacungkan botol butterbeer-nya pada Harry, lalu menaruhnya berdiri lagi dan memutar tutupnya. "Menyedihkan betul."
Mulut Harry terbuka lebar. "Takut? Kau serius?"
"Kau takut." Ron menyesap seteguk butterbeer-nya dengan santai. "Kau takut bahwa bila kau mengambil pekerjaan investigasi, itu artinya kau salah soal selalu ingin jadi Auror. Dan kau menyia-nyiakan tujuh tahun melakukannya. Tapi itu adalah cara yang bodoh untuk menilainya. Kita melalui masa-masa yang hebat selama tujuh tahun itu, kan? Kau pernah bahagia selama tujuh tahun itu, kan? Kalau begitu, itu bukan sia-sia." Ron menggeleng. "Sama seperti kalah dalam pertandingan Quidditch, lalu berkata kau berharap tak pernah bermain sama sekali."
Harry terdiam.
Apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, hanya pergi kemana pun orang lain membawamu…
"Kau baik-baik saja, sobat?" Ron mengerutkan dahi.
Harry mendongak, hampir tidak mendengarkan. Dia mengangguk, mencoba tersenyum, mengatakan sesuatu.
Tapi semua yang dapat dia pikirkan hanyalah betapa dia hampir memutuskan untuk tak pernah melihat ke belakang. Untuk tak pernah mengerlingkan matanya pada spion tengah.
Tapi ini bukan dirimu, kan, Potter?
Bukan. Memang bukan.
xxx
Delapan belas September.
Harry berdiri di luar pintu kantor. Dia sudah mondar-mandir di koridor selama dua puluh menit penuh, setumpuk kertas di sebelah tangan. Tiga kali, di tengah bolak-balik tanpa hentinya, dia hampir menabrak sekretaris yang tampak acak-acakan.
"Ada yang bisa saya bantu?" mereka bertanya padanya, dan dia menggeleng setiap kali.
Entah dari mana, jam berdentang pertanda siang. Harry menarik napas, badan menegak, dan melihat ke depan. Dia berhenti sejenak, lalu mengetuk tajam tiga kali ke pintu. Jeda lama, dan kemudian—
"Masuklah."
Harry membuka pintu dan berjalan ke dalam kantor. Holdsworth, tengah mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas meja, menatapnya dengan ekspresi menunggu.
"Hai," ujar Harry pelan. "Er… Saya hanya berpikir… Mungkin saya…" Dia menyodorkan kertas-kertas di tangannya. "Surat lamaran saya."
"Terima kasih, Potter." Holdsworth berkata singkat, menjangkau dan menerimanya. Dia menaruhnya rapi di sisi meja tanpa melihatnya. "Hanya itu saja?"
Harry terhenti. "Saya… Saya hanya ingin bilang bahwa saya mengerti sekarang. Apa maksud Anda saat Anda berkata bahwa menyelesaikan kasus bukan permainan Quidditch, dan orang-orang bukan snitch."
Holdsworth menatapnya, lalu mengangguk sekali.
"Bagus sekali, Potter." Dia lanjut mengerjakan kertas laporannya.
Harry mengerti isyaratnya dan pergi.
xxx
Badai berkumpul esok harinya, dan itu mengingatkan Harry pada malam di mana dia menyaksikan badai bergulung di atas Laut Celtic, kulit pucat dan rambut pirang Draco bertabrakan indah dengan langit gelap.
Kalau dipikir, segala hal mengingatkan Harry pada Draco akhir-akhir ini. Malam mengingatkannya pada lautan bintang di Snowdonia, dan angin sunyi musim gugur mengingatkannya pada amukan ombak tepi laut Cornish. Cuaca cerah memanggil perasaan bunga kuning canola dan langit biru pucat, sedangkan hujan membuatnya teringat jatuh tertidur di dalam Renault, mendengarkan ayunan samar pembersih kaca depan mobil, melihat tetesan-tetesan air di kaca samping. Melihat pergelangan tangan Draco bergerak saat dia menyetir di tikungan.
Sebuah Renault Mégane coupé keluaran tahun 2002. Harry ingat saat pertama kali dia melihatnya, kain terpal terjatuh, debu menari di udara. Itu bukanlah mobil mewah; tidak pula spektakuler. Tapi itu mobil milik Draco, dan Harry merindukannya sama seperti dia merindukan Draco. Sama seperti dia merindukan langit malam cerah, jalan raya, lampu pohon Natal, tebing berangin kuat, padang canola, dan cara mata Draco berkelip ke spion tengah.
Harry hanya ingin pulang.
xxx
Jadilah dia melakukannya. Jauh di dalam cahaya emas musim gugur, dia pergi ke manor. Seorang peri rumah menjawab ketuk ragunya, mengintip Harry dengan mata besar sebelum membungkuk dan mempersilakannya masuk ke ruang resepsi.
"Tolong tunggu di sini. Saya akan panggil Mistress—"
"Tidak, aku—aku ke sini untuk bertemu Draco, sebetulnya."
Si peri rumah mengeryit, lalu mengangguk dan menghilang. Si peri hilang begitu lama hingga Harry mulai bertanya-tanya apakah si peri mati di perjalanan. Dia berbalik dan memperhatikan sekeliling, dengan kursi tak nyaman dan meja bundar berlapis dihiasi foto-foto, dan memungut salah satu bingkai foto. Draco tersenyum padanya dan Harry membalas senyumnya.
Suara langkah kaki. Harry mendongak.
Draco sangat mahir mengubah wajahnya menjadi ekspresi kosong, pikir Harry. Saat dia ingin, dia bisa menyembunyikan emosinya dengan sangat mudah. Meski begitu, Harry mengumpulkan keberaniannya, menolak untuk mundur sekarang.
"Mau pergi mengemudi?" tanyanya santai.
Draco menatapnya.
xxx
Musim gugur telah betul-betul tiba di Wiltshire. Padangnya sewarna emas; pepohonan tampak terbakar di bawah sinar matahari sore, daunnya merah menyala. Draco mengemudi di sepanjang jalan sempit pedesaan, jenis jalan yang sama yang Harry lalui berjam-jam saat belajar mengemudi. Sebuah pohon ek melengkung di depan, mengirimkan naungan menari singkat di atas mobil, dan Harry teringat pada pohon ek Welsh kuno di Snowdonia. Jalan sempit dengan segera bergabung dengan jalan yang lebih lebar. Sebuah peta arteri, mengarah ke jantung antah berantah.
Semua sungai mengarah ke lautan.
Suara lonceng peringatan; Draco memelan di dekat palang perlintasan kereta dan menunggu.
Harry menatapnya.
"Aku salah, kau tahu."
"Salah soal apa?" Draco mengistirahatkan kedua tangannya di atas roda kemudi, menatap jalan di seberang perlintasan.
"Kurasa kita bisa jadi teman," ujar Harry pelan.
Draco tidak mengalihkan tatapannya. "Benarkah?" tanyanya, terdengar tak percaya. "Tadinya kau tampak berpikir sebaliknya."
Kereta hampir melewati perlintasan sekarang.
Sekarang atau tidak pernah.
Dia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Draco. Draco tampak terkejut, tapi tak melawan.
"Yah, well," ujar Harry, "mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang."
Dia mengangkat tangan Draco, membawa pergelangan tangannya lebih tinggi, dan mencium kulit lembut tepat di bawah ekor tinta Tanda Kegelapan.
Kereta bergegas lewat.
.
End 

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart