Running on Air © eleventy7 chapt 15

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 15
.
Badai memberi jalan pada hujan. Dan ketika Harry bangun pagi berikutnya, langitnya kelabu pucat. Hujan gerimis mulai turun ketika dia lari pagi, dan saat dia berjalan kembali ke penginapan —meninggalkan jejak kaki basah di belakangnya— si resepsionis tampak sebal.
Kendati demikian, hal itu tak dapat memadamkan semangat Draco, yang —setelah sarapan santai— bersikeras menyusuri jalan setapak tepi laut.
"Kau boleh pergi. Aku mau tinggal di sini saja," kata Harry.
"Oh, aku lupa. Masih tersisa setidaknya tujuh halaman di majalah Quidditch mingguan yang harus kau baca dengan teliti," balas Draco, tapi tak ada niat jahat dalam kata-katanya dan Harry hanya tertawa.
"Jangan jatuh ke jurang, ya," ujarnya.
"Terima kasih atas sarannya, Potter. Akan kucatat supaya aku tak lupa."
Draco meninggalkan kamar, membawa tongkat sihirnya bersamanya. Draco punya cara menangkap tongkat sihir menggunakan ujung jari dan menjentikannya ke dalam lengan baju, di mana tongkat sihir itu tetap di tempat seakan menempel ke kain. Itu trik yang sangat rapi, pikir Harry, dan bahkan tampak lebih cepat dari metode yang diajarkan Auror.
Setelah Draco pergi, Harry mengalihkan perhatiannya pada Quidditch Migguan yang dia beli dari toko buku di Hopper's Crossing. Dia membaca hampir semua artikelnya dua kali. Ada halaman yang didekasikan untuk Ginny pada seksi 'Sepuluh Pemain Wanita Terbaik'. Halaman itu dibumbui dengan foto-foto Ginny dan referensi 'mantan tunangan Harry Potter'. Hal itu mengganggu Harry. Ginny telah berjuang bertahun-tahun demi mengukir namanya sendiri, tapi di setiap wawancara dan artikel olahraga tak terhitung, nama Harry selalu diseret oleh pewawancara yang antusias. Bahkan sekarang setelah mereka tak lagi memiliki hubungan khusus, tampaknya Ginny masih memiliki kendala yang sama.
Harry iseng penasaran bagaimana surat kabar menyajikan kisah perpisahan mereka. Meskipun mereka putus saat Natal, media masa baru mulai berspekulasi pada bulan Februari, dan Hermione memberitahunya bahwa Rita Skeeter membeberkan beritanya secara resmi di penghujung April. Harry tidak akan tahu. Dia tidak membaca koran, sebagai gantinya memilih untuk bergantung pada Ron dan Hermione untuk terus mengabarinya kabar terbaru di dunia sihir. Kalau tidak, dia akan melihat halaman demi halaman tentang kehidupan pribadinya. Setidaknya Hermione menjamin tak ada satupun hal jahat dalam artikelnya. Kebanyakan laporan bodoh dan melebih-lebihkan, seperti Harry mengklaim kepemilikan naga peliharaan mereka atau Ginny menjual cincin pertunangannya lewat kolom iklan di Daily Prophet.
Tentu saja, tak diragukan lagi akan ada berita yang jauh lebih heboh bila ada yang tahu dia tiba-tiba menghilang.
Dia selalu menghindar dari media, dan dia terkenal sangat sulit untuk dimunculkan di koran. Hermione dan Ron akan menutupi kehilangannya, tapi rekan-rekan kerjanya tak diragukan lagi akan menyadari ketidakhadirannya yang tanpa alasan dan mulai bergosip di antara mereka. Dan segera, bisik-bisik mereka akan mencapai antena Rita Skeeter yang selalu siaga.
Harry bahkan tidak memikirkan kemungkinan Draco pergi ke media. Draco tak akan melakukan itu. Dia tak tahu kenapa, tapi dia hanya tahu Draco tak akan melakukannya. Ketika mereka pulang nanti…
Ketika mereka pulang.
Harry duduk di ujung kasur Draco. Itu adalah kalimat yang berusaha dia hindari untuk dipikirkan. Ketika mereka pulang. Rasanya aneh untuk dibayangkan.
Tentu saja teman-temannya akan sangat cemas dan dia harus mengunjungi mereka sekaligus —rasa bersalah bergaung dalam hati Harry— dan dia harus menjelaskan ketidakhadirannya pada atasannya yang jengkel, dan berurusan dengan kolega-kolega yang penasaran—
—Tapi kemudian dia mengingat apartemennya, kotak beton di atas langit, dengan perabot berdebu dan kamar kosong, keheningan yang membebani malam-malam tanpa tidurnya.
Harry tiba-tiba berdiri lalu meraih kunci Renault seakan itu adalah sekoci penyelamat.
xxx
Pada waktu Draco kembali di siang hari, Harry usai pergi mengemudi, kembali, kemudian duduk dan membaca Flowers For Algernon.
"Ingatlah, mereka hanyalah kata-kata. Mereka tak bisa melukaimu," ujar Draco basa-basi, seraya menjatuhkan jaket basahnya ke kasur Harry.
"Mm," jawab Harry asal, seraya membuka halaman.
Draco mencoba untuk mengajak Harry bercakap-cakap beberapa kali lagi, lalu menyerah dan menghilang lagi untuk mencari makan siang. Dia kembali tiga jam kemudian membawa buku baru.
"Habis dari toko buku," ujar Draco, menyadari tatapan bertanya Harry. "Melihat kau mencuri buku bacaanku satu-satunya."
"Ternyata aku benar," ratap Harry sedih, seraya menuangkan segelas Glenmorangie untuk dirinya sendiri. "Buku ini memang bikin depresi." Dia mematai buku baru Draco. "Apa yang itu juga bikin depresi?"
"Aku tak tahu. Aku belum membacanya."
"Ceritanya tentang apa?"
"Seorang pedagang gading pergi ke Afrika untuk liburan kecil menyenangkan," kata Draco santai. Harry menatapnya datar.
"Lalu…?"
"…lalu dikecewakan oleh imperialisme setelah menyaksikan kekejaman dan korupsi para penjajah Eropa yang serakah. Pada akhirnya dia menjadi sangat takut akan kegelapan dan tantangan pada pemerintahan dunianya yang diwakilinya."
Harry mengerang. "Sudah kuduga pasti bikin depresi. Apa kau membaca bacaan apa saja yang tidak menyebabkan krisis eksistensial?"
"Aku membaca brosur kemarin."
"Apakah itu brosur tentang kehidupan tidak memiliki nilai hakiki apa pun?"
"Sangat lucu, Potter." Draco berbalik, tapi sudut mulutnya sudah melengkung ke atas.
Harry tertawa.
xxx
Esok paginya, mereka berjalan di sepanjang jalan kecil tepi pantai yang berliku-liku sekitar satu jam. Saat matahari mulai terbit, mereka berhenti untuk melihat air. Draco berdiri di ujung tebing, menghadap laut. Harry —akhirnya merasakan keletihan setelah bermil-mil dan berjam-jam— duduk dengan punggung bersandar pada batu besar.
Matahari terbitnya tak lebih dari noda biru pucat seukuran jari, berkilau di langit gelap, tapi kemudian perlahan makin cerah menjadi semacam mercusuar emas, seperti sebuah snitch melayang di cakrawala. Dan akhirnya, matahari memancarkan cahaya brilian pertamanya di atas ombak, menggambarkan Draco dengan tegas di balik langit.
Harry menatap siluet Draco untuk waktu lama, dan hanya ketika Draco menolehkan kepala untuk menatap matahari barulah Harry menyadari bahwa dia tengah berusaha menentukan kapan persisnya dia jatuh cinta pada Draco Malfoy.
Itu adalah perasaan yang menakutkan. Mudah saja untuk bernafsu pada seseorang, untuk menyamakan wajah mereka dengan detak jatung yang melompat atau tarikan napas tajam. Mudah untuk berkata aku menginginkan mereka karena warna mata mereka, lekuk tubuh mereka.
Tapi mengatakan aku menginginkan mereka karena cara mereka menempatkan tangan mereka di atas roda kemudi, cara mereka menatap ke luar jendela, cara mereka mengucapkan namaku adalah hal yang sama sekali berbeda.
Harry berusaha untuk mengingatkan diri sendiri pada Ginny, pada lekuk tubuhnya yang lembut dan feminim. Atau bahkan Cho, atau…
…tapi tak pernah ada orang lainnya. Hanya perasaan singkat pada Cho, dan sebuah hubungan dengan Ginny yang mendatar dengan segera menjadi koneksi tak yakin yang hilang ditelan jarak dan waktu.
Harry menempatkan tangannya rata di atas tanah, hanya demi merasakan sesuatu yang solid di bawahnya, hanya demi merasa membumi entah bagaimana.
Matahari mengecup udara dengan kehangatan nyata musim panas yang pertama.
xxx
Mereka meninggalkan Landewednack esok harinya. Draco mengemudi. Harry mendengarkan suara lautan memudar di belakang mereka, tapi dia tidak melihat ke belakang.
Jalanan terus dan terus berlanjut. Tebing berpasir menjadi hutan-hutan datar, pohon-pohon hijau rimbun di bawah cerahnya sinar matahari, dan paroki-paroki kecil berkelip lewat.
Mereka berhenti di Launceston untuk makan siang dan Harry menelusuri garis-garis pada peta saat Draco selesai minum kopi. Weston-super-Mare beberapa jam jauhnya, pikir Harry. Tempat yang sama di mana ibunya dibesarkan, dan dia tak pernah pergi ke sana.
Saat dia masih kecil, dia selalu berpikir Inggris luar biasa besar. Anak-anak lain membicarakan liburan musim panas yang mereka habiskan di Brighton, atau perjalanan ke bukit-bukit permai Cotswolds, atau kunjungan sekolah untuk melihat atraksi utama Wiltshire: monumen kuno Stonehenge.
Tapi bagi Harry kecil, yang selalu terkurung dalam deretan rumah dan jalan rapi Little Whinging, tempat-tempat itu layaknya misteri fantasi, lokasi aneh dan menakjubkan yang hanya dapat dia mimpikan. Dalam pikirannya, pantai Brighton adalah surga tropis, Cotswold adalah belantara liar dengan danau tanpa dasar dan gunung-gunung menjulang, dan Stonehenge menjulang tinggi di atas tanah bak gedung pencakar langit.
Mereka terus dan terus mengemudi.
"Lihat," ujar Harry tiba-tiba, satu jam setelah mereka meninggalkan Launceston. Dia menegak di tempatnya duduk dan menunjuk.
"Lihat apa?"
"Padang-padang itu," kata Harry, takjub. Padang-padang kuning cerah berjajar di sisi jalan sempit, membentang luas hingga kuning cemerlang itu bertemu langit biru.
Draco mengerlingnya. "Itu kan hanya padang canola biasa."
"Lihat warna-warna itu."
"Jangan bilang padaku kau belum pernah melihat padang canola? Padang canola ada di mana-mana."
"Indah sekali." Harry tak gentar oleh nada meremehkan Draco, tapi Draco tiba-tiba memelankan mobil dan menariknya ke sisi jalan. "Apa?" tanya Harry, untuk sesaat melupakan padang dan bertanya-tanya apakah Draco marah karena sesuatu. Tapi Draco hanya memberikan gerakan isyarat ke arah padang.
"Bukannya kau mau melihat-lihat dulu?"
Harry membuka pintu mobil, berjalan di sekitar kap mesin untuk bergabung dengan Draco di sisi lain. Untuk sejenak mereka berdiri bersama, menatap ke seberang padang kuning cerah. Seekor burung jalak bertengger di atas tiang pagar, sayapnya mengepak-ngepak di bawah matahari siang yang hangat; di dekatnya, seekor belalang melompat dari satu tangkai ke tangkai lain.
Harry mengamati bunga-bunga canola, melihat kelopaknya bergoyang pelan oleh angin sepoi-sepoi. Draco bersandar pada mobil hangat dan Harry dapat mendengar bunyi tik mesin mendingin.
"Kau belum pernah melihat padang canola?" tanya Draco lagi.
Harry menggeleng. "Belum." Dia berpaling, menatap si burung jalak. "Aku tinggal dengan kerabat Muggle. Mereka tidak suka mengajakku jalan-jalan."
Dia dapat merasakan tatapan Draco padanya dan menunggu dalam senyap panjang.
"Sekarang masih awal musim," ujar Draco akhirnya, seraya mengangguk pada padang. "Kita harus kembali ke sini di bulan Agustus, saat kebanyakan benih-benih dipanen." Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku dan menengadah, menatap ke atas langit tanpa awan. "Saat aku masih kecil, aku bisa tahu musim panas akan segera berakhir saat padang canola berubah dari kuning cerah menjadi coklat kusam." Dia tersenyum samar, masih menatap biru tanpa ujung. "Dan padang rumput jerami akan dipotong, dan dibanjiri oleh bunga-bunga liar. Saat itulah aku tahu musim panas berakhir."
Harry menatap Draco, pada matahari yang mengiluminasi guratan tubuhnya, sudut rahangnya, kemiringan dagunya, cara sinar matahari melancarkan bayangan bulu mata yang-sangat-samar di atas tulang pipinya.
"Apa kau suka musim panas? Di Wiltshire?"
Draco mengerlingnya, masih tersenyum samar. "Tentu saja. Itu rumahku, kan? Hari-hari yang kuhabiskan dengan berlari di sepanjang padang gandum dan memanjat pohon… Dulu aku senang menangkap kodok di sungai dan membuat perahu layar kecil dari kertas Daily Prophet edisi lama… Aku selalu berpikir perahu-perahu itu akan menemukan jalan mereka ke laut lepas. Mereka mungkin akan meninggalkan Inggris, tapi aku tak akan pernah bisa."
"Kau tak bisa meninggalkan Inggris?" Harry mengeryit, tapi Draco menggeleng.
"Tak pernah ingin. Saat kau masih anak-anak…dunia hanya sebesar kamarmu, kan? Semesta adalah diameter tiga mil di sekitar rumah masa kecilmu. Mengetahui setiap sungai, setiap padang, terasa seperti tugas mustahil. Jangankan menaklukkan daerah di luar Wiltshire."
"Membuatku semacam berharap aku dibesarkan di Wiltshire," komentar Harry. Draco menatapnya, lalu kembali mengerling padang, pada hamparan emas bertemu cakrawala biru.
"Aku akan membawamu ke sana," ujarnya.
"Aku akan senang."
Mereka berdua berbalik, seolah mencapai suatu kesepakatan tak terucap, dan membuka pintu mobil lagi. Draco mengambil sisi pengemudi lagi dan Harry melihat matanya berkelip pada spion tengah, menatap padang canola memudar di kejauhan.
"Ceritakan padaku lebih banyak tentang Wiltshire," celetuk Harry, dan Draco dengan mudah berbicara tentang musim panas di masa kecil yang dia habiskan dengan menjelajahi padang rumput jerami, burung skylark terbang dari satu padang ke padang lain, tentang hutan hijau. Harry mendengarkan setiap kata, terpesona oleh deskripsi musim panas hilang yang, saat dia masih kecil, hanya dapat dia mimpikan.
Dalam mata pikirannya, dia melihat berbagai adegan terurai: Draco, sebagai anak kecil, melipat perahu dari kertas koran dengan hati-hati dan mengirimkannya ke hilir sungai; bermain di padang gandum, melambai-lambaikan ranting saat dia memerintah pasukan imajiner; menonton mesin pemanen mengaduk padang canola, memangkas bunga kuning cerah dan meninggalkan tumpukan tangkai patah.
Tapi, dia menyadari, dia selalu membayangkan Draco sendirian. Tentu saja, Draco tak punya adik atau kakak, baik laki-laki atau pun perempuan. Dan Lucius tampak jauh, sosok ayah yang lebih sering absen. Dia juga tak punya teman, Harry menyadari. Pastinya, Draco tidak akan berteman dengan anak-anak Muggle setempat.
"Pasti sepi sekali," ujar Harry tiba-tiba. Dia tak bermaksud mengatakan itu keras-keras, tapi dia terlanjur.
Draco yang dulu akan menggelap oleh amarah, pikirnya, atau tergagap murka, dengan segera membalas bahwa dia punya banyak teman, terima kasih banyak, dan rumah yang sangat mahal dan peri-peri rumah dan keinginannya selalu terpenuhi.
Tapi Draco hanya menghembuskan napas tajam, mendorong udara lewat gigi, dan tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan di depan—berkata, "Memang."
Mereka berdua terdiam untuk waktu lama setelah itu. Jalan raya yang mereka lewati serupa garis lurus panjang memotong daratan, tak pernah putus, tak pernah berliku maupun berputar, dan Harry melihat bayangan memanjang ketika siang berubah menjadi senja.
Mereka tak pernah bertemu satu sama lain hanya berdua, Harry menyadari. Kebanyakan waktu, mereka dikelilingi orang-orang saat bertemu satu sama lain di koridor Hogwarts. Di dalam kelas, teman-teman mereka berdiri di belakang, bermuka keras, bagai jajaran tentara. Waktu-waktu di mana mereka bertemu satu sama lain betul-betul sendirian bisa dihitung dengan sebelah tangan.
Dia mengingat Draco yang tengah menghadapi Dumbledore, tongkat sihirnya gemetar, ekspresi putus asa terpeta di wajah. Dalam penglihatan yang Harry lihat lewat Voldemort, wajahnya kurus dan membatu. Menatap wajah yang sama, basah oleh air mata, terefleksi pada cermin di kamar mandi Hogwarts. Tak ada yang bisa membantuku, dia berkata.
Selalu sendirian.
"Menurutmu apakah kita bisa berteman saat di Hogwarts?" celetuk Harry.
"Tidak," jawab Draco seketika, dan perih mekar bagai memar dalam hati Harry. Draco melirik spion tengah sebelum berubah jalur, menyalip mobil lambat. Kali berikutnya dia bicara, suaranya lebih pelan. "Bila ingin hal itu terjadi, kita harus mengubah asumsi selama delapan tahun dan mengganti keyakinan kita, nilai-nilai kita." Draco menggeleng. "Mustahil."
"Tidak mustahil," sanggah Harry.
"Selalu optimis menjengkelkan," kata Draco masam.
"Kau berubah," balas Harry. "Jangan bohong, aku tahu kau berubah. Awalnya kau membual secara terbuka soal menjadi pelayan Voldemort,"—dia menyadari Draco masih berjengit mendengar nama itu—"dan bangga mematuhi perintah. Dua tahun kemudian, ceritanya betul-betul berbeda. Kau benci menjadi Pelahap Maut, kau malu akan perintah yang kau patuhi."
"Aku tidak membencinya," hardik Draco.
Harry terdiam sesudah itu. Dia tak tahu harus merespon bagaimana tanpa mendidihkan argumen ke permukaan.
Draco lanjut mengemudi. Senja sudah lama meleleh menjadi malam hari, dan lampu depan mobil berkelip lewat di lajur berlawanan. Harry menatap pola monoton cahaya berkelip di atas aspal.
Draco menghirup udara perlahan, lalu menghembuskan. "Aku membencinya," ujarnya. Jeda, kemudian dia mengulang dirinya sendiri. "Aku membencinya. Aku membencinya. Aku membenci dia, dan aku membenci Bibi Bellatrix, dan Carrow bersaudara, dan Rowle, dan seluruh sisa mereka. Setiap salah satu dari mereka. Aku tak tahan berbicara pada ayahku sendiri, dan aku takut pada Greyback—dan bahkan lebih takut lagi pada Nagini. Setiap momen, aku membencinya." Draco mulai tertawa. "Aku membencinya," ulangnya untuk terakhir kali, masih tertawa, dan Harry menatapnya khawatir.
"Kau baik-baik saja?"
"Baik."
"Kau tertawa," Harry mengingatkan dengan tak yakin. "Apa ada candaan?"
"Tidak." Draco menggelengkan kepala, tersenyum. "Hanya saja…apa kau pernah memendam rahasia begitu lama?—kata-kata yang terus kau pikirkan dalam kepalamu, lagi dan lagi, tapi kau tak pernah mengucapkannya keras-keras, lalu—" Dia berhenti, lalu menggelengkan kepalanya lagi. Tapi Harry mengerti.
Jalan raya terurai di depan mereka, garis tak terpatahkannya memesona. Lampu depan memotong malam bagai kebenaran tanpa penjagaan.
xxx
Harry terjaga. Samar-samar dia ingat jatuh tertidur, dahi bersandar pada kaca dingin, menatap kegelapan total di tiap sisi jalan raya. Sesekali, sebuah mobil akan berkilat lewat.
Mobilnya sudah diparkir. Harry mengerjap-ngerjap dan melihat ke sekitar. Tampaknya mereka tengah berada di tempat antah berantah. Kegelapan merentang panjang di segala arah. Harry meraba-raba sabuk pengaman, membukanya sebelum meraih gagang pintu mobil.
Draco tengah berdiri sedikit jauh, menatap ke seberang padang gelap. Dia menoleh dan menatap Harry, dan untuk sesaat Harry ditransportasi melewati ruang dan waktu. Kembali pada angin liar musim dingin pantai Cornish, berdiri di tebing pada tengah malam. Untuk waktu lama, Harry tak mampu mengalihkan tatapannya dari mata abu-abu cerah Draco.
"Kenapa kita berhenti?" tanya Harry akhirnya, mengusir pergi memorinya.
Draco berpaling lagi. "Kita sudah sampai."
"Di mana?"
"Wiltshire." Dia menunjuk. "Di sinilah tempatku biasa bermain, saat masih anak-anak."
"Tepat di sini?"
Draco mengangguk. "Tepat di padang ini."
Harry melangkah lebih dekat ke padang, sepatunya berderak di atas kerikil sebelum dia menginjak rumput lembut.
"Padang ini," ulangnya, perlahan mengulurkan sebelah tangan dan menyapukannya di atas bunga-bunga canola tinggi. Bunganya masih hijau dan muda, masih belum mencapai kecerahan padang canola di Cornwall. Harry memandang intens ke seberang padang, matanya menyempit oleh fokus. Seakan dia bakal melihat hantu Draco muda berlari di antara tanaman canola bila dia memperhatikan dengan cukup jeli.
Harry nyengir dan maju satu langkah.
"Kau mau ke mana?" tanya Draco, terdengar sedikit kaget.
"Menjauh darimu," jawab Harry, lalu berlari kabur.
Satu kesamaan yang dia miliki dengan Draco : masa kecil kesepian. Satu-satunya waktu di mana Harry bermain kejar-kejaran adalah saat dia mendapati dirinya berlari menyelamatkan diri sementara Duddley mengejarnya santai seraya mengejek, atau saat anjing buldog Bibi Marge mengejar kakinya. Berlari melewati padang dengan langit malam cerah dan kering di atasnya, seraya mendengarkan suara langkah kaki ringan di belakangnya, adalah pengalaman yang sangat berbeda.
Suara Draco membelah padang. "Kau gila, Potter! Kau benar-benar serius bermain-main—"
"Maksudmu kita bermain-main," teriaknya dari balik bahu. "Kan kau yang mengejarku."
"Aku bukan sedang mengejarmu! Kembali ke sini!"
"Paksa aku!" Harry tertawa dan meningkatkan laju larinya; di belakangnya, langkah kaki terdengar makin cepat. Harry berbelok tajam ke kiri, merasakan batang-batang tipis dari tanaman canola menyapu jari-jarinya. Dia berlari zig-zag di sepanjang padang, makin lama berlari makin cepat hingga yang dapat dia dengar hanyalah suara pompa darah di telinganya, usaha untuk bernapas dalam tenggorokannya, dan kemudian dia berhenti. Dia tidak dapat mendengar suara langkah kaki di belakangnya lagi.
Harry menoleh ke sekitar. Padangnya tampak kosong; tanaman-tanaman canola bergoyang pelan dalam udara malam. Dia mengeryit, alis bertautan, dan menjatuhkan kedua tangan ke samping, jari-jarinya yang terkepal perlahan terbuka. Kesunyian malam tak menunjukkan apa pun; tak ada langkah kaki maupun tarikan napas samar sedikit pun. Harry mundur satu langkah.
Seseorang menyambarnya; dia berteriak dan hampir melompat kaget. Di belakangnya, Draco mulai tertawa, kedua lengannya masih di sekeliling Harry.
"Kau memekik," Draco berhasil berkata di antara tawa terbahak-bahaknya, suaranya begitu dekat dengan telinga Harry, membuatnya gugup. Harry memerah.
"Aku tidak memekik! Aku—Aku berteriak, hanya itu. Kau mengagetkanku," tambahnya menuduh.
"Kau memekik, akui sajalah. Untuk sesaat, kupikir aku menyambar Astoria."
"Oh, sangat lucu! Hey—kau mau ke mana?" tanya Harry saat Draco menjatuhkan kedua tangan lalu berbalik, siap untuk kabur.
"Tangkap aku." Dan Draco pun berlari menjauh, secepat rubah, berpacu melintasi padang lagi.
Harry mulai berlari.
xxx
Setengah jam kemudian. Mereka perlahan berjalan kembali menuju Renault bersama-sama. Harry dapat merasakan denyut nadinya memelan, seperti mesin mobil mendingin, dan napasnya menjadi pelan dan teratur lagi.
"Kau lebih cepat dari kelihatannya," dia memberitahu Draco.
"Kau tidak."
Harry mendorong Draco, membuatnya sedikit tersandung, tapi Draco dengan mudah mendapatkan keseimbangannya kembali dan tersenyum pada Harry. Bukan, bukan senyum, pikir Harry, seraya menatap lengkungan samar di bibir Draco. Seringai. Harry tidak menyadari betapa dia merindukan seringai itu.
Mereka mencapai mobil dan Harry memilih kursi penumpang, Draco ke kursi pengemudi. Mesin berderum hidup, bannya menggesek kerikil.
Harry menatap spion samping, menyaksikan padang memudar ke dalam kegelapan.
xxx
Dia penasaran kemana mereka hendak pergi. Seharusnya dia bertugas menavigasi, tapi dia tertidur di suatu tempat di Devon. Dan Draco tampak punya tempat tujuan dalam pikirannya. Harry mengerling jam tangannya: jam delapan. Tentunya mereka akan segera berhenti untuk bermalam kan?
Tapi terus dan terus mereka pergi. Padang-padang dan pepohonan berkilat lewat. Bintang-bintang tercermin di atas sungai, dan dari waktu ke waktu, mereka melewati desa kecil, sekumpulan lampu-lampu kecil.
Mereka berada di jantung antah berantah, pikir Harry, seraya menyandarkan dahinya pada kaca dingin jendela. Mereka melewati desa lainnya dan Harry melihat taman bermain untuk saat yang singkat. Ayunan sedikit bergoyang di tengah malam musim panas, rantainya gemeretak, dan dia bertanya-tanya apakah ini tempat yang sama di mana dia memarkirkan Renault berbulan-bulan lalu, ketika Draco memberinya memori. Harry tersenyum, memikirkan bahwa Draco memberinya lebih banyak memori malam ini. Tak ada mantra Legilimency, tak ada pensieve, tapi Draco tetap memberinya banyak memori.
Terus dan terus mereka pergi.
xxx
Draco meminta Harry untuk mengambil alih kemudi.
"Aku mau tidur," dia mengumumkan saat mereka bertukar tempat.
"Aku bahkan tak tahu kita mau pergi ke mana," elak Harry, dan Draco memungut atlas jalan.
"Kau tahu jalan ke Birmingham?"
"Tidak kalau dari sini, aku tidak tahu— apa? Birmingham? Kita mau ke sana?" tanya Harry kosong. "Itu kan jauh sekali!"
"Oh, inikah yang terjadi saat aku mencoba melakukan sesuatu yang baik untukmu?" ujar Draco. "Sekarang, masuk ke M40 dan terus di sana sampai kau mencapai Hockley Heath. Setelah itu ambil jalur M6."
"Tunggu— kenapa kita mau ke Birmingham?"
"Bangunkan aku kalau kita sudah sampai di sana."
Harry memasang muka jelek pada Draco, tapi percuma. Draco sudah menutup matanya.
Harry mendesah lalu mengangkat rem.
Ada sesuatu yang menenangkan tentang mengemudi di malam hari, pikirnya. Jalan raya terurai di hadapannya, lampu depan memudar ke dalam kegelapan di depan. Draco tidur di sampingnya, dahi bersandar ke jendela, napasnya dalam dan teratur. Dia tidur lebih lelap sekarang, pikir Harry. Ketegangan tidak menggarisi wajahnya sekarang, seperti saat di Landewednack.
Sebuah mobil tunggal muncul di kejauhan. Harry melihat lampu depannya bergegas lewat. Jam tangannya berbunyi —jam sembilan malam— dan dia menyadari pengukur bahan bakarnya sudah hampir habis. Dia masuk ke pom bensin berikutnya dan Draco bangun sementara.
"Sudah sampai?" gumamnya, suaranya tebal oleh kantuk.
"Belum."
Draco kembali tidur.
Harry lanjut dan lanjut mengemudi, hingga titik-titik cahaya dari perkotaan dan paroki memberi jalan pada cahaya kota Birmingham. Dia menepi di pinggiran kota dan ragu-ragu untuk membangunkan Draco. Setelah sesaat, dia menyentuhkan sebelah tangan ke bahu Draco.
"Draco. Kita sudah sampai."
Dia bergerak, membuka matanya perlahan. Tatapannya terkunci pada Harry dengan segera. Kemudian dia tersenyum, dan Harry rela memberikan apa saja demi menangkap senyum lengah itu selamanya. Lalu dia tampak terjaga sepenuhnya.
"Aku akan menyetir lagi."
"Kupikir inilah tempat tujuan kita?"
"Birmingham? Kau pikir aku orang sadis macam apa?"
Harry tertawa dan membuka pintu mobil, sekali lagi bertukar tempat dengan Draco.
"Mau aku menavigasi?"
"Tidak. Kau tidur saja."
"Bagaimana kalau aku tidak capek?" tanya Harry.
"Kalau begitu kau bisa merenungkan keputusan-keputusan buruk yang kau buat sepanjang hidupmu."
"Itukah yang kau lakukan?"
"Sana tidur," ulang Draco.
Harry pikir dia tidak akan tidur, hanya untuk membuat Draco sebal. Tapi meski dia berusaha keras, dia tertidur di suatu tempat di sebelah barat Shrewsburry.
Xxx
Ketika Harry terbangun, sekelilingnya gelap. Gelap sepenuhnya. Bahkan saat mereka berkendara di pinggiran Wiltshire, tidak segelap ini. Tak ada satu pun lampu, mau pun kilau samar rumah di kejauhan.
Pintu mobil terbuka.
"Harry."
Dia menengadah. Draco berdiri di sana, mengulurkan sebelah tangan. Harry berhenti sesaat, lalu menerima uluran tangannya. Dia berdiri dan melangkah menjauhi mobil, mengikuti Draco.
Mereka tengah berdiri di tengah-tengah langit, pikirnya sejenak, jantungnya melewatkan satu detakan. Untuk sesaat, dia merasa pusing. Bintang-bintang ada di atas dan bawah, dan Draco akan melangkah ke dalam udara kapan saja, menuntun Harry menuju rasi-rasi bintang, menuju debu halus dan malam penuh awan bertabur bintang. Dia refleks mengeratkan genggamannya pada tangan Draco untuk sesaat, seakan takut dia akan jatuh bila dia melepaskan.
Draco menoleh ke balik bahu dan tersenyum; Harry melangkah maju ragu-ragu, hingga mereka berdiri bersisian. Dan pada momen itu, dia menyadari bahwa bintang-bintang di atas hanya tercermin pada perairan danau luas yang tenang. Gunung-gunung menjulang di tiap sisi danau, seperti gelombang pasang, dan bahkan sekarang —di puncak musim panas— dia dapat melihat kilau pucat salju di puncak teratas. Untuk sejenak, Harry pikir mereka berdiri di ujung dunia. Kegelapan jernih dan kering itu bergulung selamanya hingga langit dan daratan menjadi satu; hutan-hutan, bukit-bukit, bulan sabit tipis terasa menyeimbangkan hatinya.
"Kita di mana?" tanya Harry akhirnya.
"Snowdonia."
Kedengarannya seperti nama tempat yang muncul dalam cerita, pikir Harry. Sebuah wilayah dalam dongeng, atau sebuah kerajaan di suatu tempat yang amat jauh. Harry menatap danau, melihat bintang-bintang berkelip-kelip di permukaannya. Sebuah bintang jatuh berkelip cepat melintasi langit, meninggalkan jejak cahaya pudar.
"Aku pernah ke sini sebelumnya," kata Draco tiba-tiba. "Saat aku berada di masa lalu."
Jantung Harry lagi-lagi melewatkan satu detakan; dia menahan napasnya lama. Draco belum pernah membicarakan waktu yang dia habiskan di masa lalu, tidak sekali pun, dan Harry tak pernah bertanya —sama seperti teman-temannya yang tak pernah bertanya tentang perang. Hal-hal macam itu —memori-memori macam itu— harus diberikan dengan hati-hati layaknya hadiah, dan hanya pada mereka yang tak pernah menuntutnya. Harry menyadari dia masih menggenggam tangan Draco, tapi dia tak berani melepaskan, takut bahwa entah bagaimana hal itu akan membuat Draco sunyi lagi.
"Hogwarts," ujar Draco setelah beberapa lama, tatapannya masih tertuju pada gunung-gunung yang luas dan jauh, matanya sedikit menyipit dalam memori. "Disitulah aku terdampar. Aku tak tahu ayahku bermaksud pergi ke mana, tapi ke sanalah aku pergi. Hogwarts." Dia berhenti sejenak. "1965. Tahun di mana ayahku mulai bersekolah."
Tiga tahun, pikir Harry. Tiga tahun lamanya.
"Aku tidak menyadari aku telah terbelah. Tidak pada awalnya. Kupikir aku sudah mati. Hantu. Karena tak ada yang bisa melihat atau mendengarku. Aku tak bisa menyentuh apa pun. Tapi kemudian aku terus-terusan mendapat apa yang kupikir semacam penglihatan —tumpang tindih ganjil, di mana aku melihat dua kejadian sekaligus— dan aku menyadari aku melihat masa lalu dan masa sekarang bersamaan." Draco terdiam untuk waktu lama, menatap ke seberang hutan dan lembah. "Itu mulai membuatku gila. Rasanya seakan dua orang berbeda bicara dalam kepalaku. Jadi aku pergi. Aku ingin menemukan tempat di mana tak ada yang berubah." Draco memberi isyarat, tangannya menyapu di atas pemandangan. "Inilah hal terdekat yang kudapat."
Mereka berdiri dalam diam untuk waktu lama, berdiri bersama, bintang-bintang tercermin di atas dan bawah, dan Harry merasa seakan dia berlari di udara.
xxx
Kemudian, ketika mereka pergi —Harry mengemudi, Draco membaca atlas jalan dengan teliti— Harry berterima kasih padanya.
"Untuk apa?" tanya Draco, tampak betul-betul bingung.
"Karena telah mengajakku ke Snowdonia, tentu saja."
"Oh." Draco membuka halaman. "Yah, kau bilang kerabat Muggle-mu tak pernah mengajakmu jalan-jalan. Mungkin kita bisa kembali ke sini di musim dingin, saat kau bisa melihat salju dengan benar."
Napas Harry tercekat untuk sedetik. Dia menatap Draco, lalu ingat dia masih mengemudi dan buru-buru kembali menatap jalan lagi.
Mungkin kita bisa kembali.
Lampu depan mobil memotong kegelapan malam. Jalan raya dijejeri pohon ek Welsh kuno, dahan-dahannya melengkung di atas langit.
"Aku tak pernah pergi ke Taman Nasional sebelumnya," kata Harry, seraya bertanya-tanya seberapa tua pohon-pohon ini. Dia pernah dengar sekali bahwa pohon ek bisa hidup hingga dua ribu tahun. "Tapi aku bertaruh tak ada taman yang sebagus Snowdonia."
Punggung Draco menegak, matanya tiba-tiba berpendar tertarik. "Brecon Beacons, kau akan suka di sana. Adanya di Wales Selatan. Bintang-bintangnya selalu jernih sempurna —tempat itu ditunjuk sebagai International Dark Sky Reserve. Atau bila kau lebih suka pegunungan, kita bisa pergi ke Cairngorms, di mana gunung-gunungnya diukir oleh gletser zaman es. Atau bila kau lebih suka sungai dan air terjun, ada Peak District. Tentu saja, bila kau lebih suka tebing terjal dan lengkungan laut, ada Pantai Pembrokeshire." Draco berhenti untuk memberi Harry tatapan kalkulatif. "Tapi kurasa kau lebih suka bintang-bintang."
Harry penasaran apa yang lebih Draco sukai. Langit malam yang luas, laut yang meraung, atau gunung-gunung yang luas dan kuno, batuan raksasa yang akan terus berdiri lama setelah tanda terakhir kemanusiaan memudar dari bumi?
Aku ingin menemukan tempat di mana tak ada yang berubah.
Draco akan paling suka gunung-gunung, pikir Harry.
"Apa aku benar?"
Harry mengerling Draco. "Apa?"
"Apa aku benar?" ulang Draco. "Kau lebih suka bintang-bintang?"
"Aku suka bintang-bintang," kukuh Harry.
Draco tersenyum, senyum kecil dan puas karena tebakannya betul.
Harry penasaran apakah dia dapat melihat rasi bintang Draco malam ini, bintang-bintang kutub bersinar terang di atas gunung dan lembah.
.
tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart