Skip to main content

Running on Air © eleventy7 chapt 3

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 3
.
Beberapa detik setelah memori dituangkan ke dalam pensieve, Harry menghilang ke kedalamannya. Sebuah ruangan terkontruksi secepat cahaya di sekelilingnya, memori dengan cepat mengambil bentuk. Papan kayu walnut, kursi kulit mewah, lukisan berwajah khidmat pada bingkai disepuh emas, perapian marmer — ruangan di Malfoy Manor, Harry berani bertaruh.
Narcissa berdiri di samping perapian, api perapian membalutkan pola cahaya dan bayangan di wajahnya.
"Kau tak bahagia," ujarnya perlahan-lahan.
Harry berbalik. Malfoy berada di belakangnya, berdiri membelakangi ibunya, tampak tengah mengamati potret keluarga di dinding. Dia berpakaian rapi, seperti biasa, tapi tidak pakai jubah maupun mantel. Anehnya itu membuat dia terlihat rentan.
Malfoy tak menjawab ibunya. Dia terus menatap potret keluarga. Harry lihat potret itu terdiri dari Narcissa dan Lucius yang lebih muda, berdiri di kedua sisi putra mereka. Malfoy tampak berumur sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Dan ketika Malfoy lanjut bicara, dia mengkonfirmasi perkiraan Harry.
"Lukisan ini diambil pada hari sebelum aku pergi ke Hogwarts."
"Kau dengar aku, Draco? Aku bertanya apa kau bahagia," kata Narcissa. Malfoy, lagi-lagi, tidak merespon. Dia terus menatap lukisan, mata terkunci pada diri mudanya. Lucius dan Narcissa tampak bangga, pikir Harry, dan sangat jauh lebih utuh. Rupa-rupanya beban perang memang berat.
Narcissa mengamati putranya dengan rengutan di wajah. "Draco—"
"Aku mendengarmu."
Narcissa mengangkat sebelah tangan ke kalungnya. Kebiasaan saat dia gelisah atau tak senang, pikir Harry.
"Kau tak memakai cincin pernikahanmu," teliti Narcissa, dan Harry mengerling tangan Malfoy. Tak ada yang luput dari pengamatan Narcissa, pikir Harry masam.
"Aku tak pernah memakainya," kata Malfoy, tidak mengalihkan pandangan dari lukisan.
Berbagai ekspresi melintasi wajah Narcissa, sulit untuk diperhatikan di dekat perapian yang menyala. Dia menurunkan tangannya dari kalung dan merubah topik. "Yah, melihatmu begitu tertarik pada lukisan, kau akan duduk untuk lukisan barumu beberapa bulan lagi. Kurasa ruang musik bisa menjadi latar belakang yang bagus."
Malfoy mengangguk. Narcissa melanjutkan.
"Dan mungkin bisa ditambah kutipan, diukir ke bingkainya? Kau harus memilih kutipannya dengan hati-hati. Ayahmu memilih kutipan Seneca mengenai kekuasaan, jika aku mengingat dengan benar. Mungkin kau bisa memilih sesuatu yang mirip?"
"Aku sudah punya," kata Malfoy.
"Ya?" Narcissa memiringkan kepala, menunggu. "Katakan padaku, pasti akan kusampaikan pada tukang bingkai."
"Kita tak bisa menerima," ujar Malfoy, "apa yang tidak kita pilih."
Narcissa hening.
Malfoy melintasi ruangan dalam langkah panjang-panjang dan keluar, suara langkah kakinya memudar di koridor, lalu memori menguap menjadi ketiadaan.
Harry tak yakin apa yang harus dia simpulkan dari memori barusan.
xxx
Tim Wandsworth Warrior memenangkan pertandingan melawan Margate.
Ginny pulang ke apartemen jam lima lewat di sore hari. Harry tengah berdiri di balkon, memandang sungai Thames, memandang kereta-kereta. Penangkal bergetar tiba-tiba, menggetarkan pandangan, dan sesaat kemudian Ginny berada di tengah dapur, portkey tergenggam di sebelah tangan. Pipi Ginny merah, matanya berkilat oleh kemenangan. Dia mencium Harry sebelum bergegas lagi; tim kaptennya sudah menyiapkan makan malam kemenangan untuk seluruh anggota tim.
"Aku tak akan ikut minum-minum setelahnya dan langsung pulang," janji Ginny, sambil mengganti bajunya menjadi jubah kasual.
"Jangan bodoh, pergi dan bersenang-senanglah," kata Harry, dan Ginny tersenyum sembari menciumnya lagi untuk pamit, lalu bergegas ke pintu lagi. Sekejap kemudian, terdengar bunyi pop singkat saat Ginny ber-Apparate.
Harry pergi ke balkon lagi. Matahari mulai terbenam di langit London, membuat siluet bangunan-bangunan kontras dengan biru pucat langit.
Ini hari terakhir di musim panas.
Bila ia mendengarkan dengan seksama, dia yakin dia bisa mendengar seseorang bersiul lagi, mengirimkan nada-nada pada langit Agustus yang lembut.
Blow the wind southerly, southerly, southerly...
xxx
Harry bangun pagi-pagi di hari Minggu dan meninggalkan Ginny yang masih tidur. Ginny sudah terbiasa pada rutinitas Harry.
Terkadang, Harry berpikir hanya ada satu orang yang tinggal di apartemen ini.
Matahari pagi menyinari dinding putih. Harry menyalakan ketel, mengambil mug dari dalam lemari, mengukur sesendok penuh gula. Setiap suara bagai dikalikan dalam apartemen yang hening. Setiap langkah kaki bergema di lantai; dia bahkan bisa mendengar setiap napas yang dia hirup.
Tarik napas, hembuskan.
Pintu geser menuju balkon bersih, semua sidik jari sudah dibersihkan dengan Scourgify. Kacanya sejernih udara. Pemandangan di baliknya hanya bisa dilihat di majalah perumahan mahal.
Mungkin tak ada yang tinggal di sini sama sekali.
xxx
Di Kementrian, Harry melewati kantor Auror, mendengarkan mereka tertawa dan bercanda soal insiden ramuan. Ron masih belum datang, pikir Harry. Sudah jadi candaan biasa bahwa dia selalu ketiduran.
Kantor Divisi Investigasi jauh lebih hening. Harry membuka kunci pintu kantornya dan melangkah masuk.
Tak seperti apartemennya yang rapi, kantor nyamannya berisi berbagai perabot acak-acakan dan tumpukan kertas kerja. Terdapat meja usang dengan satu kursi di sisi; di pojok kantornya ada dua sofa nyaman dan meja rendah dengan semangkuk makanan manis mengundang. Tempat itu didesain senyaman mungkin, untuk mewawancarai kerabat yang putus asa.
Dindingnya dihiasi gambar warna-warni: gambar krayon cerah pemberian dari keluarga yang bersyukur atas kabar pasangan atau orangtua yang hilang, dan sebuah foto tim Chudley Channon berbingkai (hadiah gurauan dari Ron). Harry menyadari bahwa banyak kawan dan keluarga yang kehilangan orang akan duduk di kantor ini dan melihat-lihat, sehingga dia berusaha menyembunyikan hal apapun yang kurang menyenangkan. Tidak seperti kantor Auror — sering terpasang foto yang diperbesar dan peta yang melacak motif dan tersangka — Harry jauh lebih berahasia dengan file informasinya. Itu adalah salah satu hal pertama yang diajarkan Holdsworth di Divisi Investigasi.
Demi mengikuti prinsip ini, kasus Malfoy tidak terlihat. File-nya terkunci di dalam laci Harry; pensieve terkunci dalam lemari di belakang meja.
Pensieve.
Dia membuka kunci lemari dan menatap pada kedalaman pensieve yang berwarna keperakan, merengut.
Dia menonton memori Narcissa lagi, mencari detail yang paling signifikan. Cara Malfoy diam sebelum bicara, cara dia menatap potret keluarga dengan cara yang sama Harry menatap foto orangtuanya dan berpikir bahwa mereka hanya bisa sampai sedekat ini.
Tapi segalanya terasa penuh teka-teki. Segala yang Malfoy ucapkan tampak memiliki ribuan arti, tergantung dari sudut mana Harry memilih untuk menafsirkannya. Entah itu dari nada bicara atau anggukan kepala atau jeda sesaat sebelum dia bicara. Kita tak bisa menerima apa yang tidak kita pilih bisa diartikan sebagai kebencian Malfoy pada cara keluarganya secara alami menuntunnya pada Sihir Hitam, atau cara Voldemort memaksakan kehendak, atau bisa jadi tak ada hubungannya dengan perang sama sekali. Mungkin soal pernikahannya, pikir Harry kritis. Mungkin Astoria ingin bercerai tapi Malfoy tidak, tapi pada akhirnya dia harus menyerah. Itu akan menjelaskan absennya cincin pernikahan Malfoy.
Akan tetapi, Malfoy berkata bahwa dia tak pernah memakai cincinnya. Apa maksudnya itu? Apa dia tak suka perhiasan, atau mungkin menurutnya cincin itu merepotkan — selalu hilang atau semacamnya — ataukah ada arti yang lebih dalam yang gagal Harry tangkap?
Semuanya nampak berputar-putar.
Lingkaran.
Yah, setidaknya dia mendapat satu informasi konkrit. Harry tersenyum masam dan meraih file, membuka halaman baru dan menuliskan Menyukai lingkaran. Dia berhenti, lalu menambahkan kalimat In Inceptum Finis Est. Dia menggunakan mantra pelekat untuk menempelkan foto Malfoy ke halaman. Dia menatapnya untuk waktu yang lama, menunggu rengutan ataupun gestur tak sopan, tapi Malfoy hanya memandang menembus Harry, jelas-jelas tampak terkunci dalam pemikiran yang dalam.
"Dimana kau?" gumam Harry, sembari menatap foto. "Apa kau bahkan masih hidup?"
Malfoy bergerak akhirnya, menyentuhkan tangannya pada lencana snitch perak tanpa berpikir, sebelum tangannya turun ke samping dan lanjut menatap pada kekosongan.
Harry mendesah.
xxx
Harry perlahan menyusuri jalan berkelok-kelok menuju pintu rumah Astoria. Dia menerima surat sekitar jam makan siang, tepat setelah dia selesai meninjau ulang catatan file. Surat itu memintanya berkunjung dan Harry ber-Dissaparate tanpa buang-buang waktu ke rumah Astoria, tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapat informasi baru.
Pertanda musim gugur mulai memberikan sentuhan dingin pada musim panas. Tanah basah oleh hujan pagi dan, ketika Astoria menyapa Harry dan membawanya ke dapur, dia melihat sedikit pengingat musim gugur: tumpukan kayu bakar dekat perapian, vas bunga marigold di atas meja. Perapian dapur memancarkan api kecil, sebagian besar terdiri dari kilau arang. Cuaca masih terlalu hangat untuk memasang api yang berkobar.
"Kau sudah bicara dengan Narcissa," ucap Astoria sembari membuatkannya secangkir teh. Dia tidak nampak kaget melihat Harry langsung datang setelah mengirim surat.
Harry duduk di kursi meja, memindahkan sekantong benih sachet dan seperangkat gunting berkebun dari atas kursi.
"Dia memberitahumu?" Harry merengut, bertanya-tanya apakah penting bila mereka berdua terus berhubungan.
"Ya. Aku menerima surat darinya."
Astoria menaruh secangkir teh di depan Harry, lalu duduk di seberangnya. "Pasti kau cukup membuatnya terkesan. Narcissa tampak percaya padamu, dan dia orangnya tidak mudah percaya."
"Dia bilang sendiri padaku bahwa dia hanya punya sedikit pilihan. Bisa jadi ini adalah kesempatan terakhir untuk menemukan anaknya."
Astoria mengamati Harry untuk waktu yang lama. Harry kira Astoria akan berpakaian formal hari ini, karena dia sudah tahu Harry akan datang kali ini, tapi rupa-rupanya tidak. Rambutnya diikat rapi tapi tidak dihias-hias. Dia memakai jubah nyaman, yang lebih cocok untuk bersantai di sofa sambil membaca buku daripada untuk mengesankan tamu. Dia juga tak memakai perhiasan yang bisa Harry lihat selain cincin pertunangan dan cincin pernikahan.
Cincin pernikahan.
"Narcissa mengizinkan aku untuk mengakses memorinya."
Kedua alis Astoria melompat ke atas. "Yang mana?"
Harry menggeleng. Dia tak tahu apakah Narcissa ingin Astoria tahu. "Tidak penting yang mana. Tapi di dalamnya, Malfoy menyebutkan bahwa dia tak pernah memakai cincin pernikahannya."
Astoria melirik ke bawah, pada cangkir teh. Holdsworth pernah memberi tahu Harry, manusia biasa melihat ke bawah ketika sedang tidak senang atau berusaha meyembunyikan emosi. Tapi sulit untuk membaca muka Astoria, meski pilinan bibirnya bisa berarti sesuatu.
"Narcissa sangat senang akan pernikahanku dengan Draco. Dia sangat menginginkan cucu. Dan dia menyukaiku. Keluargaku kaya, berstatus bagus dan darah murni, juga tidak berhubungan dengan Voldemort. Kami tak pernah terlibat dengan urusan macam itu."
"Hingga kau menikahi Pelahap Maut," Harry merasa perlu untuk mengingatkan. Astoria menatapnya tajam.
"Narcissa dan Draco sama-sama sudah dibebaskan. Lagipula masa lalu tidak penting bagi orangtuaku. Mereka hanya ingin melihatku bahagia, dan mereka sangat menyukai Draco. Selama masa pendekatan kami, Draco menjadi teman terdekatku."
Harry tersenyum untuk menyembunyikan ketidakpercayaannya, tapi Astoria tampak menyadari itu dan wajahnya mengeras. "Kau tidak percaya padaku."
"Malfoy tidak punya teman, dia punya sekutu. Percaya padaku, aku—"
"—mengenalnya?" Astoria menggelengkan kepala. "Seperti petugas pertama dalam kasus ini. Dia juga berpikir dia mengenal Draco. 'Oh, aku tahu keluarga Malfoy,' dia berkata. 'Kami akan menemukan entah di villa kemahalan manapun suamimu sedang berlibur lalu menyeretnya pulang.' Seolah Draco adalah anak manja—"
"Aku tidak seperti itu," potong Harry, sebal. "Aku melakukan yang terbaik untuk menemukan Malfoy."
Astoria menyambar tongkat sihir; Harry tiarap secara insting, meraih tongkatnya sendiri, dan merasa sedikit malu ketika Astoria menekan tongkat sihir ke kepalanya sendiri lalu perlahan menarik keluar asap memori keperakan, menahannya di tempat sebelum melihat botol penuh benih di atas meja. Dia mengosongkan botolnya dengan sembarang, lalu mengisinya dengan memori. "Ini dia," ujarnya. "Lebih banyak memori-memori untuk ditambahkan ke dalam koleksimu. Aku minta jangan ditunjukkan pada siapapun."
Harry mengangguk singkat sambil menerima botolnya. "Terima kasih untuh tehnya," katanya ringkas. "Dan juga memorinya."
"Kalau kau sudah melihatnya," kata Astoria, "beritahu aku."
Harry mengangguk, entah mengapa dia merasa gelisah.
xxx
Setelah kembali ke kantor, Harry menuangkan memori ke dalam pensieve dan bertanya-tanya haruskah dia tinggalkan untuk besok saja. Sekarang sudah hampir jam lima, dan dia harus segera pulang. Tapi godaan terlalu besar dan dia pun memasuki pensieve.
Dan dia tak yakin apa yang dia harapkan, yang pasti bukan ini.
Dia langsung ditampar oleh perasaan bergerak, rasanya seperti terbang tapi tidak begitu mirip, dan dia merasa mual untuk sesaat sebelum seluruh sisa adegan terbentuk di sekelilingnya bagai air pasang. Dia sedang duduk di kursi penumpang bagian belakang mobil.
"Ini sangat menakutkan. Kau bakal membunuhku."
Harry melihat ke depan. Astoria. Dia duduk di kursi penumpang di depan, mata terbelalak. Malfoy sedang mengemudi. Harry tak pernah membayangkan Malfoy seperti ini. Dia berpakaian dengan gayanya yang biasa—rapi dan formal—tapi tak memakai jubah ataupun mantel. Tangannya ditempatkan di kemudi dengan enteng, cahaya matahari mewarnai pergelangannya.
"Aku jamin padamu," kata Malfoy, suaranya terdengar sedikit geli, "aku lulus tes."
"Tapi mobil ini menyetir sendiri, kan? Draco, katakan padaku bukan kau yang menyetir."
Malfoy mengangkat sebelah tangan dari kemudi dan mobil mulai meluncur ke kanan; Astoria menjerit. Harry tertawa sebelum menyadari apa yang sedang ia lakukan.
"Jangan lakukan itu!" ujar Astoria ketika Malfoy sudah memegang kemudi lagi. "Merlin, bagaimana bisa Muggle melakukan ini? Ini—awas mobil!"
"Maksudmu mobil yang ada di sisi jalan yang berlawanan?" kata Malfoy datar.
"Kau tidak lihat betapa dekatnya mobil tadi?" Astoria berputar di kursi, menatap mobil itu memudar di kejauhan.
"Memang seharusnya dekat, Astoria. Ini jalan pedesaan, bukan jalan tol berlajur empat."
"Kau gila." Astoria melirik Malfoy. "Lagipula kenapa kau melakukan ini? Kita bisa beli mobil yang pakai mantra kemudi otomatis, Draco. Ini tidak seperti kita tidak punya uang untuk membelinya. Ayahku bisa mencarikan mobil Bentley yang bagus buat kita, dengan mantra kemudi dan mantra penekan-ruang di dalamnya."
"Apa gunanya itu?" ujar Malfoy, dan terdapat nada aneh dalam suaranya yang tak pernah Harry dengar sebelumnya. "Duduk dalam kotak, pergi kemanapun orang lain membawamu."
"Awas mobil di depan kita, kalau mereka memelan sedikit saja kita bakal menabrak," kata Astoria, masih terdengar sangat terkesima. Mata Malfoy mengerling spion tengah dan untuk sesaat, matanya tampak bertemu pandang dengan mata Harry. Lalu dia meyalakan lampu indikator dan menyalip mobil di depan, matanya kembali fokus ke jalan. "Sepertinya tak ada satupun orang yang kukenal yang mempunyai surat izin mengemudi Muggle," lanjut Astoria. "Dan sekarang aku tahu kenapa." Astoria tertawa, tapi Malfoy tidak. Malfoy mengerling spion tengah lagi, dan lagi-lagi dia tampak sedang menatap Harry. Bukan menatapmu, Harry mengingatkan diri sendiri. Menatap menembus dirimu.
"Aku ingin jadi yang pertama di keluargaku dalam melakukan sesuatu," kata Malfoy. "Untuk sekali saja."
Tatapan Harry jatuh ke pergelangan Malfoy. Dia bisa melihat ekor ular melengkung, bagian awal Tanda Kegelapan. Ekornya tampak beriak ketika Malfoy menikung di jalan, merenggangkan pergelangannya sembari menyetir.
Padang gandum memenuhi kedua sisi jalan bagai hamparan emas. Puncak musim panas, pikir Harry, sembari menatap langit biru tanpa awan. Untuk sesaat, dia bertanya-tanya hendak kemana Malfoy mengemudi. Mungkin dia tak pergi kemanapun. Mungkin pada suatu hari, dia hanya masuk ke mobil lalu mengemudi dan terus mengemudi, tak pernah berhenti.
Harry menutup mata. Matahari begitu penuh kehangatan, dia hampir percaya bahwa momen ini nyata. Tapi ketika Malfoy memelan di tikungan, memori buyar bagai segenggam pasir yang dilempar ke langit.
xxx
Adegan baru terbentuk, dan Harry merasa pusing sesaat. Lalu dia ingat Astoria bilang dia memberinya memori-memori, jamak.
Tampaknya matahari musim panas sudah lama berlalu. Dia berdiri di atas jalan batu remuk menuju kapel kecil. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan mati di atas batu nisan. Di atasnya, langit bengkak oleh hujan yang tak tertumpahkan. Seseorang berdiri di sebelah kuburan, menaruh segenggam bunga bluebell layu di atasnya, tapi Harry tidak mengenalinya.
Dia menoleh dan hampir melompat kaget. Astoria berdiri tepat di belakang Harry, wajahnya pucat. Jubahnya — hitam dan sederhana — berkibar dan patah-patah bagai layar kapal di tengah badai.
Pintu kapel terbuka. Malfoy melangkah keluar lalu menutup pintu di belakangnya.
"Astoria."
Bibir Astoria tampak seperti kelopak bunga yang memar, pikir Harry. Astoria menggeleng. "Aku tak bisa masuk ke dalam sana. Aku tidak tahan. Ayahku tak akan suka, semua orang berpakaian hitam dan Ibu duduk di sana dengan wajah kosong mengerikan—"
"Kau harus menyampaikan eulogy(1)-nya," ujar Malfoy. Astoria menatapnya, campuran aneh antara keputusasaan dan tidak percaya terpasang di wajahnya.
"Aku tidak bisa. Bisakah kau melakukannya? Demi aku?"
"Tidak."
"Aku tidak bisa."
"Kau bilang padaku tadi malam, Astoria, bahwa kau ingin menjadi orang yang berdiri di sana dan menyampaikan eulogy ayahmu." Ekspresi Malfoy tidak berubah sedikitpun, pikir Harry. Dia terus berdiri di sana dan menatap intens pada Astoria.
"Tak bisakah kau melakukannya untukku?" Astoria berpaling darinya, mulutnya gemetaran. "Merlin, aku tak boleh menangis. Bila aku menangis sekarang, aku tak akan bisa kembali masuk ke dalam."
"Kalau begitu jangan menangis," ujar Malfoy datar.
Astoria menatapnya, dan kemurkaan mengambil alih dukanya. "Kau bahkan tidak peduli, bukan?" Astoria melangkah menuju pintu, sebelah tangan diletakkan pada gagang pintu yang ditempa dengan besi. "Terkadang aku bertanya-tanya kenapa aku menikah dengan orang yang begitu egois dan tidak baik hati."
Astoria membuka pintu dan masuk ke dalam kapel lalu, bersama dengan itu, memorinya bubar.
xxx
Memori selanjutnya cerah, dipenuhi oleh matahari lagi. Cahaya matahari musim gugur yang hangat bersinar melalui jendela besar. Kamar tidur, pikir Harry, sambil berpaling dari jendela. Ada meja rias dan lemari pakaian, dan ranjang tentu saja. Gaya ruangan ini mengingatkannya pada rumah pedesaan Astoria dan dia bertanya-tanya apakah lokasi ini memang di sana.
Astoria sedang duduk di ujung kasur. Dia menggenggam sesuatu di tangannya.
Cincin pernikahan, Harry menyadari. Ketika Harry melangkah lebih dekat, dia menyadari bahwa Astoria sedang menangis. Apa dia bertengkar dengan Malfoy? Harry dengan tak sabar menunggu Malfoy untuk masuk melalui pintu lalu mengatakan sesuatu yang menusuk.
Akan tetapi, nampaknya tak ada apapun yang akan terjadi.
Harry menyerah untuk menunggu Malfoy lalu bolak-balik dalam ruangan dengan tak sabar. Terdapat koleksi benda-benda di atas meja rias— kulit kerang, biji pohon ek, foto matahari terbenam di atas padang — dan sebuah kalender kecil. Harry mengerlingnya, lalu menatapnya lagi.
25 Oktober 2003.
Hanya sebulan lebih sejak Malfoy menghilang. Harry mengembalikan tatapannya pada Astoria. Dia masih duduk di ujung kasur, cincin pernikahan di sebelah tangan, menangis dalam diam. Harry merasa tak nyaman dengan memori ini dan bertanya-tanya kenapa Astoria memberikan memori yang sangat pribadi padanya. Lalu Astoria bicara, dan untuk sesaat Harry pikir dia bicara padanya. Tapi Astoria nampaknya hanya berbicara pada udara kosong.
"Aku tak pernah memberitahumu," katanya, suaranya rendah dan parau. "Aku tak pernah memberitahumu betapa bersyukurnya aku, bahwa hari itu kau memaksaku untuk menyampaikan eulogy ayahku."
Dan kemudian memori buyar lagi dan Harry mendapati dirinya berdiri sendirian di kantornya.
xxx
Harry melangkah bolak-balik dalam kantornya, benak berpacu. Memori-memori membanjiri kepalanya bagai air.
Apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, pergi kemanapun orang lain membawamu.
Aku ingin jadi yang pertama di keluargaku dalam melakukan sesuatu, untuk sekali saja…
"Kau tak akan percaya kelakuan Creechurch pagi ini!"
Harry berputar, terkaget-kaget dari lamunannya. Ron baru saja berjalan melalui pintu, tampak sedikit kelelahan.
"Dia pakai kutukan hebat untuk menangkap McGregor, memang brilian, tapi sama sekali tidak aman! Williamson langsung memberinya ceramah…oh, aku tidak mengganggumu, kan?"
"Tidak kok, aku baru saja selesai melihat beberapa memori," kata Harry, berbalik dan mengunci lemari. Ron menatapnya tertarik.
"Hermione bilang kau sedang mengerjakan kasus Malfoy. Apa itu benar?"
Harry mengangguk.
"Well," kata Ron sangsi, "bukannya itu menyebabkan konflik ketertarikan, ya?"
"Aku bisa bersikap professional, kau tahu," ujar Harry membela diri. Ron menggedik.
"Baiklah, tenang. Kau kerja sampai larut—sekarang sudah lewat jam enam, tahu. Kulihat lampu kantormu masih menyala lalu menyadari kau masih di sini. Kau hampir seperti tinggal di kantor akhir-akhir ini." Ron merengut. "Segalanya baik-baik saja antara kau dan Ginny?"
"Tentu saja baik, kenapa tidak? Kasus ini mulai menarik, itu saja."
Alis Ron naik ke atas. "Kau dapat petunjuk baru? Blimey, Harry. Malfoy sudah hilang berapa tahun, tiga atau empat sekarang?"
"Tak ada petunjuk baru kok," Harry mengakui. "Tapi…aku tak tahu. Sulit untuk dijelaskan."
"Kubilang padamu, kalau kau berhasil menemukan Malfoy setelah selama ini, kurasa Williamson bakal memberimu tugas manapun yang kau mau! Kita bisa melakukan kerja lapangan bersama sebelum kau menyadarinya." Ron nyengir. "Tak pernah berpikir aku akan mengatakan ini, tapi kalau kau butuh bantuan apa saja untuk menemukan Malfoy—minta saja, aku akan melakukan apa yang kubisa.
"Terima kasih, Ron."
Mereka meninggalkan kantor bersama-sama, kepala Harry terasa sedikit lebih jernih.
Akan tetapi, dia perlu mengunjungi Narcissa Malfoy.
Dia ingin tahu apa yang terjadi pada mobil Draco.
xxx
Meski Harry menulis surat pada hari Selasa, dia tak mendapat respon hingga hari Kamis, ketika Narcissa mengiriminya surat. Isinya pendek dan singkat: dia menunggu Harry di manor, jam dua siang tepat di hari Jum'at. Harry tak bisa menahan untuk merasa sebal karena Narcissa merasa dipersilakan untuk datang kapan saja ke apartemennya, sedangkan dia harus membuat janji untuk mengunjunginya.
Kendati demikian, dia datang ke manor pada waktu yang ditentukan. Manor masih dilindungi mantra penangkal, jadi Harry harus berjalan agak jauh. Dia setengah menduga bakal disambut oleh peri rumah atau pelayan di depan pintu, tapi ternyata oleh Narcissa sendiri.
"Silakan masuk," ujarnya.
Harry bertanya-tanya bagaimana Narcissa bisa tinggal di manor, dipenuhi kenangan yang memancing mimpi buruk. Suasana manor tepat seperti yang Harry ingat: lantai dingin, jajaran lukisan-lukisan melotot padanya. Mereka melewati ruang tamu; Harry lihat pintunya dikunci rapat, dan dilihat dari gagang pintu yang ditutupi debu, ruangan itu sudah lama diabaikan.
Dia kira dia bakal dibawa ke ruang duduk atau ruang resepsi, tapi Narcissa langsung mengarahkannya ke tangga, menuju ruang keluarga dan ke pintu sempit. Narcissa membuka kunci dengan ketukan tongkat sihir dan membuka pintu, bau debu dan tak terpakai menyebar dari dalam ruangan bagai ombak. Harry mengerling Narcissa, lalu ikut masuk.
Itu adalah sebuah kamar tidur. Ada ranjang di pojok,dengan seprai hijau, meski sulit untuk dibedakan dengan lapisan debu di atasnya. Meja nakas, meja rias, dan setumpuk kotak kardus rapi di pojok. Harry menoleh pada Narcissa, tapi dia rupanya melihat pertanyaan dalam wajah Harry tanpa harus mengutarakan kata-kata.
"Barang-barang milik Draco," katanya.
"Ini kamar dia?"
Narcissa mengangguk, hanya sekali. "Hingga dia membeli rumah di Devon timur."
"Rumah yang sama yang ditinggali Astoria sekarang, kalau begitu?"
"Bukan."
"Apa yang terjadi pada rumah Draco, kalau begitu?"
Narcissa mengangkat sebelah tangan pada kalung di sekeliling lehernya. Bandul safir lagi, Harry lihat.
"Rumah itu milik Draco. Aku menjualnya atas namanya."
Harry mengerutkan kening. Instingnya langsung bertanya-tanya kenapa Narcissa menjual rumah putranya, tapi lalu dia membayangkan apa yang akan dia lakukan bila orang yang dekat dengannya menghilang? Akankah dia tega membiarkan rumahnya kosong selama bertahun-tahun, perlahan runtuh?
"Ini barang-barang miliknya," kata Narcissa, kepalanya dimiringkan ke arah tumpukan kotak di pojok. Tumpukannya sedikit sekali, pikir Harry kritis. Apa itu benar-benar isi seluruh rumah?
"Dan apa yang terjadi pada perabotnya? Mobilnya?"
"Perabotnya dijual dengan rumahnya." Narcissa ragu-ragu. "Ada sepasang kandang di halaman manor, dimana dulunya dipakai untuk menyimpan kuda dan kereta. Kandangnya diubah menjadi gudang barang untuk menyimpan peralatan berkebun. Mobil Draco juga disimpan di sana."
"Anda tidak menjualnya?"
Tatapan Narcissa berpaling, sebelah tangan masih memegang bandul safir. "Kau boleh melihatnya, bila menurutmu itu bisa membantu. Mobil itu salah satu milik Draco yang paling berharga."
Harry mengamati Narcissa sejenak. "Anda tidak menyetujuinya."
"Aku lebih suka untuk tidak mendukung ketertarikan Draco pada kendaraan Muggle." Narcissa berpaling. "Kau boleh melihat-lihat kotaknya dengan santai. Kuharap kau bisa menemukan sesuatu yang berguna untuk penyidikan."
Narcissa pergi.
Harry mengembalikan perhatiannya pada tumpukan kotak dan membuka kotak yang pertama.
.
tbc~
.
1. Eulogy : pidato yang ditulis sebagai bentuk penghormatan bagi orang yang baru saja meninggal. Isinya bisa berupa sanjungan, kisah semasa hidup, maupun puisi. Biasanya dibacakan pada upacara pemakaman.

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart