Running on Air © eleventy7 chapt 7

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 7
.

"Aku tahu dia belum mati." Harry, sekali lagi, mendapati dirinya mondar-mandir di dapur sahabatnya.
Ron, yang tengah duduk di depan meja dengan segelas coklat panas, mengangkat sebelah alis dan menatap Hermione. Akan tetapi, Hermione tampak sedang merengut pada cangkir tehnya.
"Aku tak tahu, Harry," ujar Ron akhirnya. "Kedengarannya seperti… yah, kedengarannya seperti hantu."
"Dia bukan hantu, karena dia tidak mati," timbal Harry.
Ron tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang dia berkata pelan-pelan. "Kau yakin?"
"Aku tahu dia tidak mati!"
"Tahu, atau pikir?"
Harry ingin membentak pada Ron, mengatakan padanya dia tidak mengerti. Tapi dia kenal cara pikir Ron. Itu didapat dari tempaan latihan Auror: pengambilan keputusan harus berdasarkan bukti, dibuat dengan logika dan alasan. Bukan dengan intuisi dan sekedar 'aku hanya tahu.'
Akan tetapi, bantuan datang dari tempat tak terduga.
"Ini kedengaran familiar," kata Hermione pelan, dan perhatian Harry seketika beralih padanya.
"Familiar bagaimana?" kata Harry mendesak. "Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya? Pernah ada kasus lain?"
Hermione menggigit bibir. "Masih ingat ketika kau menceritakan mimpimu, beberapa waktu lalu? Dan itu mengingatkanku pada mimpi-mimpi yang dulu sering kau alami—mimpi yang bukan betul-betul mimpi, tapi Legilimency—"
Ron mendongak tajam. "Apa? Maksudmu ketika Kau-Tahu-Siapa biasa menginvasi pikiran Harry?"
"Bukan seperti itu," ujar Hermione cepat-cepat. "Tapi…bisa jadi ini Legilimency? Seorang Legilimens handal mampu merapal mantra dari jarak yang sangat jauh."
"Tidak," Harry langsung bicara. "Rasanya sama sekali berbeda—"
"Legilimency tidak sesederhana itu, Harry. Tergantung pada perapalnya— setiap Legilimens mempunyai pendekatan yang berbeda, gaya yang berbeda."
"Malfoy membaca pikiran Harry?" Ron tampak seakan dia tak yakin dia harus waspada atau tidak.
"Ini bukan soal membaca pikiran! Yang benar saja, kalian berdua harusnya tahu lebih baik. Terutama kau, Harry. Bukankah kau pernah mempelajari seni Legilimency?"
"Ya," Harry mengakui, merasa sedikit tersinggung. "Tapi aku tidak suka. Coba saja kau berusaha membuat jalan masuk ke dalam pikiran orang lain. Lagipula, Legilimency bisa melakukan banyak hal, tapi hal itu tidak bisa membuat seseorang muncul—"
Hermione menatapnya kalem. "Tidak, memang tidak bisa. Tapi itu bisa membangun penglihatan, kan, Harry?"
Harry terdiam. Penglihatan yang dikirimkan Voldemort padanya. Mimpi tentang Sirius di Departemen Misteri.
Hermione mengamati wajahnya hati-hati lalu mengangguk. "Seorang Legilimens berkemampuan luar biasa bisa membangun penglihatan, halusinasi…"
Ron tiba-tiba berdiri dan mulai mondar-mandir. "Aku tidak suka ini. Jadi Malfoy main-main dengan kepala Harry?"
"Dia tidak," kata Harry perlahan. "Bila kau memiliki kekuatan untuk menciptakan halusinasi…apapun yang kau mau…kenapa kau memilih untuk menciptakan percakapan biasa-biasa saja dengan seseorang? Mungkin ini adalah usaha terakhirnya, cara terakhirnya untuk berkomunikasi." Harry ingat cara Draco menghilang di penghujung percakapan. Itu bukan bagian dari penglihatan, dia yakin itu. Pasti Draco melanggar suatu aturan ketika dia mencoba memberitahu keberadaannya pada Harry, dan menderita konsekuensi yang sesuai.
"Tapi kau tetap harus berhati-hati, Harry," ujar Hermione.
"Kenapa?"
"Yah," ucapnya pelan, "bisa jadi bukan Malfoy yang mengirimkan penglihatan-penglihatan itu padamu."
Harry tidak suka itu sama sekali. Dia berdeham dan mencoba pendekatan baru. "Hermione, apa yang kau ketahui tentang menghalangi dakwaan?"
Punggung Hermione menegak, matanya berpendar dengan segera. "Yah, aku punya beberapa buku referensi bila kau butuh—"
"Di perpustakaan hukumnya," kata Ron.
"Itu bukan perpustakaan hukum, Ron, itu cuma satu rak—"
"Rak yang dulunya tempat menyimpan memorabilia Chudley Channons."
"Omong-omong," sela Harry cepat-cepat, "menghalangi dakwaan." Dia berhenti, lalu menurunkan suaranya meski tak ada orang lain di dalam rumah. "Kurasa Draco tahu keberadaan ayahnya. Bahkan mungkin dia menolongnya."
"Sudah bincang-bincang dengan pengacara Malfoy?" tanya Ron lihai. Waktunya sebagai Auror telah memperkuat kecerdikannya yang tak terduga.
"Yah," kata Hermione, "dulu pernah ada undang-undang, yang menyebutkan bahwa mereka yang mengetahui keberadaan narapidana —tapi tidak melaporkannya dengan segera— . bisa ditangkap dengan tuduhan menghalangi dakwaan. Tapi aturan macam itu sudah lama dihapus."
"Jadi," kata Harry hati-hati, "Draco menghilang setengah jam sebelum janji pertemuannya dengan pengacara, yang akan memberitahunya bahwa tidak akan ada konsekuensi legal untuknya bila dia menyerahkan Lucius kepada pihak berwajib."
"Mungkin dia memang menyerahkan Lucius," kata Ron tiba-tiba.
"Apa?"
"Ingat ketika kita menangkap Lucius Malfoy? Semua orang ingin jadi orang pertama yang berhasil melacak Pelahap Maut terakhir. Tapi pada akhirnya, kita berhasil menemukannya berkat petunjuk dari orang yang tak diketahui."
Harry ingat itu. Seseorang mengaktivasi mantra Salus. Mantra itu didesain khusus untuk situasi darurat agar Auror segera merespon. Mantra itu pun mudah dirapalkannya. Hanya percikan bunga api biasa ke langit, dan lokasi si perapal akan langsung muncul pada map raksasa yang tergantung di kantor utama Auror, membuat alarm berbunyi yang akan mengirimkan semua Auror yang tersedia bergegas pergi ke tempat kejadian.
"Tak banyak spekulasi mengenai siapa yang merapalkannya," kata Ron. "Maksudku, tak ada siapapun di sana ketika kita tiba. Hanya Lucius Malfoy, tentu saja, dan tak ada orang lain. Sejujurnya, kita semua berasumsi Lucius sendiri yang merapalnya dalam keadaan ragu. Mungkin dia muak bersembunyi begitu lama. Tentu saja dia mungkin menyesalinya begitu kita semua muncul."
"Lucius mati di tempat kejadian, kan?" tanya Hermione tiba-tiba, dan Harry mengerling padanya.
"Ya." Itu mengerikan sekali; Auror seharusnya menangkap, bukan membunuh. Meskipun terjadi kekacauan pada saat kematiannya, tidak pernah ditemukan siapa, tepatnya, yang merapal kutukan fatal itu.
"Mungkin Draco merapal mantranya lalu ber-Dissaparate," usul Hermione.
"Itu tidak masuk akal. Semua tanda-tanda mengarah pada hilang secara paksa," kata Harry, frustasi. "Draco tidak lari begitu saja."
"Kenapa tidak? Dia selalu lari dari segala hal," kata Ron, dan Harry menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Dia tidak seperti itu lagi, dia sudah berubah. Dia tak akan lari begitu saja. Kau tidak mengerti, kau kan tidak melihat memor-memorinya." Dia mengetuk-ngetuk buku jarinya dengan tak sabar ke atas meja. "Bila dia dibawa secara paksa, maka tidak masuk akal dia muncul beberapa bulan kemudian dengan Lucius Malfoy, membuatnya ditangkap, lalu ber-Dissaparate lagi. Dan itu tidak bisa menjelaskan kenapa dia masih hilang sekarang." Harry berhenti, sadar bahwa Hermione dan Ron tengah mengamatinya baik-baik.
"Mungkin," kata Ron, "Kau harus beristirahat, Harry."
Harry membuka mulut untuk protes, tapi dia melihat Hermione sedang menyempitkan mata padanya, dan buru-buru mengubah taktik. "Baiklah," dia berkata sebaliknya. "Lagipula, aku ada rencana pergi di akhir pekan."
"Oh, itu bagus," ujar Ron, tampak lega. "Sedikit berlibur, kalau begitu?"
"Merayakan lisensi penuhku. Kurasa aku mau pergi ke pesisir entah di mana."
"Ke Brighton di bulan Desember, eh? Kedengarannya payah," Ron tertawa.
"Oh, Harry, kau tidak bilang kau sudah dapat lisensi! Selamat!" Hemione tampak senang dengan tulus. "Kabar luar biasa. Mari kita bersulang untuk transportasi Muggle, ya?"
Dan beberapa jam kemudian, Harry tidak memikirkan pekerjaan.
xxx
Akan tetapi malam itu, setelah dia kembali ke apartemen dan mencium Ginny selamat malam, dia duduk di konter dapur dan membongkar hidup Draco lagi.
Buku teks, buku catatan. Dia membaca kalimat yang sama lagi dan lagi.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun?
Dia mendongak secara berkala, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Draco. Mungkin yang terakhir itu mimpi. Mungkin teori Hermione tentang Legilimency itu benar, tapi mungkin juga salah. Mungkin dia perlahan sinting, membangun ilusi, berusaha memanggil sesuatu yang tidak ada.
Seseorang yang tidak ada.
Harry menatap tanpa betul-betul memperhatikan barang-barang di depannya. Setelah beberapa lama, dia meraih sebotol wiski tua. Tidak diragukan lagi Draco menyimpannya untuk acara spesial.
Harry berdiri dan mengambil gelas, membuka tutup botol wiski dan menuangkannya untuk diri sendiri. Label botolnya, tercetak dalam warna musim gugur pudar, memperlihatkan gambar seorang lelaki tengah berjalan di jalan yang panjang.
Mungkin Draco memang betul pergi. Mungkin dia tengah mengemudi ke suatu tempat sekarang ini, mengemudi melalui jalan-jalan panjang itu…
Hary menyisip wiskinya lama, menikmati rasa manis madu. Tidak; inilah yang terjadi terakhir kali. Meragukan diri sendiri—mengesampingkan mimpi-mimpi dan memori-memori— dan percaya bahwa Draco telah bunuh diri. Tidak, dia hampir berkata murka pada Hermione ketika dia mengusulkannya. Tidak, dia tidak mungkin melakukan itu. Tapi meski begitu, dia hampir meyakinkan dirinya sendiri.
Dia mendongak penuh harap. Dia merasa dia sedang diperhatikan.
Tapi ruangan kosong.
Yah, mungkin Draco masih ada di sini. Hanya saja tidak terlihat, di luar jangkauan sentuhan manusia.
"Aku mau pergi," ujar Harry pada ruangan hening. "Ke Helston. Aku ingin melihat apa yang kau lihat." Aku akan berdiri di ujung dunia dan angin akan bertiup ke selatan, ke selatan…
Ruangan tetap kosong, dan ketika Harry pergi tidur, dia memimpikan ombak liar dan tebing karang ambruk.
xxx
Di hari Jum'at, dia mengunjungi Narcissa Malfoy. Dia menyambut kedatangan Harry dengan sedikit bingung.
"Aku menerima burung hantumu," katanya, dan Harry menolak tawaran teh (satu peri rumah menunggu penuh harap di belakangnya, membawa nampan penuh teh dan kudapan). Mungkin Narcissa menangkap ketidaksabaran di matanya, atau di tangannya yang tak bisa diam, karena dia sedikit menggelengkan kepala dan mengajaknya langsung ke kandang.
"Aku tak akan pernah mengerti," kata Narcissa, "obsesi pada penemuan-penemuan Muggle ini. Sangat kasar, kurasa."
"Apakah itu yang Anda katakan pada Draco?" tanya Harry, tidak buang-buang waktu untuk segera mendekati Renault Mégane lalu membuka kain penutupnya. Rasanya seperti menyapa teman lama. Dia tersenyum samar dan menelusurkan tangannya di atas logam mulus.
"Kau memiliki ekspresi yang sama seperti Draco, tiap kali dia menatap benda yang sangat buang-buang uang ini," Narcissa mengamati.
Harry tidak merespon. Dia menerima kunci plastik dari Narcissa dan kunci mobilnya terbuka dengan sendirinya. Teknologi Muggle memang luar biasa, pikir Hary. Memang 'buang-buang uang'. Tidak diragukan lagi Draco menganggapnya sebagai salah satu investasi terbaiknya.
Harry harap dia bisa membetulkan mobilnya sendiri. Entah bagaimana ini terasa penting, bahwa dialah yang harus membetulkan segalanya. Tapi ketika dia mulai membaca-baca daftar dengan Matthew, jelas sekali bahwa mobil ini membutuhkan lebih dari sekedar baterai baru. Rem, kaliper, piringan, silinder, bantalan, sendi kemudi, dan track rod… Semuanya perlu dicek dan mungkin perlu diganti, tergantung seberapa baik Draco menjaga mobilnya dan perawatan yang diterima mobil ini setelah dia hilang. Lalu bensinnya harus dikeringkan dengan benar, mesinnya perlu dipanaskan…
Harry menerima kekalahan dan menghubungi Narcissa lewat burung hantu, meminta izin untuk membetulkan mobilnya. Setelah dia mendapat persetujuan, dia pun memesan mekanik.
"Kurasa Anda pasti bertanya-tanya kenapa saya ingin membetulkan mobil ini," kata Harry, perlu sedikit keberanian untuk mengatakannya. Dia harap Narcissa tak akan bertanya, dan dia tidak bertanya sejauh ini, tapi Harry yakin dia ingin tahu.
Tapi dia terkejut ketika Narcissa menggelengkan kepala. "Astoria bilang kau sudah punya kartu lisensi. Sama seperti lisensi Apparate, kurasa." Dia tidak menatap Harry; sebaliknya, dia menatap mobil. "Kau ingin mengemudikan mobil ini. Dan kurasa Draco ingin melihat mobil ini dikendarai lagi." Dia melirik Harry. "Terkadang, kau tampak ingin menemukan anakku dengan tulus."
"Saya ingin."
Narcissa diam lama. Hasil latihan Auror Harry mulai mengegelitiki kulitnya bagai panas musim panas yang terlupakan. Narcissa tahu sesuatu.
"Apakah ada memori yang ingin Anda berikan pada saya?" tanya Harry pelan, hati-hati supaya terdengar kalem.
Narcissa mengangkat sebelah tangan pada kalungnya, ekspresi di wajahnya tampak kesukaran. "Bukan apa-apa," dia berkata akhirnya, dan Harry perlahan menghembuskan napas untuk menyembungikan rasa frustasi. Tak ada gunanya mendesak, Narcissa hanya akan mundur sekarang.
"Para mekanik akan segera datang dalam beberapa menit," kata Harry, merubah topik. Inilah poin yang tidak disetujui Narcissa; dia menolak untuk mengizinkan mobilnya diderek pergi. Sepertinya dia menganggap itu terlalu tidak bermartabat. Harry punya perasaan bahwa sebentar lagi Narcissa akan menyadari pilihan lainnya —beberapa orang mekanik berjalan-jalan memasuki Malfoy Manor— itu lebih tidak bermartabat. Tiba-tiba Harry merasa sedikit tidak percaya. "Tidak ada peri rumah yang berjalan-jalan di sekitar rumah, bukan?" tanyanya curiga, dan Narcissa menatapnya kalem dan lama.
"Muggle-muggle ini," ujarnya, "tidak akan mendekati manor. Mereka akan berada di sini. Itulah kenapa aku meminta keberadaanmu. Kau bisa berurusan dengan mereka."
Harry menahan balasan marah. Dia tidak sadar bahwa dia diundang hanya untuk bertingkah sebagai semacam penerjemah Muggle.
"Baiklah," kata Harry, lalu —karena dia masih merasa sedikit dendam— dia menambahkan, "harganya pasti mahal, terutama di waktu-waktu sekarang."
"Uang bukanlah masalah."
Uang tak pernah jadi masalah buatmu, kan?
Tapi ketika terdengar suara mobil di kejauhan, Narcissa lalu mundur dengan anggun, meninggalkan Harry untuk berurusan dengan para mekanik. Tapi Harry langsung pergi setelah menyapa mereka dan mengarahkan mereka ke lokasi mobil.
Dia tidak tahan melihat orang asing mengobrak-abrik mobil Draco.
xxx
Matahari tengah terbenam di balik langit gelap musim dingin ketika Harry kembali ke kandang untuk mengecek perkembangan. Para mekanik tampak sedikit sebal tapi terhibur ketika Harry —mengikuti saran protokol dari Matthew— membayar mereka dengan sangat dermawan, menyerahkan sekotak bir, dan mengucapkan selamat Natal pada mereka.
"Selamat natal untukmu juga, sobat," kata salah satu mekanik.
"Apakah mobilnya bisa dinyalakan sekarang?" tanya Harry sembari menatap mobilnya, dan si mekanik nyengir.
"Mobil ini punyamu, ya? Bisa dilihat dari tampang di wajahmu." Dia mengangguk ke arah mobil. "Silakan, kalau begitu."
Harry membuka pintu mobil di sisi pengemudi dan masuk ke dalam. Sekarang setelah dia bisa mengemudi mobil, dia bereaksi otomatis. Tangannya secara insting meraih roda kemudi, kakinya menemukan rem dan akselerator, matanya berkelip ke kaca spion samping.
Dia memencet tombol starter.
Mobil merespon dengan segera, deruman pelan mesin memenuhi ruangan. Untuk sesaat yang panjang, Harry mencengkeram erat roda kemudi dan tidak mempercayai dirinya untuk bicara. Dia tidak tahu kenapa, tapi momen ini terasa berat oleh sesuatu yang tak berwujud.
Ini nyata.
"Mesinnya mungkin akan sedikit kasar pada awalnya," kata mekanik terdekat, "tapi akan baik-baik saja setelah beberapa waktu."
Harry benci mematikan mobil, tapi dia memencet tombol lagi dan mendengarkan suara mesin mati lagi. "Baiklah," katanya. "Terima kasih."
Para mekanik tidak butuh waktu lama untuk berkemas-kemas dan pergi. Harry duduk di kursi pengemudi, merasakan memori-memori membanjirinya bagai hujan.
Kita bisa pergi ke mana saja.
Ke mana saja?
Ke mana saja.
Suara langkah kaki. Harry membuka mata; dia tidak sadar dia telah menutupnya. Para mekanik sudah lama pergi. Narcissa berdiri di ambang pintu, mengamatinya dalam diam.
"Sudah betul?" tanyanya.
Harry tersenyum dan menekan tombol starter. Dia tak akan pernah bosan mendengar suara mesin mulai menyala.
Tapi kebisingan itu tampaknya hanya membawa sedikit kenyamanan bagi Narcissa. Mulutnya sedikit bergetar dan kepalanya sedikit tertunduk, seolah kesedihan menyebabkan beban fisik padanya.
"Rasanya aneh," ujar Narcissa, setiap katanya dipenuhi ketenangan yang dipaksakan, "mendengar kebisingan ini, setelah sekian lama." Dia mengangkat tongkat sihir dan melambaikannya ke dinding sebelah selatan; dindingnya menghilang sempurna dan Harry mengerutkan dahi, tidak mengerti hingga Narcissa menatapnya lagi. "Kau ingin mengemudikannya," ujarnya, dan Harry merasakan kekagetan mengaliri dirinya.
Harry menghirup napas dalam-dalam. Bila dia menabrakkan mobil Draco, Narcissa tak akan pernah memaafkannya. Harry pun tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Jadi dia menyesuaikan kursi dengan hati-hati —rupanya Draco sedikit lebih jangkung darinya— dan menyesuaikan semua cermin. Dia memasang sabuk pengaman, sangat sadar bahwa dia tengah mekakukan gerakan yang sama yang telah Draco lakukan ratusan kali sebelumnya. Dia melepaskan rem tangan, menggeserkan gigi ke dalam drive, dan perlahan menekan akselerator.
Mobil bergulir ke depan, akhirnya meninggalkan penjara selama tiga tahunnya, akhirnya melakukan tujuannya dibuat: untuk bergerak. Terdengar keretak pelan kerikil di bawah ban. Dia menyusuri jalan besar di sekita Manor hingga mencapai gang mobil lebar.
Di kaca spion, dia masih bisa melihat Narcissa berdiri memandangnya. Sudah berapa kali dia menyaksikan putranya mengemudi pergi, menghilang di kejauhan?
Harry menambahkan sedikit tekanan akselerator. Mobilnya meningkatkan kecepatan melalui gang mobil panjang dan lalu, alkhirnya, memelan di tikungan menuju jalan terbuka. Jalan pedesaan kecil dan berangin. Tipe jalan yang sama yang Harry lalui berjam-jam selama latihan mengemudi.
Dia berbelok menuju jalanan dan mempercepat laju hingga pemandangan terbang, hingga padang-padang gelap terbasuh bagai gelombang pasang surut, hingga dia merasa seperti mengemudi melalui malam. Dan ribuan momen terasa mendatanginya bersama-sama dalam satu aliran kebahagiaan: Draco dan Astoria tengah berkendara di pinggir sungai, Harry tengah berdiri di apartemen dan melihat lampu kereta menghilang pada kegelapan, dan untuk sejenak dia melihat segala sesuatu dengan sempurna.
xxx
Butuh waktu dua jam untuk mengemudi sampai ke London, tapi Harry berhenti dua puluh menit kemudian, di Salisbury, untuk mengecek rute. Ketika dia mendongak dari atlas jalan, Draco ada di sana.
Dia tengah duduk di kursi penumpang dan menatap ke luar jendela, dahi menempel ke kaca. Harry bertanya-tanya apakah dia ada di sana sepanjang waktu dan mengamati wajah Draco. Apakah dia tidak senang Harry mengemudikan mobilnya? Apakah dia benci melihat orang lain duduk di kursi pengemudi?
Tatapan Draco tiba-tiba terfokus dan Harry menyadari bahwa Draco sedang menatapnya lewat refleksi di kaca. Menatap Harry tengah menataonya.
Seperti lingkaran.
Lalu Draco tersenyum. Kelegaan menerjang Harry, yang masih ingat dengan jelas kesakitan di wajah Draco ketika dia hilang terakhir kali. Maafkan aku, Harry ingin berkata. Aku tidak akan bertanya lagi, aku janji, aku tak akan membuatmu menghilang lagi…
"Kita bisa pergi ke mana saja," Harry berkata sebaliknya, suaranya hening.
Draco menoleh dari jendela, lalu menatap Harry. "Ke mana saja?"
"Ke mana saja." Harry mengamati Draco. "Kau tampak lelah."
Tatapan Draco mengerling pergi. "Sulit, berusaha melakukan ini."
"Melakukan apa?"
"Pulang."
Untuk pertama kalinya, Harry sadar bahwa bagi Draco, untuk membuat dirinya tampak nyata seperti ini —untuk muncul di hadapan Harry, untuk memanipulasi penglihatan realita— pastilah dia menginvestasikan energi yang amat besar dan mungkin juga sihir. Dia bertanya-tanya itukah alasan kenapa Draco tidak muncul lagi hampir seminggu setelah insiden di apartemen; mungkin butuh waktu selama itu bagi Draco hanya untuk pulih dan mengumpulkan tenaga untuk mencoba lagi.
"Apa ini Legilimency?" tanya Harry, mengganti subjek pembicaraan. Dia tidak akan menanyakan keberadaan Draco; pertanyaan semacam itu jelas membutuhkan bayaran.
"Bisa dibilang begitu."
"Apa maksudnya itu?" Harry betul-betul bingung.
Draco mengamatinya lamat-lamat. "Kau tahu," katanya pada akhirnya, "ketika pertama kali aku menyadari bahwa kau —dari sekian banyak orang— mengurus kasus ini, aku marah." Dia berhenti dan melirik ke luar jendela lagi, menatap refleksinya. "Kesempatan terakhirku, dan itu disia-siakan padamu."
"Terima kasih banyak."
"Kau impulsif, tak pernah berhenti untuk berpikir dulu, kau tidak bisa membagi-bagi pikiran—orang terparah untuk pekerjaan penyidik."
Harry membuka mulut, berpikir sejenak, lalu menutupnya lagi. Draco menatapnya.
"Dan lihatlah bagaimana kau berubah," katanya. "Hanya perasaanku, atau kau barusan berhenti dulu untuk betul-betul memikirkan apa yang mau kau katakan?"
"Aku masih impulsif."
"Yah, berdasarkan pengamatanku selama ini, aku memutuskan bahwa ke-impulsif-anmu itu bukan berarti kualitas negatif."
"Apa Itu pujian?"
"Itu hasil observasi."
Dan Merlin, rasanya hampir sempurna— mereka duduk di sini, berselisih soal hal-hal kecil seperti yang biasa mereka lakukan dulu, tapi ada keakraban samar yang tak pernah ada sebelumnya. Dan Harry hanya ingin tinggal di sini sedikit lebih lama. Hanya sebentar lagi, hingga dia bisa melupakan hal-hal lain dalam hidupnya.
"Apakah membutuhkan banyak tenaga untuk terus berada di sini?" tanya Harry, sembari bertanya-tanya apakah Draco akan menghilang tiba-tiba lagi. "Apa kau akan pergi lagi?"
Sebuah mobil melewati mereka, lampu depannya tertangkap Renault Mégane, mengiluminasi wajah Draco untuk sejenak. Lalu mobilnya lanjut melaju dan menhilang dalam kegelapan sekali lagi.
"Sulit untuk pulang. Mudah untuk pergi," ujar Draco.
"Kurasa kita punya kesamaan, kalau begitu." Harry ragu-ragu, merasa bahwa dia tidak seharusnya membagikan sesuatu macam ini dengan Draco, padahal dia bahkan tidak memberitahu Ron atau Hermione, tapi… "Kebanyakan waktu, aku tidak ingin pulang," kata Harry akhirnya. "Aku bahkan tidak tahu rumah itu di mana, sungguh."
Draco mengamatinya. "Kurasa kita memang punya kesamaan, kalau begitu," ujarnya setelah jeda panjang.
Mereka jatuh ke dalam keheningan alami. Harry menyalakan mobil lagi, sudah menentukan rute, lalu menyatu ke jalan raya. Dia harap Draco akan terus tinggal di sana, hanya menyaksikan dunia berkelebat, tapi setelah beberapa menit Draco angkat bicara lagi.
"Aku harus pergi."
"Apa kau dalam bahaya?" Harry tak bisa menyembunyikan nada khawatir dalam suaranya. Draco menggelengkan kepala.
"Terlalu lelah. Aku tidak bisa fokus lagi."
"Oh." Tiba-tiba Harry teringat pertanyaan lain. "Dengar—bila ini Legilimency, apakah kau yang melakukannya, ataukah orang lain? Apakah ada orang lain di sana bersamamu?"
Draco berhenti. "Aku sendirian," jawabnya. Lalu dia tampak ragu-ragu lagi. Udara di sekelilingnya tampak berpendar dan tubuhnya menegang. Harry menyadari apa yang akan terjadi dan menggelengkan kepala.
"Jangan," ujarnya mendesak, mengerem keras dan menarik mobil ke bahu jalan. "Jangan lakukan itu, itu tidak sepadan—hentikan—"
"In inceptum finis est," kata Draco, kalimatnya menyambar-nyambar udara bagai listrik, dan kata terakhirnya dikeluarkan paksa dalam kesakitan yang amat kentara. "Ayahku—"
Dan sisa suaranya lenyap dalam teriakan tercekik, sebelum dia menghilang lagi diiringi bunyi bagai kaca pecah berkeping-keping.
Harry duduk untuk waktu lama, mendengarkan suara mesin dalam diam, menunggu hingga kedua tangannya berhenti gemetar. Kali ini berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi Draco untuk pulih? Harga apa yang harus dia bayar sekarang ini?
Harga yang luar biasa mahal, tampaknya, hanya demi lima buah kata.
Ketika dia tiba di London dan memakirkan mobil di apartemen, waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat dan Ginny sudah tidur. Dia berjalan pelan-pelan ke apartemen, tubuhnya terasa berat dan pikirannya lelah. Dia sedang tidak ingin berususan dengan siapa saja atau apa saja.
Sulit untuk pulang. Mudah untuk pergi.
Draco Malfoy lebih mengenal Harry dibanding dirinya sendiri.
xxx
Jum'at adalah hari di mana Harry akan mengatakan pada Ginny bahwa dia tidak akan pernah pulang lagi.
Malam itu dimulai dengan indah. Saat itu seminggu sebelum Natal, dan jalanan menampilkan kemeriahan lampu berkelap-kelip. Banyak pasangan bergandengan tangan sembari berselancar di lingkaran Menara Es; menyanyikan carol di bawah pohon Natal di Trafalgar Square.
Di Diagon Alley, toko-toko buka hingga larut malam demi mengakomodasi pelanggan yang tengah liburan. Ketika mereka bergegas melewati Toko Perlengkapan Quidditch Berkualitas, Harry mengerling pada tanda di jendela. Belilah Skyblazer terbaru dan bawakan untuk Natal! Dia ingat pernah membaca tanda yang sama pada minggu pertama di bulan Desember, dan rasanya sudah lama sekali.
Restoran itu sendiri merupakan bangunan kecil dan ceria, dengan perapian menyala riang dan karangan bunga holly yang diikat dengan benang menggantung di jendela. Tempat ini mengingatkan Harry pada Three Broomsticks. Mereka dituntun ke pojok tersembunyi di mana Harry tak akan diganggu oleh tatapan-tatapan, dan Ginny tak akan disusahkan oleh penggemar Quidditch. Harry memesan mead panas dan Ginny menghabiskan beberapa waktu untuk meneliti daftar koktail , sebelum dia memesan sesuatu yang dinamai Naga Peppermint.
"Harry," katanya, tepat setelah si pelayan menghilang, "mereka akan mengumumkan pengumuman besar minggu depan, jadi aku ingin memastikan kau tahu lebih dulu. Tapi aku harus menunggu segala sesuatunya dikonfirmasi dengan benar, tentu saja."
"Kau dijadikan kapten?" tanya Harry terkejut. Ginny selalu memiliki ambisi yang besar, tapi Gwen mencintai pekerjaannya dan tidak ada rencana untuk pensiun, sejauh yang Harry tahu.
"Lebih bagus lagi," kata Ginny, matanya berpendar semangat. "Harry… Aku berhasil. Aku berhasil masuk Tim Nasional Inggris. Aku tahu salah satu Chaser mereka pensiun lebih awal karena cedera punggung, dan aku diberitahu bila aku bisa membuktikan diri dalam latihan, aku punya kesempatan yang sah untuk mengisi posisi itu."
Si pelayan tiba membawa mead panas dan koktail sewarna candy-cane. Harry menyisip mead karena tak ada hal lain yang bisa dia lakukan.
"Berita bagusnya adalah, kita tak perlu pindah rumah," kata Ginny. "Kita sudah ada di lokasi sempurna untuk perjalanan internasional. Tentu saja, sedikit lebih dekat ke pusat London akan lebih baik, tapi kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Aku akan sering bepergian, tentu saja, tapi itu bagian penting dari bergabung dengan tim."
Mungkin, beberapa bulan lalu, Harry bakal mengangguk dan tersenyum, meyakinkan diri sendiri bahwa dia bahagia, atau setidaknya egois bila dia tidak senang. Tapi percakapannya dengan Draco berputar dalam benaknya bagai pusaran salju: Kebanyakan waktu, aku tidak ingin pulang. Itu adalah hal paling jujur yang Harry katakan sejak lama sekali. Apartemen itu bukan rumahnya. Dia tidak pernah memanggilnya rumah. Dan dia tidak akan pernah.
Dan kemudian, kesadaran yang kedua bergulung bagai guntur ketika Ginny tersenyum dan bertanya apa pengumuman besar Harry.
"Aku belajar mengemudi," jawab Harry.
"Benarkah? Kedengarannya sangat menyenangkan, kau harus mengajakku jalan-jalan kapan-kapan."
Dan Harry urung membuka mulutnya untuk berkata Aku belajar mengemudi dari Matthew Venn, karena dengan begitu keseluruhan kisah bisa terurai: Matthew, yang menikahi Astoria. Astoria, yang Harry temui lewat mengerjakan kasus Draco dan berbicara pada Narcissa. Narcissa, yang memberi Harry Renault Mégane, yang sekarang ini tengah diparkir di apartemen mereka. Renault Mégane, yang begitu penting karena Draco senang mengemudi ke mana-mana. Draco, yang muncul dalam memori-memori untuk membantu Harry, yang mengamatinya selama berbulan-bulan, yang mengubah pikirannya tentang Harry dengan cara yang sama Harry mengubah pikiran tentang Draco. Draco, yang pernah satu kali berkata Apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, hanya pergi ke mana saja orang lain membawamu.
Dan Harry tidak bisa melepaskan semua itu karena tiap kali dia mendengar Ginny menyebut apartemen mereka kotak di atas langit, dia mengalami rasa kehilangan yang melumpuhkan dan keragu-raguan.
Draco, yang ketidakhadirannya tak bisa berhenti Harry pikirkan. Dan bukankah itu lucu, bahwa Draco tak pernah ada di sana secara fisik, tapi selalu terasa seolah dia ada di sana secara jiwa. Tapi untuk Ginny, bukankah kebalikannya?
Atau mungkin itu tidak lucu, karena itu menyedihkan dan membuat Harry merasa ingin kembali ke dalam Renault Mégane lalu mengemudi dan terus mengemudi, hingga Draco kembali lagi dan kemudian segalanya akan baik-baik saja.
Tapi Harry tidak mengatakan satu pun hal tersebut. Sebaliknya dia tersenyum, dan mengangguk-angguk sepanjang makan malam, dan menunggu hingga mereka ber-Apparate pulang. Dan ketika mereka berdiri di kamar, dengan Ginny tengah melipat jubah dan Harry duduk di ujung kasur, dia berkata, "Aku bahkan tidak menyadarinya."
"Menyadari apa?" tanya Ginny, menghentikan kegiatan melipat jubahnya.
"Hubungan kita telah berakhir."
Ginny seketika hening. Harry menunggu. Sepertinya itu adalah keseluruhan hubungan mereka, akhir-akhir ini. Keheningan.
Lalu Ginny berkata, "Aku juga tidak."
Xxx
Malam itu, mereka berbaring di kasur bersama-sama. Harry mendekap Ginny untuk terakhir kalinya.
"Apa kau bahagia?" tanyanya pada Ginny. Ginny terdiam lama.
"Aku tidak tahu. Kalau kau?"
"Tidak," jawab Harry sejujurnya.
"Aku bahkan tidak menyadarinya," kata Ginny, dan Harry menangkap kesedihan dalam suaranya lalu mendekapnya lebih erat.
"Tidak apa-apa."
"Aku harusnya menyadarinya."
"Tidak apa-apa," ulang Harry.
Di pagi hari, Harry bangun sendirian.
Ginny sudah pergi latihan Quidditch.
.
tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart