Running on Air © eleventy7 chapt 6

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 6
.
Pagi berikutnya Harry berangkat lebih awal, sebelum Ginny bangun. Dia ada janji bertemu dengan pengacara keluarga jam 8:30am. Pengacara perempuan yang rupa-rupanya memiliki bahu lebar, berbadan tinggi, dan mengingatkan Harry pada Madame Maxime. Dia mempersilakan Harry ke dalam kantornya—ruangan kecil yang jelas didesain bagi penggemar minimalis. Harry kira dia bakal menemukan ruangan mewah yang layak untuk seorang pengacara keluarga Malfoy, tapi tak banyak benda di dalam selain lemari berkas, satu meja kaca, dan dua kursi.
Si pengacara—Ms Zeisel—mengambil kursi di belakang meja dan menatap tajam Harry dari balik kacamata peraknya. Tatapannya seperti tatapan McGonagall dan Harry tiba-tiba merasa dia bakal ditegur karena suatu hal.
"Jadi," ucapnya, "kau ingin tahu tentang keluarga Malfoy."
"Draco, secara spesifik. Saya mengambil alih kasusnya." Harry menyerahkan lencananya; Zeisel mengamatinya lekat-lekat sebelum menyerahkannya kembali.
"Bila kau ingin tahu mengenai urusan keuangan, kau harus menemui penasehat keuangan keluarga," katanya.
"Bukan itu, sebetulnya. Draco mempunyai janji bertemu dengan Anda di hari dia menghilang. 9 September 2003, jam 4:30pm." Harry bicara tanpa pembukaan; Zeisel tampaknya bukan orang yang senang berbasa-basi.
"Ya, aku ingat itu."
"Anda ingat?" ujar Harry terkejut. Zeisel lagi-lagi memberinya tatapan tajam dari balik kacamatanya.
"Aku memiliki ingatan yang cukup baik, Mr Potter."
"Bisakah Anda memberikan saya detail mengenai pertemuannya?"
Zeisel menatap lencana Harry penuh pertimbangan, dan untuk sesaat Harry pikir dia bakal mengatakan sesuatu yang menusuk soal kerahasiaan klien.
"Draco Malfoy menghubungiku seminggu sebelumnya, mengatakan bahwa dia membutuhkan nasihat hukum."
"Draco dalam masalah?" tanya Harry kaget.
"Sepertinya bukan hal yang mendesak. Aku bertanya apakah itu darurat dan Mr Malfoy menjamin bahwa dia hanya membutuhkan beberapa nasihat hukum. Dia tidak keberatan menunggu seminggu untuk janji bertemu."
"Apakah Anda tahu kira-kira apa yang ingin dia diskusikan dengan Anda?"
Zeisel mengerutkan dahi dan sedikit memiringkan kepala. "Dia meminta informasi tentang menghalangi dakwaan."
"Dan apa maksudnya itu?"
"Secara umum, itu berarti mencegah kriminal dari tuntutan jaksa. Bisa termasuk menyembunyikan kriminal yang dicari oleh petugas hukum, menyediakan apa saja yang dibutuhkan demi menghindari ditemukan atau ketakutan—biasanya sembari memberikan uang atau menyusun transportasi—dan lain sebagainya."
Harry menatap Zeisel untuk waktu yang lama, benaknya berputar-putar. "Draco tahu di mana ayahnya berada. Atau bahkan dia mungkin menolongnya."
"Aku tak kuasa memberikan komentar dalam hal itu. Yang bisa kukatakan hanyalah Mr Malfoy meminta nasihat hukum mengenai menghindari dakwaan, dan setuju untuk melakukan pertemuan. Janji pertemuannya tidak dipenuhi dan aku tidak memiliki komunikasi lebih lanjut dengan Mr Malfoy." Zeasley meluruskan kerutan di lengan jubahnya dengan rapi lalu berdiri. "Aku takut aku memiliki janji dengan klien sekarang, Mr Potter. Tapi bila kau membutuhkan tambahan informasi, tolong hubungi sekretarisku untuk membuat janji."
"Anda pasti tahu bahwa dia berbicara mengenai Lucius Malfoy," ujar Harry marah, sembari tetap duduk.
"Seperti yang telah kukatakan, aku tak kuasa untuk—"
"Draco menghilang pada hari yang sama dia seharusnya bertemu dengan Anda untuk berbicara mengenai Lucius! Dan Anda tak pernah memberitahu siapapun, Anda tak pernah mengatakan apa-apa—"
Wajah Zeisel menutup; semua ototnya mengerat dan mulutnya berubah menjadi satu garis tipis. "Keluarga Malfoy memiliki banyak rumah berlibur dan tempat tinggal mewah di luar negeri. Aku sarankan padamu, Mr Potter, bila kau ingin menemukan Mr Malfoy, mulailah dari sana. Daripada melemparkan tuduhan tanpa dasar," ujarnya dingin.
"Anda sama saja dengan mereka semua," kata Harry, suaranya rendah dan murka. "Berpikir Draco pergi untuk hidup bermewah-mewah di villa entah di mana, bukan? Anda tak tahu apa-apa tentang dia!"
"Aku minta kau untuk pergi," bentak Zeisel, dan Harry berdiri.
"Dengan senang hati," ujarnya, melangkah cepat ke pintu. "Terima kasih atas semua bantuan Anda." Dia pergi dan menjeblakkan pintu di belakangnya. Meski dia tahu itu kekanakan, tapi dia tak bisa menahan diri. Dia begitu marah. Draco telah hilang selama tiga tahun, tiga tahun, dan semua orang yang terlibat dalam kasus—selain Astoria dan Narcissa—memperlakukan hilangnya Draco bagai lelucon. Catatan pengelola kasus yang pertama patut ditertawakan.
Tapi di bawah kemurkaannya pada Zeisel, sebenarnya dia marah pada diri sendiri.
Karena dia sendiri memikirkan hal yang serupa ketika memulai investigasi. Bahkan sejak dulu, ketika dia pertama kali mendengar kabar bahwa Draco menghilang. Saat itu dia baru berumur dua puluh tiga dan seluruh hidupnya tampak menyala bagai langit di musim panas. Dia memiliki teman-teman serta Ginny. Ginny yang cantik dan cerdas. Dan mereka baru membeli apartemen dan ada begitu banyak energi pada diri mereka. Dan hilangnya Draco tak berarti lebih dari catatan kaki dalam hidupnya, hanya selewatan judul berita di Koran, dengusan kecil sembari membayangkan Draco menyombongkan diri di tempat persembunyian mewahnya entah di mana. Lalu dia melanjutkan hidup dengan mudahnya, tak pernah memikirkan insiden itu hingga file kasus itu mendarat di atas mejanya tiga tahun kemudian.
Tiga tahun lamanya.
Dan mungkin, entah bagaimana, apa yang dia lakukan masih belum cukup. Dia sudah membaca buku catatannya sebulan yang lalu, demi Merlin, tapi dia baru menemui si pengacara sekarang? Penyidik macam apa dia? Dia sampah.
Harry mengecap darah dan menyadari bahwa dia menggigit bibirnya. Dia merenggangkan rahangnya lalu ber-Dissaparate ke atrium Kementrian.
xxx
Arthur Weasley gembira melihat Harry.
"Masuklah, masuklah. Ayo duduk," ujarnya, menuntun Harry ke dalam kantornya. Mr Weasley sudah melalui waktu yang lama sebelum meninggalkan kantor sempitnya bertahun-tahun lalu. Sekarang dia Kepala Kantor Hubungan Muggle yang baru, kantor barunya luas dan ditata rapi.
"Apa yang bisa kubantu, Harry?" tanyanya, sembari menawarkan sekaleng permen toffee. Harry menerima satu lalu duduk di kursi di seberang meja Mr Weasley.
"Aku sedang mengurus beberapa kasus dingin pada saat ini," kata Harry, sambil membuka bungkus toffee. "Salah satunya kasus Draco Malfoy." Dia berhenti untuk mengamati ekspresi Mr Weasley. Dia merengut, tapi tidak tampak terkejut ataupun tidak senang. "Aku bertanya-tanya," Harry melanjutkan setelah hening sesaat, "apakah aku boleh mengakses pusat data Muggle mengenai orang-orang tidak teridentifikasi."
"Oh, ya ampun," ujar Mr Weasley perlahan. "Aku turut berduka mendengarnya, Harry. Kurasa tak banyak harapan bagi dia, kalau begitu. Kami memiliki petugas perwakilan untuk Pertemuan, jadi—"
"Aku tengah memikirkan sesuatu yang lebih regional," sela Harry. "Devon dan Cornwall Constabulary."
"Ah." Arthur mengangguk. "Aku bisa bicara pada tim Kooperasi Pelaksanaan Hukum kita dan mereka bisa mengatur semuanya. Hanya beberapa seragam Muggle dan satu atau dua Mantra Kebingungan, dan kau dapat file yang kau mau."
"Terima kasih," ucap Harry lega, bersamaan dengan itu terdengar ketukan pintu sopan lalu seorang sekretaris melongokkan kepala di pintu.
"Laporan dari Menteri Muggle, sir."
"Ah, ya," kata Mr Weasley. "Dia ingin informasi terbaru mengenai insiden naga di Welsh." Dia berdiri dan menatap Harry minta maaf. "Maaf harus pergi buru-buru. Katakan halo pada Ginny untukku, ya? Molly sangat merindukan dia."
"Baiklah. Sekali lagi, terima kasih," ujar Harry, berdiri dan meninggalkan kantor.
Akan butuh waktu lama dan tak sabar untuk mendapatkan file itu. Tapi dia punya kasus lain yang perlu diurus, dia mengingatkan diri sendiri.
Dia kembali ke kantornya pelan-pelan.
xxx
Malam itu, dia memimpikan Cornwall lagi. Karang terjal, ombak gelap berpusar tanpa akhir di sekeliling batu di bawah.
Draco tak ada di sana.
Harry menunggu. Angin bergaram dari Lautan Celtic yang membekukan menyapa wajahnya. Dia bergidik dan menarik mantel lebih erat, berjuang menahan kainnya yang mulai merosot dari tangannya yang kebas.
Ini kan memori Draco. Bagaimana bisa memori ini ada sementara Draco tak ada di sini? Ini tidak masuk akal.
Harry melangkah lebih dekat ke ujung tebing, bergerak perlahan hingga dia bisa melihat langsung pada ombak diterjang angin dan menatap air menabrak batuan karang.
"Draco," ucapnya, tapi kata itu tersapu oleh angin dan menghilang tanpa suara pada kedalaman lautan gelap. Dia mencoba lagi, menaikkan suaranya untuk memanggil. "Draco!"
Kali ini, ucapannya naik dan terdengar jelas menembus langit malam, bergema dua kali. Draco, Draco!
Tapi tak ada jawaban.
xxx
Hari pertama di bulan Desember, London masih diselubungi kabut pagi ketika Harry tiba di Kementrian lalu menuju kantornya. Dia membuka kunci pintu, lalu membuka sarung tangan dan syal. Ketika dia duduk di kursi, sebuah file masuk ke dalam kantor dengan berkepak liar dan hampir menabrak kepalanya. Harry merengut melihatnya. File apapun yang dikirimkan hari sebelumnya, setelah Harry pulang, biasanya melayang di koridor sampai dia tiba pagi harinya.
Akan tetapi, kejengkelannya hilang ketika dia melihat catatan yang tertulis di sampul file.
Salinan yang diambil dari data kepolisian Cornwall/Devon mengenai mayat tidak teridentifikasi.
File-nya cukup tipis, Harry tebak hanya ada sekitar lima belas kasus. Dia mengesampingkan dua belas kasus pertama; tubuh yang ditemukan semuanya sebelum tahun 2003. Kasus ketigabelas tak lebih dari separo tulang rahang yang ditemukan di hutan Devon, Harry mengesampingkan yang itu juga. Tubuh pada kasus keempatbelas kira-kira berumur 50-70 tahun.
Kasus kelimabelas didaftarkan sebagai laki-laki, berumur sekitar 18-25. Warna rambut dan warna mata tidak diketahui. Ditemukan pada tanggal 21 Januari 2004, terdampar di dekat Rosenithon Point, Cornwall. Tubuhnya diperkirakan telah berada di dalam air selama 4-6 bulan.
Harry menatap halaman itu untuk waktu yang lama.
Kemudian dia menoleh perlahan pada sepotong perkamen yang menempel oleh Mantra Pelekat di atas meja dan menulis di atasnya.
Konsultasi dibutuhkan. Potter.
Tulisannya menghilang. Lima menit kemudian jawabannya muncul.
Akan datang dalam waktu satu jam. Butterworth.
Satu jam terasa begitu lama. Harry berusaha bekerja tapi tak bisa. Kata-kata dari dalam file seolah menetes-netes bagai hujan. Dia tak kuasa fokus. Dia membaca halaman kelimabelas lagi dan lagi. Terdampar di dekat Rosenithon Point, Cornwall.
Harry berhenti, lalu menekan pena bulu ke perkamen lagi.
Bawa peta.
Butterworth tidak membalas pesan yang satu itu, tapi dia tiba dua puluh menit kemudian dengan sebuah buku lusuh di bawah sebelah lengan. Pedoman Luas Geografi Britania Raya.
"Apa yang kau temukan?" tanya Butterworth, sembari menyerahkan buku itu pada Harry.
"Aku tak tahu." Harry mendorong file pada Butterworth, membuka halaman lima belas. Untuk sesaat, kantor hening ketika Butterworth membaca halaman dan Harry cepat-cepat mencari map Cornwall, menelusurkan jarinya pada garis lintang dan garis bujur hingga dia menemukannya. Rosenithon Point. Lima belas mil ea rah timur laut dari Helston.
"Beritahu aku rincian kasusmu," ujar Butterworth, sembari membaca halaman.
Mereka telah melakukan ini ribuan kali, tapi kali ini… Harry tak bisa memikirkan apa yang harus dikatakan untuk waktu yang lama. Dia mengambil file Draco dan membukanya, meraba-raba halaman. "Laki-laki, umur dua puluh tiga ketika menghilang. Hilang pada bulan September 2003." Setelah jeda panjang, dia menambahkan, "diketahui sering mengunjungi pesisir Cornish."
"Kemungkinan besar cocok, kalau begitu."
Harry mengangguk bisu.
"Kau tampak tidak sehat," kata Butterworth. "Kuharap kau tidak masuk kerja dengan demam," tambahnya tak setuju. Ada banyak demam yang sangat menular di Kementrian saat ini.
"Tidak, aku hanya… Aku baik-baik saja," kata Harry, mengeratkan tangannya yang gemetar di sekeliling atlas.
"Yah," kata Butterworth setelah beberapa saat, "ada tanda-tangan sihirnya?"
"Dari—dari pihak kita," jawab Harry, berhasil menemukan suaranya berkat ekspresi tak tertarik Butterworth yang menjamin. "File yang kau pegang sekarang—itu file Muggle."
Butterworth mengerutkan kening. "Aku akan perlu untuk mengakses sisa mayatnya." Dia berhenti sejenak. "Kemungkinan besar sekarang sudah dikremasi atau dikubur. Kita harus melakukannya dengan cara Muggle. Pergi dan urus ke kantor Hubungan Muggle untuk mengambil sampel DNA." Dia melambaikan tangannya jengkel. "Hubungi aku bila kau sudah mendapatkannya."
Harry mengangguk dan Butterworth pergi, membawa atlas bersamanya.
Harry berdiri dan pergi, sekali lagi, ke kantor Mr Weasley.
Xxx
Harry ber-Floo ke rumah Matthew dan Astoria di petang hari. Dia ada pelajaran mengemudi, meskipun hal itu berada sangat jauh di dalam benaknya. Mr Weasley sudah menghubungi Departemen Pelaksanaan Undang-Undang Sihir dan menjelaskan bahwa mereka akan bisa mengirimkan petugas Hubungan Muggle untuk bernegosiasi dengan petugas kepolisian Muggle, dan mendapat akses untuk mengambil sampel DNA. Sampelnya akan dikirim pada Butterworth, yang mampu menganalisa kecocokan jejak sihir.
"Indikatormu masih menyala." Matthew terdengar geli. "Ada yang menganggu pikiranmu? Kau tampak melamun dari tadi."
Harry belok di tikungan dan tak berkata apapun, bertanya-tanya apakah dia bisa bercerita pada Matthew dan Astoria atau tidak. Tidak, itu tidak profesional. Dia tak boleh mengatakan apapun hingga dia mendapat hasilnya.
Yang membutuhkan waktu mulai dari seminggu hingga satu malam.
"Hanya sedang memikirkan salah satu kasusku," gumam Harry pada akhirnya, dan Matthew tidak menekan lebih jauh. Harry memelan ketika memasuki gang mobil, mendengarkan suara ban menggesek kerikil basah.
Setelah memarkir mobil, mereka masuk ke dalam dan duduk di depan api berkobar. Matthew mengajukan beberapa pertanyaan tentang billywig, tapi tampaknya dia menangkap suasana hati Harry dan menutup perbincangan.
Samar-samar, Harry tahu dia bersikap seperti tamu yang buruk—terus termenung muram dan dingin—tapi dia tak kuasa memaksakan dirinya untul pura-pura tersenyum dan berbincang-bincang santai. Draco bisa saja sudah meninggal. Tenggelam, tiga tahun lalu. Bahkan sebelum Harry melihat memori yang pertama. Bahkan sebelum dia menulis menyukai lingkaran di dalam file. Bahkan sebelum dia membaca kalimat Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun?
Harry pamit pada Astoria dan Matthew, ber-Floo menuju apartemen. Ginny memasang pohon Natal kecil—tidak lebih besar dari seekor burung hantu—di ujung konter dapur. Harry menatapnya untuk sejenak, mengingat pinus jarum rimbun terkubur di bawah lintasan salju Godric Hollow. Pub ceria, didekorasi lampu-lampu, dan suara lagu carol dinyanyikan di kejauhan. Dia bisa saja tumbuh besar di sana. Membangun manusia salju sebagai anak-anak, dan ketika dia dewasa dia bisa minum minuman pertamanya di pub itu.
Mari kembali ke masa itu.
Apa yang akan dikatakan Ginny bila dia menjual apartemen dan membeli rumah di pedesaan?
Harry menghembuskan napas tajam dan pergi ke pintu geser, membukanya lalu melangkah ke balkon. Malam ini dingin; tetesan embun menghiasi pagar balkon dan napas Harry menggantung di udara bagai awan.
Jauh di bawah sana, di jalan raya, seseorang bersiul lagi.
Blow the wind southerly, southerly, southerly...
Terdengar bunyi pop samar, dan pintu depan terbuka.
"Harry! Kau tak akan bisa menebak siapa lawan kami hari Sabtu nanti! Hanya tinggal dua pertandingan yang tersisa musim ini dan— Apa yang sedang kau lakukan di luar sana? Tutup pintunya, di luar dingin sekali." Ginny membuka topi dan syal wolnya. "Kami akan bermain melawan Swindon Skylarks, dan seeker mereka adalah saudara Wanda, jadi tentu saja pertandingannya bakal menarik. Tak ada yang bisa lebih menghidupkan suasana dari persaingan antar saudara." Dia melirik Harry, pipinya merah karena udara dingin, tampak cantik seperti biasa. "Cepatlah masuk ke dalam."
Harry berhenti sebentar, mendengarkan suara siulan di jalan raya di bawah, lalu melangkah ke dalam dan menutup pintu.
xxx
Minggu penantian yang panjang untuk hasil tes. Ketika Harry tidak sedang mengerjakan kasusnya yang lain, dia diam di kantor Hubungan Muggle, mendesak orang-orang di sana mengenai pengurusan. Ketika dia akhirnya mendapat kabar, di hari Jum'at, bahwa sampel DNA berhasil didapatkan, dia mulai mendesak Butterworth sebagai gantinya.
Rasanya aneh, tinggal di apartemen dengan dinding putih bersih dan pohon Natal berukuran seadanya. Berjalan-jalan di sepanjang jalan raya London, melintas di bawah pajangan pesta yang meriah dan ceria: lampu berkelap-kelip di atas kepala, untaian bintang emas, dan kepingan salju berwarna biru elektrik. Melihat orang-orang tertawa, berkerumun di pub atau penginapan, minum jus buah dan wine. Selamat Natal, tertulis di jendela toko. Diagon Alley, yang disihir agar salju lembut dan hangat jatuh di atas jalannya, dibanjiri oleh kemeriahan pesta. Setiap toko menyalakan Radio Sihir yang tengah memutar lagu-lagu Natal klasik. Diluar toko Perlengkapan Quidditch Berkualitas tertulis tanda dalam huruf warna-warni, Belilah Skyblazer terbaru dan bawakan untuk Natal!
Ya, rasanya aneh berada di sini sementara Draco Malfoy mungkin sudah mati tiga tahun lalu.
Bila dia mati sendirian di tengah gelombang Lautan Celtic yang dingin dan tak kenal ampun. Bagian terburuknya adalah, Harry bahkan tidak menyadarinya selama tiga tahun.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
Kadang Harry tergoda.
xxx
Sabtu adalah hari pertandingan besar Ginny. Bila Wandsworth Warriors memenangkan permainan, mereka akan mencapai final musim ini.
Harry tak bisa hadir ke pertandingan. Dia meminta maaf yang sedalam-dalamnya pada Ginny, beralasan bahwa dia harus mewawancarai kerabat mengenai kasus baru-baru ini. Ginny kecewa tapi berkata bahwa dia mengerti.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa melakukannya," ujar Ginny. "Keluarga-keluarga yang malang itu."
Harry merasa buruk karena berbohong, dan dia tahu dia bersikap jauh akhir-akhir ini. Dan dia merasa sangat gelisah sepanjang minggu… Dia menunggu Ginny untuk berkomentar soal itu, tapi Ginny hanya menciumnya dan berharap semoga kasusnya berhasil sebelum mengambil portkey menuju Swindon.
Jadi sebagai gantinya, dia mempersiapkan diri untuk alasan sebenarnya dia absen dari pertandingan: tes praktik mengemudi.
xxx
Matthew mengantarnya ke pusat tes dengan mobil.
"Sudah bawa semua dokumen?" tanyanya.
"Ya." Harry merasa sama gugupnya dengan sebelum menghadapi naga Hungaria Ekor-Berduri.
"Sertifikat tes teori?"
"Ya."
"Gugup soal tes, eh?" kata Matthew, masuk ke tempat parkir pusat tes.
"Sejelas itukah?"
"Kau tampak stres sepanjang minggu."
"Kau menyadarinya," kata Harry perlahan. Hermione dan Ron juga menyadarinya. Mereka bertanya pada Harry apa yang terjadi. Dia memberi tahu mereka yang sebenarnya: dia telah menemukan kandidat yang cocok dengan Draco. Rasanya lega bisa memberi tahu mereka, dan sedikit mengurangi kegelisahannya.
Mereka berjalan masuk ke pusat dan duduk di ruang tunggu. Harry menghabiskan sepanjang pagi untuk bertanya-tanya apakah dia batalkan saja tesnya. Lagipula kenapa sih dia mulai belajar mengemudi? Padahal dia bisa ber-Apparate dan punya portkey, dia bisa pakai jaringan Floo dan Kementrian bahkan bisa menyediakan mobil tanpa supir untuknya.
Tapi dia ingin melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, sekali saja.
Apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, hanya pergi kemanapun orang lain membawamu?
Jauh di dalam, ada alasan lain kenapa dia belajar mengemudi, tapi dia masih belum siap untuk menyuarakannya.
"Harry Potter?" panggil seorang wanita, melangkah ke area tunggu. Harry suka cara Muggle menyebut namanya, dengan sopan dan halus. "Kami akan mengecek dokumen Anda dan sedikit mengetes penglihatan Anda, lalu Anda akan bersiap-siap untuk praktik."
Harry berdiri.
xxx
Dia kembali ke pusat tes empat puluh menit kemudian. Matthew —rupa-rupanya sedang asyik membaca buku Good Housekeeping yang tampak kuno— tak menyadari kedatangannya untuk beberapa saat.
"Bagaimana?" tanya Matthew.
Harry tersenyum.
xxx
Harry ber-Apparate kembali ke apartemen sementara Matthew mengemudi pulang. Matthew bersemangat untuk merayakannya dengan beberapa botol butterbeer, mengatakan bahwa Astoria menawarkan undangan makan malam, tapi Harry menolaknya dengan sopan, berkata bahwa dia masih ada pekerjaan yang harus dilakukan.
"Kerjaan di hari Sabtu? Keras sekali," Matthew berkata dengan kaget. Sebagai gantinya, mereka membuat janji bahwa Harry akan berkunjung di makan malam hari Minggu. Sekarang ini, Harry hanya ingin sendirian, untuk berpikir. Kebahagiaan karena mendapat lisensi penuh terasa hilang oleh segala hal lain yang tengah terjadi dalam hidupnya.
Belum lima menit dia sampai di apartemen, dia menerima panggilan dari Butterworth. Tidak biasanya. Kolega Harry hanya menggunakan panggilan pribadi dalam situasi darurat.
"Hasil tesmu sudah ada," kata Butterworth tanpa basa-basi, dan Harry langsung buru-buru mendekati perapian.
"Kau kan baru dapat sampel-nya di hari Jum'at."
"Aku kerja lembur dan membawa hasil tesnya pagi tadi, supaya kau berhenti mendatangi kantorku setiap lima menit dan meminta perkembangan," ujar Butterworth sebal, tapi Harry tetap bersyukur. "Ini hasilnya." Sepotong kertas terbang dari dalam perapian dan Harry buru-buru menangkapnya, melewatkan semua bagian tipikal file hingga dia mencapai satu-satunya bagian yang paling penting.
Kecocokan : Negatif (0,5%)
Catatan : sampel merupakan Muggle.
"Itu bukan… itu tubuh Muggle?" tanya Harry kosong. Butterworth mengangguk.
"Sampel itu adalah Muggle. Sama sekali tak ada jejak sihir."
Harry menatap kertas, membaca kalimatnya lagi dan lagi. Kecocokan : Negatif.
"Terima kasih," ujarnya menerawang. "Semoga akhir pekanmu menyenangkan, Butterworth."
"Akhir pekanku bakal menyenangkan bila aku tak perlu melihatmu." Dia mengakhiri panggilan.
Harry bersandar ke dinding, perlahan merosot ke bawah hingga dia terduduk di lantai.
Kecocokan : Negatif.
Dia terdiam dua puluh menit penuh sebelum menegakkan punggung, lalu berdiri dan menuju meja makan. Dia perlu melakukan analisis serius mengenai pertemuannya dengan pengacara Draco.
xxx
Ginny pulang dengan suasana hati bahagia. Aneh. Terutama karena timnya kalah di pertandingan.
"Ada yang mau kuceritakan padamu," ujarnya pada Harry.
"Aku juga," kata Harry. Segalanya, aku punya segalanya untuk diceritakan. Lisensi mengemudi akan jadi kejutan luar biasa—dia hanya bisa membayangkan ekspresi Ginny—dan ada begitu banyak hal yang ingin dia ceritakan. Semua hal yang entah bagaimana tak pernah sempat mereka bicarakan dengan satu sama lain.
"Yah, kita bisa berbagi berita di malam Jum'at," kata Ginny, tersenyum. "Aku sudah pesan tempat di restoran baru, yang baru buka di Diagon Alley."
"Aku menantikannya," ujar Harry, merasa cukup senang. Sudah lama sekali sejak terakhir Ginny merencanakan kencan.
Mungkin semuanya akan baik-baik saja.
xxx
Tapi malam itu, rasanya mustahil untuk tidur. Dia terus memikirkan kasus Draco. Benaknya berpacu pada ribuan kemungkinan, ribuan petunjuk kecil yang mungkin dia lewatkan atau salah artikan. Dia menunggu hingga Ginny tidur, lalu bangun dan mengambil kotak kardus di sebelah meja, membawanya ke dapur lalu menaruhnya di atas konter.
"Lumos," bisiknya.
Cahaya dari ujung tongkat sihir berkilau lembut di atas buku teks Hogwarts, sebotol wiski tua, dan origami bunga mawar berwarna merah hati pudar. Harry meraih buku teks terdekat. Dia tidak membukanya terakhir kali, karena bukunya diikat erat oleh tali panjang.
Buku Monster Tentang Monster. Harry membuka tali; sepasang mata bulat terbuka tapi segera menutup lagi ketika Harry menelusurkan jarinya ke punggung buku. Setelah menunggu beberapa saat untuk meyakinkan bukunya sudah tenang, dia mulai membuka-buka halaman. Dia yakin Draco tak akan pernah repot-repot dengan buku ini—
Catatan demi catatan dalam bentuk tulisan kecil memenuhi margin.
Harry menatap tak percaya pada apa yang dia lihat. Limax harus didekati dengan kewaspadaan… Valcore biasa memiliki penglihatan buruk dan bergantung pada pendengaran untuk mendeteksi lokasi target, rapal Mantra Peredam sebelum mendekat…
Tulisan-tulisan itu —sama dengan semua tulisan Draco selama bertahun-tahun— tampak fokus pada teknik praktik dan penerapan daripada teori. Tampaknya dia terobsesi untuk mendokumentasikan setiap langkah dengan sempurna, meyakinkan tak ada ruang untuk kesalahan. Harry membuka halaman.
Hippogriff, tertulis di judulnya, tapi sisa halamannya telah disobek. Ketika itu, Harry sadar —Buckbeak menyerang Draco— kejadian itu pastilah sangat memalukan bagi Draco. Dilihat dari kurangnya catatan, Draco tidak cukup siap untuk pelajaran ini dan akibatnya dikalahkan penuh oleh si hippogriff. Tentu saja itu salah Draco sendiri, pikir Harry sebal—si arogan itu tidak memperhatikan.
Tapi kejengkelannya dengan segera berubah menjadi bingung ketika dia mengingat Draco di tahun-tahun awal Hogwarts. Belum dewasa, selalu pamer kekayaan dan menarik perhatian pada dirinya sendiri… Terdapat kepercayaan diri yang perlahan meleleh, mengambil sisa masa kecil Draco bersamanya dan menghasilkan orang lain. Orang yang selalu sembunyi sepanjang waktu, pikir Harry, sembari mengingat tahun keenam. Orang yang tampak ketakutan permanen, selalu mundur, selalu berpaling.
"Kau selalu takut akan kegagalan," gumam Harry.
"Mungkin, tapi rasanya masih sulit mendengar orang lain mengatakan itu tentangku."
Harry tidak bergerak untuk sesaat. Itu hanya ada dalam kepalamu, kau hanya berpikir kau mendengar Draco mengatakan itu—
Harry mendongak. Draco berdiri di seberang ruangan, membelakangi Harry, menatap kaki langit London di luar sana, sebelah tangannya menyentuh kaca dingin.
"Pemandangannya bagus," lanjut Draco, seakan dia tak berbicara sesaat sebelumnya. "Tapi ini bukan dirimu, kan, Potter? Ini bukan apa-apa. Hanya kotak beton di atas langit." Dia maju sangat dekat ke kaca, Harry bisa melihat napasnya berembun. "Kau perlu sesuatu yang lebih dekat dengan tanah. Sesuatu yang nyata."
Katakan padaku, bagaimana kau bisa masuk ke dalam kepalaku? Untuk sesaat ini membuat Harry ketakutan. Bahwa Draco Malfoy lebih mengenalnya dibanding kebanyakan kawan-kawannya, dibanding kolega-koleganya, dibanding Ginny. Lalu dia ingat—
"Kau tidak nyata."
Draco melonjak kaget. Dia berputar dan menatap Harry.
"Kau bisa melihatku."
"Ini mimpi. Mimpi lainnya," kata Harry, lebih untuk meyakinkan diri sendiri daripada merespon Draco.
Draco masih menatap Harry seakan dia naga spesies baru.
"Seharusnya kau tak bisa melihatku," ujar Draco akhirnya. "Atau mendengarku."
"Kenapa tidak?" Bila ini mimpi, Harry memutuskan, dia tak keberatan.
"Kau tidak bisa mendengarku di waktu-waktu yang lain," kata Draco, suaranya hampir menuduh.
"Waktu lain apa?"
"Semua waktu lain ketika kau melihat-lihat memori dan barang-barangku."
"Kau melihatku?" Seluruh waktu-waktu ketika Harry mengakses memori dan menggeledah barang-barang Draco… apakah Draco melihatnya ketika dia duduk di dalam Renault Mégane? "Kau bisa melihatku? Mengikutiku kemana-mana seperti hantu?"
Draco tampak geli. "Kau mulai lagi, Potter," katanya. "Berpikir seluruh dunia berputar di sekitarmu." Dia berpaling lagi, menatap kelap-kelip lampu kota London, samar-samar di balik embun musim dingin. "Aku bukanhantu."
"Kau di mana? Aku berusaha menemukanmu."
"Aku tahu." Draco menyentuhkan sebelah tangan santai pada kaca pintu geser lagi. "Aku tidak bisa memberitahumu di mana aku berada."
Harry terdiam lama. Itu adalah sesuatu yang dia pelajari dari Draco, dari malam-malam tanpa akhir yang dia habiskan untuk melihat memori Draco yang tengah mengemudi dan terus mengemudi, melewati jalanan gelap dan panjang. Hal itu meminjamkan kesabaran dan renungan bagi Harry.
Draco bilang, tidak bisa. Aku tidak bisa memberitahumu. Bukan aku tidak ingin. Ada faktor luar yang mencegah Draco untuk mengungkapkan lokasinya, kalau begitu. Entah itu manusia ataupun mantra.
Dia mendongak. Draco sedang mengamatinya. Bertahun-tahun lalu, Draco bakal mengatakan sesuatu yang menusuk sekarang ini, pikir Harry. Lupa caranya bicara, Potter? Atau semacamnya.
"Kau banyak berubah," kata Harry.
"Begitu pula kau."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku bisa melihatmu ketika kau berada di sekitar barang-barangku atau memori-memoriku," ujar Draco, menoleh untuk menatap ke luar jendela lagi. "Rasanya seperti melihat memori dalam pensieve."
"Melihatku sedang melihatmu," ujar Harry. "Lingkaran lagi."
"Ya, ada dualitas tertentu dalam hal ini."
Harry mengamati Draco. Harusnya dia sadar. Pada beberapa percakapan pertamanya dengan Draco, entah bagaimana dia tampak terlalu tenang, terlalu menerima kedatangan tiba-tiba Harry dalam hidupnya. Sekarang segalanya masuk akal, menyadari bahwa Draco ada di sana sepanjang waktu. Mungkin sejak awal. Melihat Harry di emporium burung hantu. Melihat Harry membaca buku-buku teks serta buku tulisnya. Melihat Harry ketika dia duduk di dalam Renault Mégane. Harry bertanya-tanya apa yang Draco pikirkan ketika melihat Harry menggeledah hidupnya.
"Bisakah kau memberitahuku bagaimana kau menghilang?" tanya Harry. Terdengar suara pecah keras, seakan udara di sekitar Draco retak bagai kaca, dan Harry melangkah mundur.
"Aku—" kata Draco, tapi suaranya melayang di udara seakan seseorang mencabut kawat logam dan kebisingan memenuhi kepala Harry, memotong ke dalamnya. Dan dia tahu ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.
"Jangan," kata Harry mendesak, "jangan jawab—"
Tapi lalu terdengar suara bagai kaca meledak, seolah seseorang melemparkan cermin ke seberang ruangan. Kesakitan yang amat sangat melintasi wajah Draco sebelum dia tiba-tiba menghilang ke udara kosong.
Harry menunggu lama, tongkat sihir teracung tinggi, jantung berdebar-debar, lalu mendekati pintu geser, menatapnya lekat-lekat. Tak ada apapun di sana. Tak ada retakan di kaca, tak ada bekas, bahkan tak ada sidik jari.
Draco telah pergi, atau mungkin dia tak pernah ada di sana.
Harry mengucapkan namanya, hanya sekali. Pertanyaan kecil menggantung di udara bagai awan salju. Untuk sejenak, Harry berdiri di pesisir Cornish lagi, memanggil-manggil pada lautan yang diterjang badai. Mendengar suaranya sendiri bergema di sepanjang tebing karang.
Draco.
Malam itu, kaca-kaca jendela berderak-derak dalam panelnya, seakan jiwa gelisah terjebak dalam angin musim dingin.

tbc~ 

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart