Running on Air © eleventy7 chapt 14

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 14
.
Harry duduk di kursi penumpang Renault untuk waktu lama, mendengarkan mesin mendingin diiringi bunyi tik.
Awalnya, dia masih marah dan mulai menyiapkan omelan panjang dalam hati yang rencananya akan dia lancarkan begitu Draco kembali.
Tapi satu jam berlalu dan Draco masih belum muncul lagi. Dan amarah Harry dengan segera meleleh menjadi penyesalan ketika dia mengingat kembali argumennya. Draco tampak kesal dan tak sabar sejak awal, tapi begitu pula Harry. Semua ini bisa saja hanyalah kesalahpahaman simpel—Draco bisa saja berkata, oh, aku tidak marah padamu.
Tapi akal sehatnya menambahkan pelan, harusnya kau bicara lebih jelas juga.
Harry merona bersalah, memikirkan betapa argumennya mengingatkan dia pada persaingan masa sekolah mereka. Dia dengan cepat merasa defensif, menganggap setiap komentar sebagai hinaan. Sekarang setelah dia analisa keseluruhan argumen, dia rasa dia bisa saja menginterpretasikan komentar Draco tentang Neville sebagai gurauan atau bahkan candaan lucu bila Hermione atau Ron yang mengatakannya.
Yah, dia tak mau minta maaf, pikirnya keras kepala. Draco juga bersikap tanpa alasan. Harry mungkin akan mengaku bersalah sedikit, tapi hanya, misalnya, seperempat.
Tidak lebih, tidak kurang.
xxx
Ketika dua jam berlalu sejak Draco menghilang, Harry meringis ketika dia mengingat apa yang dia ucapkan. Setidaknya aku punya teman.
Itu sama sekali tidak adil, pikir Harry. Dia merasa malu. Habisnya…Draco terdengar sangat mirip dengan semasa mereka masih saling melemparkan hinaan di Hogwarts. Dan meskipun ekspresi Draco tampak marah alih-alih seringai, Harry hanya semacam merespon otomatis dengan hinaan personal…
Mungkin dia akan mengaku bersalah separo. Tapi tidak lebih.
xxx
Ketika tiga jam berlalu sejak Draco menghilang, Harry rasa dirinya akan menerima bahwa dia bersalah sepenuhnya. Dia duduk di kursi pengemudi dan menempatkan kedua tangan di atas setir; dia menatap tanpa betul-betul memperhatikan atlas jalan; dia turun dari mobil dan mondar-mandir di sekelilingnya.
Kembalilah, dan aku akan minta maaf, pikirnya putus asa. Aku tak keberatan meminta maaf asal kau ada di sini.
Tapi Draco tak kembali.
xxx
Malam pun tiba. Harry mengemudi menuju Landewednack. Dia berkendara dengan berat hati. Dia tak dapat berhenti cemas.
Dia mencemaskan banyak hal selama hidupnya. Simpul ketakutan dan kegelisahan yang dia rasakan dalam perutnya bukanlah hal baru. Dia sangat mengenal rasa ini, baik dari hal-hal seperti pertandingan Quidditch pertamanya atau pun dari Turnamen Triwizard, baik untuk keselamatan kawan-kawannya atau pun untuk masa depan Hogwarts selama masa perburuan kelahiran Muggle.
Tapi mencemaskan Draco Malfoy jelas hal yang baru bagi Harry.
Sebelum Harry pergi, dia mengukir kordinat Landewednack pada tiang pagar, berharap Draco masih bisa melacak Harry bila dia kembali ke tempat ini. Meski begitu, dia berdiam lama sebelum berangkat. Harry terus berpikir, akan kutunggu semenit lagi. Dan kemudian, ketika semenit berlalu tanpa tanda-tanda kedatangan Draco, dia pikir dia akan menunggu semenit lagi.
Pada akhirnya dia pergi. Tapi bahkan ketika dia menghidupkan mesin dan menyalakan indikator, dia sia-sia berharap Draco muncul lagi.
Akan tetapi jalan raya kosong perlahan menghilang dalam kaca spion ketika Harry mengemudi pergi.
xxx
Di Landewednack, dia menemukan pondok penginapan boutique dekat dengan jalan setapak tepi laut. Tampaknya tempat ini berkualitas jauh lebih tinggi dari tempat-tempat lain yang pernah mereka singgahi. Si resepsionis berceloteh riang tentang cuaca dan memberi Harry kunci kamar.
"Kamar Anda berada di lantai dua, sebelah timur," ujarnya riang. "Sarapan akan disajikan pada jam tujuh hingga sembilan pagi, dan kami memiliki peta serta brosur tersedia untuk Anda. Nikmati waktu Anda."
"Terima kasih." Harry berhenti. "Sebetulnya, aku sedang menunggu kedatangan seorang tamu lagi." Hanya untuk jaga-jaga.
"Malam ini? Kami akan tutup satu jam lagi."
"Besok. Mungkin lusa."
"Apakah Anda ingin memesan kamar terpisah? Kamar Anda yang sekarang memiliki dua tempat tidur."
"Tidak, tak usah." Harry memberikan nama Draco dan si resepsionis menjamin dia akan 'mengantarnya' bila dia datang.
Harry tidak begitu kesulitan menemukan kamarnya. Draco akan suka ini, pikirnya. Terdapat pemandangan padang hijau zamrud yang luas, mengarah pada turunan tebing laut yang dramatis. Lautnya —cerah di bawah matahari musim panas— tampak tenang dan lembut, sangat jauh berbeda dengan amukan ombak musim dingin yang menyapa Harry terakhir kali dia di pantai ini.
Ada dua kasur dobel; dia memilih kasur yang lebih dekat jendela, menelusurkan sebelah tangannya pada linen kering. Hanya ada sedikit benda yang harus dia bongkar— beberapa pasang pakaian yang dia beli di Hopper's Crossing, tas kecil berisi sikat gigi, razor, dan sisir. Meski begitu, Harry menghabiskan banyak waktu merangkai barang-barangnya. Ketika dia bosan melakukan aktifitas itu, dia menjelajah kamar kecil itu. Ada balkon kecil. Satu kursi berlengan di sudut kamar, satu meja tulis di sudut lain.
Dia sadar dia hanya berusaha mengalihkan perhatian diri sendiri. Itu sia-sia.
Dia pergi ke pub terdekat untuk makan malam tapi dia kembali satu jam kemudian, tak mampu menikmatinya meski makanannya menyenangkan dan pemandangan pada perjalanan pulang ke pondok sangat indah. Si resepsionis tampak menebak pertanyaan Harry sebelum dia bisa berucap.
"Tak ada tamu," ujar si resepsionis.
Harry mengangguk dan berjalan lelah menuju kamar.
xxx
Harry bangun dini, sebelum matahari terbit. Dia berdiri di balkon dan menatap ke seberang garis gelap tepi laut Cornish. Udara dini hari begitu kering oleh angin bergaram dari laut, tapi akan menghangat dengan segera oleh cuaca musim panas.
Hari ini tanggal tujuh belas Juni, Harry ingat.
Tanggal lima Juni… Hari tibanya Draco di ambang pintu Harry, melemparkan mantelnya dengan santai ke atas konter dapur, dan berkata Mau pergi mengemudi?
Saat itu hari ulang tahun Draco. Hari itu dia genap berusia dua puluh lima.
Di sebelah timur, di seberang tebing gelap dan lautan tenang musim panas, langitnya menyala.
xxx
Harry menghabiskan pagi dengan berjalan kaki di sepanjang jalan setapak tepi laut. Rasanya tidak sama, pikirnya. Dia lebih menyukai kunjungan sebelumnya. Ketika angin musim dingin meraung melewati ujung tebing ambruk, ketika ombak menyerbu batuan tak rata, ketika laut menyanyikan lagu garang pada bulan sabit.
Sekarang, daratannya cerah dan hijau, lautannya berkilau di bawah cahaya musim panas. Rumah-rumah liburan yang terabaikan kini dipenuhi sekali lagi oleh wajah-wajah terbakar matahari dan suara-suara tawa. Ketika Harry mengikuti jalur berkelok-kelok, dia setidaknya berpapasan dengan tiga pasangan, satu keluarga muda, dan seorang kakek tua bersama seekor anjing terrier yang sama tuanya.
Harry menghadapkan wajahnya pada biru langit tanpa awan. Dia harap saat itu musim dingin lagi.
Atau mungkin dia harap saat itu malam hari.
Atau mungkin dia harap saat itu jam tiga dini hari, dan bila dia menoleh ke sebelah kiri, dia akan melihat Draco ada di sana. Aku ingin melihat di mana daratan berakhir, Draco akan berkata.
Harry menurunkan pandangannya dari langit dan menatap ke sebelah barat, ke Laut Celtic. Di suatu tempat di seberang cakrawala, di seberang gelombang tanpa henti dan arus berliku, laut ini akan bertemu dengan Laut Atlantis Utara. Dan semua lautan bertemu satu sama lain, dan semua daratan menjadi konstelasi tak berujung yang mengelilingi dunia.
Atau mungkin dia hanya berharap Draco ada di sini.
xxx
Harry punya banyak tanggung jawab. Urusan-urusan yang dia tinggalkan di belakang. Orang-orang menunggunya. Tentu saja dia tak ingin Hermione atau Ron cemas, dan dia ingin mengirim pos burung hantu lagi, untuk memberitahu mereka bahwa dia baik-baik saja. Tapi dia mendapati dirinya tidak begitu peduli pada hal-hal lain.
Malam itu, dia berdiri di balkon kecil dan menempatkan kedua tangan di atas pegangan besi tempa, hanya demi merasakan sesuatu yang solid. Seakan dia berusaha menenangkan diri, seakan listrik mengaliri tubuhnya.
Dia tak yakin dia masih ingin menjadi Auror. Dulu, ketika dia masih enam belas tahun dan membagi dunia berdasarkan dualitas sederhana, dia selalu ingin menjadi Auror. Baik atau buruk, hitam atau putih, lebih baik atau lebih buruk.
Tapi tentu saja, tak ada yang namanya dualitas. Hanya kadar perbedaan.
Sayang sekali butuh waktu lama baginya untuk mempelajari hal itu.
xxx
Hari berikutnya, dia bangun tepat setelah matahari terbit. Sarapan akan disajikan satu jam lagi dan dia menunggu seraya sesekali menatap ke seberang tebing. Tampaknya hanya itu yang dia lakukan: berdiri di balkon dan menatap dunia. Kereta, tebing, lampu, dan lautan.
Dia menuruni tangga pada jam tujuh dan menghabiskan waktu satu jam untuk sarapan. Nafsu makannya lenyap. Dia bertanya-tanya apakah sebaiknya dia pulang, tapi tak ada yang namanya rumah. Apartemen itu tak lebih dari kotak di atas langit. Hogwarts —rumah pertamanya, rumah masa kecil nyatanya yang pertama— sudah hilang selamanya, hanya dapat diakses dalam kenangan. Hogwarts kini menjadi rumah bagi ribuan anak-anak lain, dan itu adalah pemikiran manis pahit.
Dan pada semua tempat lain dalam hidupnya, dia hanyalah pengunjung, orang asing. Boleh jadi dia pernah tinggal dengan keluarga Dursley selama tujuh belas tahun, tapi dia tak pernah menganggapnya sebagai rumah. Boleh jadi dia menganggap the Burrow sebagai rumahnya, tapi orang-orangnya sudah lama pergi —Ginny selalu bepergian, yang lainnya sudah pindah atau menikah— dan kamar-kamarnya sekarang kosong.
Dia tak punya tempat di mana pun.
Kecuali mungkin di dalam Renault Mégane, membakar M27 tengah malam, menelusuri garis-garis bersambungan di sepanjang daratan.
xxx
Di petang hari, Harry mengemudi.
Atau mungkin dia bukan tengah mengemudi, mungkin dia tengah mencari. Mencari Draco, mencari memori, mencari ketenangan pikiran, mencari rumah. Kemana saja dan kemana-mana.
Dia berkendara melewati jalan pedesaan panjang dan berangin, melewati padang-padang yang disentuh sinar matahari terbenam musim panas. Tepi pantai menghilang di belakangnya, tebing bertiup angin membuka jalan pada padang rerumputan.
Harry dapat melihat cerahnya sinar matahari pada kaca spion, percikan akhir dan brilian mengaliri cakrawala. Segera, matahari terbenam yang cerah memudar menjadi tak lebih dari ungu pucat seukuran sidik jari, memar lembut di sepanjang langit. Di sebelah selatan, bulan pucat menghantui cahaya samar petang hari, dan bintang pertama muncul. Itulah yang selalu Harry rindukan, ketika dia tinggal di London. Malam berasap tebal tak pernah memberinya langit penuh bintang-bintang.
Dia kembali ke Landewednack, mengemudi melewati jalan-jalan sempit. Melewati gereja dengan gerbang bertipe kissing gate, pondok kecil, dan jembatan yang melintasi teluk kecil. Pondok penginapannya berada di ujung jalur berkelok-kelok, berlatar belakang tepi laut Cornish. Meskipun malam masih muda, kebanyakan jendela sudah gelap. Tamu-tamu yang lain pasti sudah tidur, bersiap-siap untuk jalan-jalan di pantai pada pagi hari dan perjalanan ke teluk-teluk kecil.
Harry memarkirkan Renault dan berjalan melewati meja resepsionis, naik ke lantai dua menggunakan tangga, dan menuju kamar kosongnya.
xxx
Masih di malam yang sama, dia pergi lagi untuk menyusuri jalur setapak tepi laut barat daya yang berkelok-kelok. Matahari sudah lama terbenam; pasangan-pasangan tersenyum dan kakek tua bersama anjingnya sudah lama mundur ke kasur nyaman mereka dan ke dalam mimpi yang jauh.
Ada lengkungan lebar pada tebing dekat sana. Bisa jadi ini tebing yang sama yang dia kunjungi dalam memori Draco, tapi Harry sedang tak ingin meninjaunya. Sebaliknya, dia lanjut menyusuri jalur lereng hingga dia berdiri di bawah ceruk terlindung. Air dangkalnya membasuh endapan lumpur dan pasir dengan lembut sebelum mundur lagi, dan Harry teringat akan betapa lautan kadang terasa bagai gema denyut nadinya.
Dia membuka sepatu dan membiarkan ombak membasuh kakinya. Agak jauh di depannya, ombaknya bergulung hingga memuncak lalu pecah, bergegas menuju daratan hingga menjadi tak lebih dari gelombang berdesir ketika mencapai Harry.
Dia harus pulang, pikirnya. Membeli apartemen baru. Membeli seratus apartemen, itu tidak penting. Semuanya sama saja. Pulang dan kembali pada pekerjaan Auror-nya. Menangkap pengguna sihir hitam, penjahat serakah, fanatik darah murni, remaja putus asa, orang-orang yang perlu uang cepat. Itu tidak penting. Semuanya sama saja.
Sebelum Draco, dia tahu persis apa yang dia inginkan. Mungkin itulah kenapa dia merasa sedikit marah pada Draco, pikir Harry. Seseorang tidak bisa memasuki hidupnya, mengubahnya, lalu pergi begitu saja.
Tapi di balik amarahnya ada rasa takut, pikir Harry merana. Rasanya menakutkan begitu dia menyadari seberapa besar kontrol yang Draco miliki atas hidup Harry. Hanya dengan segenggam memori dan beberapa percakapan, dia mampu mengubah sudut pandang Harry. Hanya dengan perjalanan tengah malam, dia mampu membuat Harry merasa luar biasa hidup. Hanya dengan argumen singkat dan Dissaparition cepat, dia mampu membuat Harry cemas berhari-hari.
Resepsionis penginapan akan segera tutup, pikir Harry. Itu tidak penting. Dia akan ber-Dissaparate.
Ketika bulan mencapai puncaknya, dia menghilang dengan bunyi 'pop' samar.
xxx
Dan ketika dia muncul di tengah kamar penginapannya, Draco ada di sana.
Dia tengah berdiri di balkon, menatap ke seberang cakrawala gelap dari garis pantai Cornish. Tapi dia menoleh pada Harry setelah sesaat.
"Maafkan aku," ucap Draco.
Rasanya aneh mengingat betapa dia sering merasa geram oleh kecongkakan Draco di Hogwarts, pikir Harry. Penolakan untuk meminta maaf, atau mengaku salah, atau melakukan apa saja yang menyerupai tanggung jawab moral.
Si ferret kecil itu tak akan mau minta maaf meski nyawanya dipertaruhkan, Ron pernah berkata sekali, dan Harry tertawa. Mereka setuju bahwa melihat Draco Malfoy meminta maaf akan menjadi salah satu momen kemenangan dalam hidup mereka.
Tapi tak ada sedikitpun yang terasa bagai kemenangan pada saat ini.
"Kau pergi," kata Harry. "Empat hari." Kata-kata itu berjatuhan pada udara bagai batuan berat.
"Aku tahu."
"Kau pergi. Apa kau tahu—" Harry buru-buru memotong dirinya sendiri, menyadari getaran dalam suaranya. Dia ngeri membayangkan kehilangan ketenangannya sekarang dan dia melangkah panjang-panjang ke sisi meja, membabi buta mencari kartu kunci, mencari sesuatu —apa saja— untuk fokus—
Draco melangkah menjauhi balkon, melintasi kamar dengan beberapa langkah panjang, dan menyodorkan kartu kunci Renault.
"Apa ini yang kau cari?"
Harry mengulurkan tangannya untuk mengambil kartu kunci itu, tapi sebelum dia menyadari apa yang terjadi, Draco menangkap tangannya dan tidak melepaskan.
"Seharusnya aku tidak pergi," ucap Draco.
"Seharusnya aku tidak menghinamu," gumam Harry, merasa kacau oleh intensitas suara Draco.
Draco menariknya lebih dekat, hanya sedikit, dan Harry bertanya-tanya —detak jantungnya tiba-tiba naik dan bergegas bagai gelombang ombak— apakah Draco akan menciumnya.
Tapi Draco tak melakukannya. Dia hanya tersenyum samar dan berkata, "Apakah itu permintaan maaf?"
"Ya," kata Harry, tapi sejujurnya dia tidak memperhatikan perbincangan sekarang. Dia rasa dia tak pernah berjarak sedekat ini dengan Draco, dan dia penasaran kenapa dia tak pernah menyadari bintik kebiruan bersembunyi dalam iris abu-abu Draco.
"Kalau begitu tinggal," ujar Draco, dan Harry —tatapannya turun ke mulut Draco— butuh beberapa saat untuk menangkap kata-katanya.
"Apa?" tanyanya akhirnya.
"Tinggal," ulang Draco, seraya melepaskan tangan Harry dan melangkah menjauh. Dia mengangkat kartu kuncinya. "Kau bermaksud pergi, kan?"
"Apa?" Harry tiba-tiba sadar dia tengah menatap Draco dan rupa-rupanya tidak mampu membangun kalimat koheren, wajahnya sedikit memerah. "Oh. Betul. Tidak. Maksudku, iya."
Senyum samar Draco berubah menjadi senyum terhibur. "Apa kau selalu berbicara sepintar ini saat kau capek, Potter?"
Harry menangkap alasan itu dengan kelegaan luar biasa. "Capek. Ya. Kurasa aku harus isirahat sebentar."
Draco menaruh kartu kunci di atas meja samping kasur Harry. "Sampai jumpa di pagi hari, kalau begitu," ujarnya.
"Kau mau kemana?" tanya Harry, tiba-tiba merasa ragu bercampur takut.
"Aku mau mandi," jawab Draco, seraya memungut lipatan handuk dari ujung kasur lainnya lalu menghilang ke kamar mandi.
Harry kira dia akan terjaga untuk beberapa waktu, tapi begitu dia mendaki ke atas kasur, dia mendapati dirinya terbuai oleh suara ombak, suara desis air, dan tertidur dengan segera.
xxx
Harry terbangun satu kali, sebelum fajar. Terdapat cahaya kelabu samar menyusupi jendela, memancarkan bayangan lemah dalam ruangan. Matahari baru mulai terbit, pikirnya.
Beberapa kaki darinya, di kasur lain, dia dapat melihat siluet samar Draco yang tengah tidur. Dia membelakangi Harry, meringkuk seakan berusaha menghilang, dan Harry bertanya-tanya apakah Draco pernah punya mimpi buruk tentang perang.
Harry punya, tapi begitu pula semua orang. Ron, Hermione, Ginny, Neville, semuanya. Semua yang melihat kawan dan keluarga mati di hadapan mereka. Semua yang mendengar suara Voldemort bergaung di seluruh Hogwarts, tempat yang selalu mereka anggap sebagai tempat perlindungan. Semua yang menyaksikan kastil rubuh di sekeliling mereka.
Beberapa orang senang berbicara tentang perang, beberapa lainnya tidak. Harry tidak. Ron juga tidak, tapi Hermione senang.
Ginny pernah mencoba membicarakan perang dengan Harry, tapi menyerah setelah percobaannya ditanggapi oleh kesunyian. Hal itu menjadi poin pertikaian di antara mereka untuk beberapa waktu: kau akan merasa lebih baik bila kau membicarakannya, Ginny berkata. Dan Harry membalas, dengan kalem, bahwa dia sudah merasa lebih baik. Perang sudah terjadi, dan biarkan saja yang sudah berlalu. Ya, tentu saja dia punya mimpi buruk, tapi semua orang punya mimpi buruk. Jatuh dari ketinggian, dikejar, atau mati dengan cara tidak enak, semuanya sama saja. Semua orang takut akan sesuatu.
Kau selalu takut akan kegagalan.
Mungkin Draco memimpikan semua waktu-waktu dia gagal.
Dan mungkin dia menganggapnya sebagai kegagalan —lari tiga tahun lalu— tapi dia kembali. Dan kemudian dia lari lagi setelah argumen mereka— tapi dia kembali. Empat hari, tapi dia kembali dan meminta maaf.
Dan itu adalah kebalikan dari kegagalan.
xxx
Beberapa saat setelah matahari terbit, mulai turun hujan. Bahkan kehangatan musim panas tak mampu menghalangi awan rendah yang bergulir di sepanjang cakwarala kelabu.
Harry pergi untuk lari pagi, kebiasaan sejak latihan Auror. Dia kembali, dihiasi lumpur dan keringat, lalu mandi air panas. Draco masih tidur, pikirnya, dan dia pun pergi ke lantai bawah untuk sarapan.
Tipikal setelah Draco kembali, malah turun hujan. Padahal ketika dia berjalan muram di sepanjang tebing dan memikirkan Draco, cuacanya bagus sekali. Dan sekarang dia akhirnya bahagia, hujan turun dengan lebat.
Saat dia kembali ke kamar, Draco sudah ganti pakaian dan tengah menatap ke luar jendela, menatap tetesan hujan menimpa satu sama lain di atas panel kaca. Harry teringat sangat kuat pada hari itu di apartemen, ketika Draco pertama kali bicara padanya.
Pemandangannya bagus, tapi ini bukan dirimu, kan, Potter? Ini bukan apa-apa. Hanya kotak beton di atas langit. Kau perlu sesuatu yang lebih dekat dengan tanah. Sesuatu yang nyata.
Mungkin hujan tidak begitu buruk, pikir Harry. Hujan mengingatkannya pada hari-hari dan pagi berembun di musim dingin kelabu. Pada malam-malam di mana dia mengemudi dan terus mengemudi, dengan hantu Draco di sampingnya.
Kita bisa pergi ke mana saja.
"Kau tidak membawakan teh untukku," ujar Draco, menyadarkan Harry dari lamunannya.
"Oh, harusnya aku bawakan, begitu?" Harry geli.
Draco menatapnya tajam. "Jangan pakai susu, gulanya satu."
Harry menghiburnya. "Baiklah. Ada yang lain?"
Draco tampak kaget. "Apa?"
"Ada yang lain?" ulang Harry, tersenyum. Draco memberinya tatapan sebal.
"Kupikir kau bakal mengatakan sesuatu soal Malfoy manja tukang perintah," ujarnya. "Kau tidak seharusnya setuju lalu tersenyum."
"Oh, maafkan aku. Aku akan berusaha untuk lebih mudah diprediksi," goda Harry, menolak untuk ditarik ke dalam sebuah argumen. Inilah yang terjadi terakhir kali. Mereka berdua sama-sama terlalu menganggap serius segalanya dan bersikap defensif tanpa alasan. "Biar kutebak, ini bagian di mana aku kabur dan kau ngambek berjam-jam?"
"Aku tidak ngambek. Aku merenungkan hidupku," ujar Draco angkuh.
"Dan aku tidak kabur, aku mundur secara strategis," balas Harry.
Mata Draco berkelip pergi, tapi Harry dapat melihat senyum bersembunyi di sudut mulutnya.
Aneh, pikir Harry, bagaimana dia dan Ron biasa berpikir bahwa mendengar Draco meminta maaf akan menjadi momen kemenangan mereka.
Tapi Harry merasa paling menang di sini dan saat ini, melihat Draco tersenyum.
xxx
Draco makin baikan.
Rasanya aneh bila dipikirkan, karena Draco bahkan tidak sakit, pikir Harry. Tak pernah ada gejala-gejala, tak pernah ada penyakit. Tapi entah bagaimana, dia makin baikan.
Dilihat dari cara dia menatap hujan, dan memberitahu Harry bahwa tiap tetesan hujan memiliki diameter berbeda. Atau dari cara dia memutuskan dia ingin sebotol wine bagus dan mengemudi setengah jam ke Helston karena dia bilang semua pub lokal hanya punya 'pemutih encer'. Dan kemudian dia tetap berubah pikiran, dan memilih sebotol Glenmoragie berumur dua-puluh-lima-tahun.
"Berapa harganya itu?" tanya Harry ketika mereka berkendara pulang ke Landewednack.
"Harga yang persis sama," jawab Draco, "dengan cincin mantan pertunanganmu."
Ya, pikir Harry, Draco makin baikan.
xxx
Petang di hari yang sama, Draco tengah berbaring pada salah satu kasur, membaca buku usang berjudul Flowers For Algernon (Bunga Untuk Algernon)Harry memiringkan kepala dan membaca ikhtisar cerita pada sampulnya.
"Kelihatannya itu cerita yang bikin depresi," komentarnya. "Dan membosankan."
"Terima kasih, Potter, atas kritik sastranya. Kenapa tidak kau lanjutkan membaca artikel 'Sepuluh Pemain Wanita Terbaik' di majalah Quidditch mingguan?"
"Aku juga suka membaca, kau tahu."
"Itu bohong. Majalah tidak dihitung."
"Yah—"
"Atau atlas jalan."
"Baiklah, tapi—"
"Atau buku orang lain yang tertinggal dan kau pungut, kaubaca beberapa paragraf, lalu kau taruh lagi."
Harry mulai tertawa. Draco menurunkan bukunya lalu berguling telentang, menatap pada Harry.
"Apanya yang lucu?" tuntutnya.
Harry menggeleng, masih tertawa. "Rasanya seolah kau mengenalku dengan baik."
"Aku tahu banyak hal tentangmu." Draco menyeringai dan jantung Harry berhenti berdetak sedetik. Ini… sudut pandang yang menarik, pikirnya —dia berdiri di samping kasur, Draco berbaring di atas kasur dan menyeringai padanya— dan dia terperangkap antara kekecewaan dan rasa lega ketika Draco duduk dan mengambil bukunya, menaruhnya di meja samping.
"Benarkah?" tanya Harry tak jelas, masih sedikit linglung.
"Aku tahu kau senang berdiri di balkon, sambil minum wiski," kata Draco, seraya mengambil botol Glenmorangie di samping buku. "Mau?"
Harry menatap Draco, semua kegelian terlupakan. "Tapi—kau kan hanya bisa melihatku saat aku dalam memorimu, atau saat memeriksa barang-barang milikmu…"
"Kubilang, dekat barang-barangku. Dan kalau aku mengingat dengan benar, kau biasa membawa kartu SIM-ku kemana-mana kadang-kadang. Dan kunci mobilku sering ada di dalam sakumu."
Semua waktu-waktu itu, berdiri di balkon dan menatap dunia, ternyata Draco ada di sana bersamanya…
"Apa lagi yang kau lihat, kalau begitu?" tuntut Harry.
"Tak banyak, sungguh. Kau cukup membosankan. Sering sekali berdiri dan melamun."
"Sama denganmu," balas Harry.
"Kurasa kita memang punya kesamaan, kalau begitu." Draco mengangkat sebelah bahunya santai. "Ambilkan beberapa gelas."
"Kau pikir aku apa? Peri rumah?"
"Aku tidak mau pergi. Kemarin, saat aku tanya resepsionis apa aku bisa pesan kamar, dia memberiku kuliah tiga puluh menit tentang jalan setapak lokal."
"Kau tahu, orang normal mungkin akan menerimanya dengan senang hati. Memang begitulah penduduk lokal, senang berbincang-bincang ramah."
"Kalau begitu sana pergi, Potter, dan lakukan perbincangan ramah dengan penduduk lokal yang menawan."
Harry mengakui kekalahan lalu pergi. Dia muncul lagi empat puluh menit kemudian. Draco tersenyum.
"Diam," kata Harry.
"Aku tidak mengatakan apa-apa."
"Kukira aku bakal terjebak selamanya. Dia terus-terusan bicara soal tanaman lokal di sepanjang jalur setapak."
"Benarkah? Sungguh mempesona." Draco mengambil gelas kaca dari tangan Harry, jari-jarinya mengusap sekilas jari-jari Harry.
"Ya, mempesona," ujar Harry datar, menatap Draco menaruh gelasnya lalu membuka botol Glenmorangie.
"Kau tidak suka pakai campuran apa-apa, kalau aku tak salah ingat," kata Draco. "Punyaku mau pakai es batu." Dia mengetukkan tongkat sihirnya pada segelas air di meja samping, dan air di dalamnya seketika berubah menjadi balok-balok es.
"Kau tahu kan bahwa mendinginkan wiski bisa mengurangi rasa dan aromanya?" ujar Harry basa-basi.
Draco berhenti di tengah mengisi gelas Harry dan menatapnya.
"Apa?" tanya Harry.
"Terkadang," jawab Draco, "Kau bisa jadi cukup… mengejutkan."
Harry menyembunyikan senyum ketika Draco menuangkan dua gelas wiski tanpa es batu.
xxx
Mereka berdiri di balkon, meski awan memar menggantung di sepanjang cakrawala. Matahari terbenam lebih awal, tenggelam di bawah bobot hujan dan langit kelabu. Harry bersandar pada pegangan balkon, gelas di sebelah tangan, dan menatap putaran gelombang di lautan.
"Badai akan datang," komentarnya, seraya menyisip Glenmorangie. Dia menunggu balasan pedas dari Draco —yang benar, Potter? Sungguh jelinya dirimu— tapi Draco diam saja. Harry menatapnya. Draco cocok dengan badai. Rupa pucat dan rambut pirang-putihnya tampak hampir menyala di bawah awan kelabu gelap.
"Aku suka badai," ujar Draco akhirnya. Dia menunduk menatap gelas di tangan, lalu menghabiskan sisa isinya.
"Draco," kata Harry pelan, mengenali gejala-gejala. Cara Draco bicara dengan abstrak, cara dia menatap benda lekat-lekat.
"Badai di musim panas selalu terasa seperti pulang ke rumah."
"Draco," ulang Harry. "Ini nyata."
Draco menatap gelas kosongnya. "Aku tahu."
"Benarkah?"
Jeda, lalu Draco meraih dan menggenggam tangan Harry. "Ya," jawabnya.
Aturan mereka. Saat kau terjebak dalam waktu, kita tidak bisa bersentuhan, kan? Jadi ini pasti nyata. Sebuah strategi simpel. Diperlukan kontak, demi realita. Hanya itu.
Harry berjalan di atas garis berbahaya dan dia tahu itu.
Dia mengeratkan genggamannya pada tangan Draco ketika mereka berdua berdiri bersama dan menyaksikan badai datang bergulung.
.
tbc~ 

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart