Skip to main content

Running on Air © eleventy7 chapt 4

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
.
CHAPTER 4
.
Draco memiliki barang yang sangat sedikit, pikir Harry satu jam kemudian. Itu mengejutkan; dia kira Draco bakal memiliki sejumlah barang-barang mahal tapi tak berguna.
Tapi tiga kotak kardus pertama berisi pakaian yang dilipat rapi. Jubah-jubah serta mantel kualitas bagus, tapi tidak mewah atau berlebihan. Terdapat sedikit koleksi dasi untuk pakaian formal, dan ada tiga kotak kecil yang awalnya Harry kira kotak cincin. Tapi bukan; masing-masing berisi sepasang cufflink. Kardus berikutnya berisi dokumen-dokumen: file pajak dan semacamnya. Keuangan Draco dalam keadaan baik, Harry lihat setelah memindai singkat dokumen-dokumen. Tak ada investasi jelas, tapi perbelanjaannya tampak cukup terbatas.
Kardus keempat berisi barang-barang pribadi, benda-benda yang hanya bisa Harry tebak sejarahnya. Satu set foto pedesaan yang indah, beberapa buku (buku petunjuk mobil yang tampak sering dibaca dan satu set buku pelajaran Hogwarts), buku tulis, origami bunga mawar, sebotol wiski tua, dan dasi sekolah. Ketika Harry memungut dasi itu, dasinya terurai dan lencana prefek terlempar ke lantai hingga berputar.
Tapi di bawah dasi, dia menemukan kotak perhiasan kecil berwarna putih. Cufflink lagikah? Dia membuka kotaknya.
Cincin pernikahan Draco.
Cincin platina sederhana. Penampilannya tidak mahal, pikir Harry. Dia membolak-balik cincinnya, mencari ukiran, tapi tak ada. Cincinnya kelihatan tak pernah dipakai.
Harry membereskan kardus dan pergi mencari Narcissa.
xxx
"Tidak mungkin barangnya hanya sesedikit ini."
"Aku jamin padamu," ujar Narcissa, sembari menaruh jarum jahitnya ke samping, "itu sudah semuanya."
Harry bolak-baik dalam ruangan yang terasa sangat familiar. Lalu Harry menyadari dengan kaget bahwa ini adalah ruangan yang sama yang berada dalam memori terakhir Narcissa akan Draco. Narcissa duduk di samping perapian. Pada dinding di seberang Harry terpasang potret keluarga yang Draco tatap begitu lama.
"Hanya ada pakaian, beberapa kertas kerja, buku-buku dan sedikit barang pribadi. Anda mau bilang bahwa hanya itu yang ada dalam hidup Draco?"
"Draco menjadi sangat…" Narcissa berhenti sejenak, lalu memungut jarum jahitnya lagi. "Perang mengubah dirinya."
"Perang mengubah semua orang." Suara Harry terdengar menusuk, dan dia bertanya-tanya kenapa dia merasa jengkel oleh kata-kata Narcissa.
"Bagaimanapun juga," kata Narcissa, sembari menarik benang merah yang panjang melalui lubang jarum, "aku jamin padamu bahwa semua barang-barang milik Draco sudah berada dalam kotak-kotak itu."
"Di mana sisanya? Pasti ada barang-barang lainnya. Anda menemukan buku teks-nya semasa di Hogwarts dan juga dasi sekolah — bagaimana dengan set kualinya, kalau begitu? Atau jubah seragamnya. Atau perlengkapan Quidditch-nya — jelas-jelas dia pernah memiliki semua itu." Draco selalu pamer soal kemampuan terbangnya, pikir Harry.
Narcissa menggelengkan kepala. "Aku tak tahu kenapa dia menyimpan buku tulisnya, tapi dia telah menjual atau membuang semua benda lain dari Hogwarts."
"Setidaknya sapu terbangnya pasti masih ada."
Narcissa mengangguk. "Aku berasumsi dia sudah menjual sapu terbangnya. Astoria dan aku mengumpulkan semua barang-barang miliknya ketika aku sudah mendapatkan hak untuk menjual rumahnya. Aku jamin padamu, kami mengumpulkan semuanya."
Harry hening sejenak.
"Apa Anda keberatan bila saya membawa kardus-kardusnya?"
Narcissa tak berkata apa-apa untuk waktu yang lama, sembari melanjutkan jahitan. "Aku tidak ingin barang-barangnya hilang atau rusak," dia berkata akhirnya.
"Saya akan menyimpannya di tempat arsip barang bukti."
"Siapa saja bisa melihatnya di sana."
"Di kantor saya, kalau begitu."
Harry melihat Narcissa masih ragu-ragu. Dia bertanya-tanya apakah pengelola kasus sebelumnya pernah 'menghilangkan' barangnya. Harry harap tatapan yang dia berikan pada Narcissa sekarang meyakinkan.
"Saya akan menyimpannya di rumah saya, kalau begitu, dan menaruh mantra Dis-ilusi di atasnya."
Narcissa tampak menimang-nimang. "Aku menerima kondisi itu," ujarnya, lalu berdiri. "kau ingin melihat mobilnya?"
Iya, dia ingin. Narcissa mengantarnya ke pintu samping—pintu lama khusus pelayan, tebak Harry—lalu menjelaskan arahnya pada Harry.
Harry pergi ke kebun, mengikuti jalan yang langsung menuju pekarangan rapi dan pohon dedalu dengan bangku di bawahnya. Dia bisa melihat kandangnya, diapit oleh dua taman bunga yang terawat baik. Ketika dia membuka kunci dan melangkah ke dalam, dia masih dapat mencium bau peralatan menunggang kuda. Kail di dinding—tak diragukan lagi dulunya dipakai untuk menahan paku—sekarang dipakai untuk menggantung gunting tanaman, pemotong pagar tanaman, mesin pemotong rumput, dan sekop. Harry berhasil berdesakan melewati dua karung campuran tanah dan pupuk, lalu ke pintu sempit menuju kandang utama.
Kandangnya sudah tidak ada, tapi bau jerami kering masih tersisa di sana. Di sana ada peralatan berkebun juga —sapu dan pengumpul daun bersandar di dinding—tapi sebagian besar ruangan terpakai oleh mobil, yang tersembunyi di bawah kain terpal besar. Harry menyingkap terpal, menyebabkan debu dan kotoran terbang ke udara. Dia mendeteksi adanya mantra pencegahan pada kain itu. Mungkin untuk mencegah tikus dan hama lainnya mendekati mobil dan mengunyah kabel, pikir Harry.
Kondisi mobilnya sangat bagus. Renault Mégane keluaran tahun 2002, Harry ingat dari buku petunjuk mobil yang dia temukan di kardus. Mobil yang bagus, tapi tidak mencolok atau terlihat sangat mewah. Tak akan terlihat janggal bila diparkir di parkiran London Muggle, dan mungkin memang itulah tujuan Draco. Dia menyentuh kap mesin, merasakan dinginnya logam di bawah kulit, dipoles halus. Setelah beberapa saat, dia maju dan menarik gagang pintu pengemudi.
Terkunci.
"Alohomora." Bila Draco melindungi mobilnya dengan sihir, mantranya tak akan mempan.
Tapi ternyata berhasil. Ketika Harry mencobanya lagi, kali ini pintunya terbuka.
Ini mobil yang sama dengan yang ada dalam memori Astoria, pikirnya. Bagian dalamnya berwarna abu pucat, berbanding terbalik dengan luarnya yang sewarna arang, dan sama bersihnya. Pada mulanya, Harry kira seseorang meng-Scourgify mobilnya, tapi lalu dia melihat uang koin Muggle dan beberapa struk di tengah kompartemen.
Dia diam sejenak, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Rasanya aneh, duduk di kursi pengemudi mobil milik Draco Malfoy. Dia mengerling spion-tengah, setengah berharap melihat bayangan dirinya sendiri duduk di kursi belakang.
Apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, pergi kemanapun orang lain membawamu.
Harry menggelengkan kepala, seolah berusaha mengusir pemikirannya. Lalu dia mengembalikan perhatiannya pada struk-struk. Salah satunya tertanggal 09/09/2003 —tanggal menghilangnya Draco — dan menunjukkan bahwa dia membeli bensin seharga £20. Harry mengecek stempel waktu: 10:26am, kira-kira lima jam sebelum dia tiba di Diagon Alley.
Struk kedua tertanggal 05/09/2003, jam 11.29pm, dan menunjukkan bahwa Draco membeli bensin lagi seharga £20 di Truro, Cornwall. Jaraknya cukup jauh dari Devon Timur. Apa yang Draco lakukan di sana, begitu larut malam? Mata Harry berkelip pada spion-tengah lagi, seolah bakal menemukan jawaban tersembunyi di sana.
Dia mendekati glovebox lalu membukanya. Di dalamnya ada surat-surat kepemilikan: Draco membeli mobil ini dari dealer di Essex pada tanggal 31 Juli 2002. Harry tersenyum melihat tanggalnya lalu menaruh surat ke samping. Di dalamnya juga ada buku berukuran besar yang sulit Harry keluarkan dari dalam glovebox. Atlas Jalan Britania Raya 2003, dia lihat. Dia mengesampingkannya lalu melongok ke dalam glovebox. Masih ada pena bulu bertinta otomatis, tapi tak ada benda lainnya.
Harry mengerutkan kening dan beralih ke buku atlas jalan, membukanya. Sebuah kartu plastik terjatuh dari dalamnya.
SIM milik Draco.
Harry mengamati fotonya. Bila dia melihat lebih dekat, dia bisa melihat senyum samar di wajah Draco. Dia tampak lebih muda dari seharusnya, pikir Harry. Atau mungkin karena ini pertama kalinya dia melihat Draco tersenyum sejak dia mulai mengerjakan kasus ini.
SIM-nya tidak mengandung informasi baru bagi Harry. Hanya ada nama Draco, tanggal lahir, alamat. Lisensinya diberikan tanggal 20 Juni 2002, dan berakhir tahun 2012.
Masih berlaku.
Harry menyelipkan kartu SIM itu ke dalam saku, meski dia tak tahu kenapa. Kartu itu tampaknya tak akan memberinya informasi baru tak peduli seberapa lama dia mengamatinya. Dia mengembalikan sisa barang-barang ke dalam glovebox, lalu bersandar ke kursi dan menerawang pada layar datar dan dinding kandang yang terbuat dari kayu.
Apakah mobilnya akan berfungsi bila ia coba?
Harry menurunkan pandangan pada kemudi. Ada dua bekas pudar di atasnya, pastilah Draco sering mengistirahatkan tangannya di sana. Harry mengangkat tangan dan menempatkannya di atas bekas yang sama.
"Apa kau perlu kuncinya?"
Harry melonjak dan mengumpat keras-keras, lalu merona ketika dia menyadari Narcissa tengah berdiri di dekat kursi pengemudi.
"Saya tak melihat Anda masuk," ujarnya, bertanya-tanya apakah dia harus minta maaf karena telah mengumpat. Akan tetapi, Narcissa tidak tampak tersinggung. Dia sedang menatap Harry lekat-lekat.
"Aneh," ujarnya, "melihat seseorang duduk di dalamnya. Apa kau bisa mengemudi?"
"Tidak," Harry mengakui. "Maksud saya, dengan adanya jaringan Floo, portkey, Apparating, dan semacamnya, rasanya tidak perlu untuk mendapatkan lisensi mengemudi."
Narcissa mengangguk. "Aku tak pernah mengerti kenapa Draco repot-repot dengan kendaraan Muggle yang menggelikan ini." Dia mengulurkan plastik berbentuk persegi panjang dan Harry menatapnya tak mengerti. "Ini kuncinya," ujar Narcissa sedikit jengkel.
Harry menerimanya, membolak-baliknya di telapak tangan. "Ini… Ini bukan kunci mobil. Harusnya ada kunci perak kecil, mungkin dengan pegangan warna hitam di ujungnya dan tombol atau semacamnya."
"Aku jamin padamu, ini betul kuncinya," ujar Narcissa, suaranya sedikit dingin. "Aku tak pernah berasumsi bahwa kau tidak lebih mengenal dunia Muggle daripada aku."
"Kelihatannya tidak seperti kunci mobil," kata Harry membela diri. Mungkin ini teknologi baru? Harry harap dia mengikuti perkembangan dunia Muggle. "Maksud saya, bagaimana caranya membuka mobil memakai benda ini?"
"Draco hanya langsung membuka pintunya," ujar Narcissa. "Asalkan kuncinya ada di dalam saku atau di tangannya, pintunya akan terbuka."
Harry mencari-cari di sekitar kemudi, mencari starter. Ada tombol bertuliskan 'Start', lalu dia memencetnya ragu-ragu.
Tak ada yang terjadi.
"Mesinnya perlu diganti," kata Harry meyakinkan, senang bahwa setidaknya dia tahu sesuatu. Dia mencoba mantra Reparo tapi tidak berhasil. "Saya harus mencari mantra otomotif," katanya, sembari keluar dari dalam mobil dan menutup pintu.
Narcissa menutupi mobil dengan kain terpal lagi, dan Harry menyaksikan garis-garis halus itu menghilang di bawah lipatan kain berdebu.
xxx
Ketika dia pulang ke apartemen malam itu, Ginny mengerutkan hidung setelah memeluknya.
"Baumu aneh. Seperti…jerami dan kulit binatang."
Harry tertawa. "Ceritanya panjang. Aku habis memasuki kandang kuda."
"Kasus terbarumu adalah kuda yang hilang, kalau begitu?" Ginny mengangguk melihat tumpukan kardus yang Harry turunkan di depan pintu. "Oh, aku bermaksud memberitahumu—kami akan bermain melawan Stratford Skylarks hari Sabtu nanti, akan ada pencari bakat Quidditch Internasional di sana!"
"Itu berita brilian, Ginny," kata Harry hangat. Ginny sudah lama memimpikan menjadi anggota Tim Nasional Inggris.
"Aku tahu, tapi seluruh anggota tim sangat gugup soal ini. Gwen memanggil kami untuk rapat spesial malam ini, dan kami akan latihan besok sepanjang hari. Maafkan aku, aku tahu kita seharusnya pergi ke tempat Ron dan Hermione untuk makan malam besok, tapi—"
"Tak apa-apa. Aku tahu betapa pentingnya ini bagimu."
"Terima kasih karena telah pengertian," kata Ginny, sambil menciumnya singkat lalu menyambar buku Strategi Latihan Quidditch-nya yang sering dibaca. "Rapatnya akan dimulai sekitar satu jam lagi."
Sepertinya tidak. Kapten Tim, Gwen, bisa menjadi sangat terlalu antusias dan membahas sampai detail terkecil; dia mengingatkan Harry pada Oliver Wood.
"Sampai jumpa lagi," kata Harry, dan Ginny mengangguk lalu melangkah keluar pintu, ber-Dissaparate beberapa saat kemudian.
Harry duduk di bangku, tapi apartemen terasa terlalu hening.
Jadilah dia pergi ke balkon, melihat kereta datang dan pergi, dan mendengarkan kebisingan kota. Bila dia membuka kacamata dan sedikit memiringkan kepala, dia bisa membayangkan bahwa Sungai Thames adalah danau Hogwarts, berkilau di bawah cahaya senja, dan di seberangnya dia hampir bisa melihat hijaunya lapangan Quidditch, bau rumput yang baru dipotong…dan bila dia menoleh ke balik bahu, dia akan melihat menara-menara Hogwarts yang menjulang ke langit biru…
Dia menoleh ke belakang.
Dinding apartemen putih menyapa pandangannya.
Kalau begitu jangan lihat ke belakang.
Dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan kartu SIM, memiringkannya di bawah cahaya redup dari dalam apartemen. Tapi wajah Draco selalu sama, terkunci dalam momen empat tahun lalu.
Di jalan raya di bawah sana, seseorang bersiul Blow the Wind Southerly lagi.
xxx
Hari berikutnya, Harry menerima burung hantu dari Astoria yang memintanya untuk berkunjung di siang hari. Dia tiba sekitar pukul dua siang, sembari bertanya-tanya apakah Astoria akan memberinya lebih banyak memori.
Jawabannya iya.
Akan tetapi, Astoria mengajaknya ke dapur terlebih dahulu dan minum teh. Kali ini, suaminya sedang ada di rumah. Dia duduk di kursi meja makan, Sophie duduk di pangkuannya sambil berusaha membangun rumah dari balok-balok.
"Matt," kata Astoria, "ini Harry Potter. Dia tengah berusaha menemukan Draco."
Matthew mendongak, masih menertawakan sesuatu yang Sophie lakukan. Dia lelaki berbahu lebar, dengan rambut kastanye tebal dan mata coklat berkerut oleh tawa. Seseorang yang mudah tersenyum, pikir Harry, dan sangat cocok dengan kepribadian Astoria.
Dia menunggu Matthew untuk melongo padanya, atau setidaknya menatap bekas luka di dahinya. Tapi wajah Matthew tidak menunjukkan tanda-tanda mengenali Harry.
"Halo," katanya riang, sambil mengulurkan sebelah tangan. Harry menjabat tangannya. "Senang bertemu denganmu. Apa kau menemukan banyak petunjuk untuk menemukan mantan suami Astoria yang misterius itu?"
"Dia tidak misterius," kata Astoria jengkel.
"Kau bilang dia tinggal di Manor. Aku membayangkan kalian berdua bermalasan sepanjang hari, makan buah anggur dari piring emas, dan menertawakan kami para petani."
Astoria tertawa dan mendorongnya main-main. "Kau pikir kau lucu, ya?"
"Sedikit. Hey, Harry, apa kau penyihir?"
Harry menatapnya, tidak yakin apa dia bercanda. "Ya?" jawabnya.
"Berhenti menanyai Harry. Dia kemari untuk membicarakan kasus," kata Astoria, dan Matthew menggedikkan bahu.
"Baiklah. Lagipula ini sudah waktunya bagi seseorang untuk tidur siang." Lalu dia berdiri, dengan mudah mengangkat Sophie yang terkikik ke sebelah bahu, lalu berjalan keluar ruangan. Harry menunggu sebentar, mendengarkan kekehan Sophie menjauh, lalu menoleh untuk menatap Astoria.
"Kau menikah dengan Muggle?"
"Kau terkejut?" Astoria menyalakan ketel.
"Yah, sejujurnya—iya. Kau bilang kau darah murni, dan…maksudku, bukannya aku keberatan atau apa, tentu saja tidak, tapi—"
Astoria kasihan padanya. "Aku mengerti. Kita semua memiliki asumsi masing-masing, bukan?"
Dia mengamati Astoria menuangkan teh. "Aku sudah melihat memori-memorinya."
"Lalu?" Astoria berjalan mendekat, menaruh mug di depan Harry.
"Aku tak tahu." Harry mengunyah bibir, berpikir. "Mobil Draco…apa dia sering mengemudi?"
"Kapan saja dia suka, iya. Kadang-kadang dia hanya masuk ke dalam mobil lalu mengemudi dan terus mengemudi."
"Dia pergi ke Truro seminggu sebelum dia menghilang."
"Ya." Astoria menyesap teh. "Dia bilang dia ingin melihat di mana tanah Britain berakhir."
"Atau dimulai."
Astoria mendongak padanya, keterkejutan terpeta di wajah. "Atau dimulai," ujarnya perlahan. "Dia juga mengatakan itu. Atau dimulai."
"Draco menyukai lingkaran."
Astoria mengamati Harry untuk waktu yang lama. "Aku bertemu Matthew tahun 2002," ujarnya. "Aku sedang berada di toko buku di Exeter, dan kami meraih buku yang sama pada saat yang sama." Dia berpaling, senyuman kecil terpasang di wajah. "Kami minum kopi bersama-sama dan di akhir minggu, aku benar-benar jatuh cinta."
"Tapi…kau menikah dengan Draco tahun 2002." Harry sedikit bingung oleh perubahan topik yang tiba-tiba.
Astoria mengangguk. "Orangtuaku…yah, mereka memang bukan pendukung Voldemort, tapi mereka masih bergaya lama. Bila aku menikah dengan Muggle, aku bakal menghancurkan hati ayahku. Ibuku mungkin bisa lebih pengertian, tapi ayahku…"
Harry menyesap teh lagi, ingin menyela dan bertanya, tapi sadar bahwa dia harus membiarkan Astoria menceritakan kisahnya.
"Orangtuaku mati-matian mencari pernikahan yang bagus untukku. Mereka mempertemukan aku dengan keluarga Malfoy. Draco sangat sopan, tapi aku melihat sesuatu dalam dirinya yang juga bagian dari diriku. Kami sama-sama memainkan peran yang ditugaskan pada kami, memakai topeng yang diberikan orang lain. Setelah kami berteman dan lalu bersahabat, aku memberi tahu Draco bahwa aku tak akan pernah bisa benar-benar mencintainya dan aku bermaksud menikah hanya untuk menyenangkan orangtuaku." Astoria berhenti sejenak untuk menyesap teh. Ketika dia menaruh mugnya kembali, dia mulai menelusuri corak di meja. Menggambar lingkaran, Harry menyadari, dan bertanya-tanya apakah Astoria menyadari itu.
"Lalu?" tanya Harry. Astoria melirik padanya.
"Lalu Draco mengatakan hal yang serupa."
Harry menunggu, tapi Astoria tidak menjelaskan dan lagipula Harry mengerti maksudnya.
"Aku berasumsi bahwa ini hanya antara kita," ujar Astoria setelah beberapa saat.
Harry mengangguk lalu mengubah topik. "Kotak-kotak kardus yang berada di manor…apa benar itu semua barang milik Draco?"
"Ya."
"Hanya itu saja dan juga mobilnya?"
Astoria menegak, tampak penuh perhatian. "Kau sudah lihat mobilnya? Oh, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat benda itu. Aku hampir merindukannya. Hampir."
Harry ragu-ragu. "Membuatku ingin belajar mengemudi."
Astoria tersenyum. "Aku punya memori lain untukmu. Aku tak yakin memori mana yang harus kupilih, tapi kurasa ini memori yang tepat." Dia mencari-cari ke dalam kantung sebentar, lalu mengulurkan sebuah botol padanya. "Jagalah dengan baik."
"Pasti."
Harry pamit, benaknya bergejolak bagai gelombang angin.
xxx
Dia ingin langsung melihat memorinya, tapi dia harus mengunjungi Ron dan Hermione untuk makan malam. Dia langsung pulang ke apartemen dan menyisir rambut sebelum mengambil Floo langsung ke tempat Ron dan Hermione.
Dia tiba tepat di tengah percekcokan. Dia berjalan ke dapur, dimana tercium wangi makanan enak dan terdengar suara-suara marah.
"Aku sudah bertanya langsung dan dia bilang tidak—"
"Oh, begitukah caramu menangani masalah ini? Hanya menghampirinya dan bilang—aku membayangkan mulutmu penuh dengan sandwich—'ada masalah dengan Ginny, kalau begitu'?"
"Mulutku tidak penuh sandwich," ujar Ron membela diri ketika Harry masuk ke dapur. Ron menatapnya; lalu pada Hermione, kembali ke Harry, lalu cepat-cepat berpaling.
"Oh," kata Hermione. "Halo, Harry."
"Kau pikir aku dan Ginny sedang ada masalah?" tanya Harry perlahan. Hermione terbatuk.
"Tidak, tentu saja tidak." Hermione tampak ragu-ragu. "Karena memang tidak, kan?"
"Tidak!"
"Ron bilang akhir-akhir ini kau sering tinggal di kantor sampai larut."
"Aku tidak bilang begitu!" sanggah Ron cepat-cepat. "Aku bilang…dia…tinggal sampai hebat akhir-akhir ini, dan kau hanya salah dengar."
"Tinggal sampai hebat?" Hermione mengangkat alis.
"Ya, itu bukan sanggahan yang bagus, Ron," gumam Harry.
"Lagipula, itu memang betul, kan?" ujar Ron tak tahu malu. "Ginny betul-betul sibuk, fokus pada Quidditch akhir-akhir ini…"
"Karena itu memang pekerjaan dia," kata Harry. "Dan aku juga sibuk dengan pekerjaanku. Hanya itu."
"Lihat? Tak ada masalah," kata Ron ceria, tapi Hermione melotot padanya.
"Baiklah," kata Hermione, kembali menatap Harry, "tapi aku punya satu pertanyaan terakhir untukmu, Harry. Kapan terakhir kali kau bicara dengan Ginny—"
Harry tertawa. "Kami tidak sesibuk itu. Kami masih saling bicara. Kemarin malam, Ginny bilang padaku bahwa dia mau pergi rapat."
"Aku belum menyelesaikan pertanyaanku," ujar Hermione, matanya menyipit. "Kapan terakhir kali kau bicara dengan Ginny…tentang hal di luar pekerjaan?"
Harry menganga padanya. "Aku—apa? Yah, sering, tentu saja. Pertanyaan macam apa itu? Maksudku—baru tadi pagi, dia…dia memintaku untuk membawakan susu sekalian pulang… well, bukan bicara sih, dia meninggalkan pesan di kulkas karena dia pulang kerja larut tadi malam dan sangat kelelahan dan…dan kemarin! Kemarin—atau mungkin kemarinnya lagi—dia bertanya apa aku bisa memperjanjang langganan majalah Quidditch Mingguan untuknya…"
Hermione menatapnya, matanya masih menyipit dan ekspresinya tidak berubah. Ron menggeleng-geleng dan memberikan ekspresi kasihan pada Harry.
"Well, sudah jelas," kata Ron berat, sembari menjatuhkan diri ke kursi makan terdekat. "Kau sedang ada masalah dengan Ginny, dan Hermione benar lagi."
"Bisakah kau berhenti berkata bahwa aku ada masalah? Aku tidak punya masalah! Segalanya baik-baik saja! Mungkin kami memang tidak bicara sesering yang seharusnya—"
"Atau sama sekali," ujar Ron membantu, dan Harry melotot padanya.
"Kau di pihak siapa sih?" tanya Harry tak percaya.
"Tak ada pihak. Terima saja kekalahanmu dengan hormat." Dia meneguk butterbeer.
"Aku tidak—Ginny dan aku baik –baik saja, dan—minggu ini, aku akan mengajaknya ke tempat bagus, makan malam di restoran bagus, dan kami akan berbincang mengenai segala hal."
"Oke," kata Ron, nada suaranya mengimplikasikan seolah Harry meracau soal Wrackspurt dan Gnargles. "Silakan kau lakukan itu."
"Ya," kata Hermione, "kau lakukan itu. Dan nanti ceritakan pada kami segalanya."
"Pasti!"
"Baiklah," ujar Hermione singkat. "Bagus." Dia melangkah ke dapur dan mulai mengaduk wadah di atas kompor. Ron mengambilkan butterbeer untuk Harry dan menaruhnya di atas meja.
"Kau kan bisa bersikap lebih suportif," gumam Harry, sembari duduk di samping Ron dan membuka tutup butterbeer. "Aku kan teman terlamamu."
"Yeah, well," ujar Ron, sambil mengerling Hermione dan menurunkan suaranya, "persahabatan bisa memberikan banyak hal, tapi itu tak bisa memberimu jatah."
Harry tersedak butterbeer.
xxx
Setelah dia pamit pada Ron dan Hermione lalu kembali ke apartemen, barulah dia mengingat apa yang mereka katakan.
Dia menelusurkan sebelah tangannya pada konter dapur. Rapi dan bersih, seperti biasa. Ada mangkuk buah di ujung konter, meski tidak berisi buah-buahan. Hanya beberapa struk dan sedikit knuts dan sickle.
Dia menatap ke seberang ruangan, pada meja makan. Ada pena bulu dan botol tinta di sudut, ujung mejanya mulai berdebu sejak terakhir kali di-Scourgify. Dinding putih berkilau, tak tersentuh oleh lukisan ataupun foto.
Bila Harry menghilang, siapa yang akan mengumpulkan barang-barang miliknya, dan apa yang akan mereka pikirkan? Dia tak punya apapun di apartemen ini. Kebanyakan barang miliknya disimpan di kotak besi Gringotts. Hanya untuk sementara, dia pernah berkata, tapi sudah tiga tahun berlalu sejak dia melamar Ginny. Dan entah bagaimana dia tak pernah sempat untuk berbenah.
Atau mungkin diam-diam dia berharap bahwa apartemen ini hanya untuk sementara. Suatu tempat untuk beristirahat di perjalanan, tapi bukan tujuan akhir.
Cahaya hangat memancar dari sudut, dimana kamar tidur berada. Ginny ada di sana, tengah membaca majalah Quidditch Mingguan.
Dia melangkah ke sudut dan tersenyum padanya. Ginny sedang duduk di kasur, membaca majalah Quidditch dengan tekun, dan melonjak kaget ketika Harry berdeham.
"Oh! Aku tidak melihatmu masuk. Bersenang-senang dengan Hermione dan Ron?
"Akan lebih menyenangkan bila kau ada di sana."
"Aku tahu," ujar Ginny menyesal. "Aku baru pulang latihan dua puluh menit lalu. Gwens rasa aku dan Pearson adalah pemain terbaik, dan mungkin para pencari bakat bakal memperhatikan kami. Dia membuatku latihan menukik lusinan kali."
Kapan terakhir kali kau bicara tentang hal di luar pekerjaan?
"Kedengarannya bikin stress," kata Harry, sambil membuka jubah dan menggantungnya di belakang pintu. "Kau tahu, kita harus melakukan sesuatu yang menenangkan minggu depan. Hanya kita berdua, bersama-sama."
Ginny menaikkan alis, tersenyum. "Acara spesial?"
"Aku tak menyadari bahwa aku butuh alasan untuk menghabiskan waktu bersamamu."
Ginny tertawa. "Yah, aku tak bisa. Hari Sabtu kami akan menonton pertandingan Holyhead untuk menyelidik, jadi aku tak bisa pulang malam Jum'at juga. Hari Minggu aku ada rapat."
"Bagaimana dengan Kamis?"
"Aku akan tanya Gwen."
"Well, beritahu aku dan aku akan memesan tempat."
"Kedengarannya bagus."
Lihat kan? Mereka salah, Harry memberitahu dirinya sendiri.
Segalanya baik-baik saja.
xxx
Minggu pagi mendapati Harry di kantor lagi, tengah melihat memori terbaru Astoria.
Sensasi berputar yang familiar mengenainya dan dia langsung tahu dia sedang berada dalam mobil lagi. Mobil Draco. Renault Megane. Rasanya aneh setelah dia pernah berada di dalam mobil ini secara fisik. Bagai dua versi dirinya saling bersimpangan. Rangkap dua yang aneh.
Astoria berada di kursi penumpang depan, tampak mengantuk. Saat itu malam hari, dan mereka berkendara di sisi sungai, Harry menyadari. Dia menekan wajah ke kaca, melihat kilau redup lampu perumahan terefleksi di sungai, dan untuk sesaat rasanya seolah mereka berkendara menembus langit malam, menuju bintang dan terus.
Dia menoleh dari jendela, bergerak lebih dekat ke tengah kursi belakang, lalu menatap spion tengah. Draco sedang melihat ke depan, mulutnya kecil dan serius, mata kelabunya tampak mengamati jalan di depan.
"Kita bisa langsung saja ber-Dissaparate untuk mengunjungi ibumu, kau tahu," ujar Astoria ngantuk. "Perjalanan ini dua jam lamanya, demi Merlin."
"Aku pernah mengemudi sampai ke Glasgow." Mata Draco tak pernah meninggalkan jalan raya.
"Aku ingat itu." Astoria bergeser, mengistirahatkan kepalanya ke kaca dan menutup mata. "Aku tak tahu kenapa kau pergi ke sana."
"Karena aku belum pernah ke sana sebelumnya. Karena aku ingin."
"Kau tidak tahu apa yang kau inginkan, Draco."
Mobilnya belok di tikungan jalan. Harry melihat cara Draco mencengkeram kemudi, merenggangkan otot pergelangannya. Terdapat kepercayaan diri yang mempesona pada tangan Draco, dari cara dia mengendalikan kemudi dengan mudahnya, dari cara dia mengemudi tanpa harus berpikir.
Mata Draco berkelip ke spion tengah, menemui tatapan Harry.
"Tidak, aku memang tidak tahu," ujarnya, dan untuk sesaat Harry lupa pada siapa Draco menjawab.
Draco mengemudi dan terus mengemudi. Sungai, langit, dan jalan raya meleleh menjadi padang bintang ketika memorinya perlahan buyar.
Harry muncul ke permukaan pensieve, menghirup dalam-dalam bagai kehabisan udara.
xxx
Dia mengunjungi Astoria esok harinya. Astoria tertawa ketika membukakan pintu.
"Kau sudah jadi tamu reguler. Kurasa kau mau secangkir teh kalau begitu?"
"Terima kasih," kata Harry, sembari mengikuti Astoria ke dapur.
"Kau suka memorinya?" tanya Astoria, sambil mengukur sesendok gula untuk mug Harry. "Itu salah satu memori kesukaanku."
Harry ragu-ragu, meyibukkan diri untuk membersihkan meja dan duduk sebelum berbicara. "Apa menurutmu… Menurutmu apakah Draco memilih untuk pergi?"
Astoria berhenti. "Menurutmu Draco tidak bahagia dengan hidupnya?"
"Kau lebih mengenalnya daripada aku, tapi…kurasa dia tengah mencari sesuatu. Entah itu memori, ketenangan pikiran, atau kehidupan baru, aku tak tahu."
Astoria menuangkan teh. "Aku sering mengatakan itu padanya, secara tidak langsung. Aku bercanda bahwa dia mengemudi kemana-mana berusaha mencari tempat yang tak pernah ada."
Harry menatap tanpa melihat pada uap yang melingkar lembut dari mug teh. "Matthew seorang Muggle."
"Yah—betul—"
"Bisakah dia mengajariku caranya mengemudi?"
Astoria mulai tertawa.
xxx
Pelajaran mengemudi Harry yang pertama dimulai hari Rabu, pukul 4 sore. Dia tiba di rumah Astoria tepat waktu; Matthew pulang kerja telat dan menembus pintu depan dengan tangan penuh cetakan biru.
"Di mana Tuan Putri-ku?" teriaknya, dan Sophie memekik riang, lari ke koridor sangat cepat hingga hampir terjatuh.
"Matt seorang arsitek," kata Astoria, menyadari Harry tengah menatap cetakan biru.
"Itu menarik."
"Tidak, sama sekali tidak," kata Matthew, sambil menaruh cetakan biru dan memeluk erat anak perempuannya. "Jadi, siap untuk pelajaran pertamamu?" tanyanya dari atas kepala Sophie. "Kau belum punya mobil sendiri, kan? Kau akan belajar pakai mobil punyaku, kalau begitu. Bukan mobil yang jelek untuk pemula."
Mereka berjalan ke luar, menuju mobil sedan putih. Harry berusaha mendiskusikan pembayaran keuangan karena dia merasa Matthew harus diberi imbalan atas semua momen frustasi dan kesulitan. Matthew cepat-cepat menolak dan menuntut Harry untuk membayarnya dengan kisah-kisah tentang dunia sihir.
"Dia payah sekali," kata Matthew, merujuk pada Astoria. "Memberitahuku soal dunia yang luar biasa ini, lalu mengeluh tiap kali aku mencoba bertanya! 'Oh, Matt, itu kan cuma kastil di Scotland, kenapa kau begitu tertarik' atau 'itu namanya Floo dan aku sedang malas menjelaskan'."
Harry tertawa. "Aku mengerti. Aku sendiri tak tahu soal dunia sihir, sampai aku berumur sebelas tahun. Semua orang selalu tergesa-gesa dan bersikap seolah aku seharusnya sudah mengetahui semua itu."
"Berhenti berbincang dan cepat masuk ke dalam mobil," ujar Astoria tak sabar. "Aku ingin lihat seberapa payah Harry."
"Jangan ganggu dia," kata Matthew ramah. "Kau hanya pernah belajar mengemudi sekali, dan kau langsung menabrak kolam monumental lalu meneriakiku selama dua puluh menit penuh setelahnya."
Astoria merengut padanya dan Harry berusaha menyembunyikan senyum dengan tidak sukses.
Akan tetapi, senyumnya dengan segera digantikan oleh kegugupan. Matthew menjelaskan pengamanan selama lima belas menit sebelum Harry mulai menyalakan mobil.
"Baiklah, jadi, kau cek spionmu, atur kursimu, pakai sabuk pengaman, taruh kakimu pada rem…lalu, hidupkan mesin."
Mobilnya mulai bergetar hidup. Harry merasa ngeri dan bertanya-tanya berapa harga mobil ini dan seberapa marah Matthew bila Harry, juga, menceburkannya ke kolam.
"Kaki masih pada rem? Bagus. Lepaskan rem tangan."
"Baik."
"Bagus. Bagus. Sekarang, injakkan kakimu pada akselerator sedikit—"
Mobil tersentak maju dengan keras dan Harry, ketakutan, langsung menginjak rem dan mobil pun berhenti dengan sama kerasnya. Matthew mulai tertawa.
"Kau sedikit kagetan, ya? Lihat wajahmu! Tenanglah, tak ada yang rusak. Coba lagi. Ayo, kaki pada rem."
Di penghujung pelajaran, Harry berhasil mengemudi sampai ujung jalan tanpa mematahkan lehernya maupun leher Matthew. Matthew mengumumkan bahwa dia berhak mendapat butterbeer.
Tentu saja, sembari mendiskusikan cara kerja portkey.
xxx
Malam itu Harry pulang ke rumah pukul 9 malam. Ginny berada di kasur, tengah membaca buku.
"Kau pulang telat," ujarnya, sembari membuka halaman dengan santai.
"Terjebak membicarakan kasus dengan seseorang." Dia akan menceritakannya pada Ginny besok, pikirnya. Kencan mereka. "Ngomong-ngomong, aku sudah memesan tempat di Citrus Moon."
Ginny merengut. "Apa—oh, besok malam! Aku hampir lupa. Citrus Moon? Restoran yang baru itu?"
"Restoran Muggle."
"Oh. Yah, setidaknya itu sesuatu yang baru. Aku menantikannya."
Harry menghilang ke kamar mandi, berencana untuk mandi yang lama dan santai.
Belajar mengemudi benar-benar bikin stress, pikirnya.
.
tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart