Running on Air © eleventy7 chapt 11

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 11
.
Garis pantai Sutton-on-Sea datar dan berada pada satu titik garis lurus, tidak seperti tebing karang Cornish yang berkelok-kelok. Kapal pesiar mengapung di atas air bagai layang-layang cerah, layar mereka tertangkap angin laut. Pantainya luas dan lapang: lembut dan sangat dekat dengan jalan setapak, tapi semakin dekat dengan garis pesisir, pasirnya mengeras seperti gula merah padat.
Mereka duduk di dinding penahan laut dan melihat kapal pesiar. Ada sepotong kayu tipis bergerigi, seperti gigi, mengambang di sekitar pantai dan Harry mengusulkan itu adalah kapal karam. Draco, cenderung tidak suka berpikir yang aneh-aneh, berkata bahwa itu hanyalah sisa-sisa dermaga. Argumen ringan mereka kemudian muncul, tapi segera larut ketika perhatian mereka teralikan oleh dua orang perenang yang menantang lautan dan melewati gelombang besar.
"Mereka pasti beku kedinginan," Harry memperhatikan. Bahkan di musim panas, lautan di sini menyimpan dingin yang tak diinginkan.
Matahari perlahan tenggelam dari langit, memancarkan bayangan panjang di atas daratan. Tak lama kemudian, langit menggelap menjadi senja berkabut dan kapal pesiar perlahan mendekat. Bahkan para perenang kembali ke pantai, berhenti di atas pasir basah untuk mengelap tubuh mereka dengan handuk lalu berjalan riang ke arah tempat parkir mobil.
Draco dan Harry kembali ke mobil dan Harry bertanya-tanya apakah Draco akan memintanya untuk memilih tempat lain. Mungkin mereka akan terus berkendara, hingga musim semi meleleh menjadi musim panas. Puncak musim panas, pikirnya, dengan langit biru dan padang emas.
Tapi Draco duduk di kursi penumpang dan membuka atlas, jadi Harry mengerti isyarat dan duduk di kursi pengemudi. Dia sedikit menyesuaikan ulang kaca spion, separo menduga Draco akan mengatakan sesuatu soal kemampuan mengemudinya yang kurang memadai. Selama perjalanan mereka, Harry menyadari bahwa Draco memang pengemudi yang sangat ahli.
Tapi Draco tak mengatakan apa-apa selain "Belok ke jalan Sutton," dan tidak butuh waktu lama bagi Harry untuk menyadari bahwa Draco membawa mereka kembali pulang.
Ketika cahaya matahari terakhir mati di atas daratan dan malam perlahan mengendap, Harry bertanya-tanya apakah mereka akan berkendara di sisi sungai. Dia ingin melihat bintang-bintang terefleksi, berjatuhan di sekelilingnya seakan dia mengemudi menuju kegelapan.
Di suatu tempat setelah Huntingdon, Draco tertidur.
xxx
London terlihat tak lebih dari setitik cahaya jingga di horizon, sebuah cahaya samar mengiluminasi kabut asap yang membumbung rendah di atas kota. Kota perlahan mendekat, bagai gelombang yang perlahan meliputi mereka. Deretan rumah naik dan turun, kemudian menjadi petak apartemen dan bangunan kantor, dan segera, Harry menyadari, dia hampir sampai ke rumah.
Mereka tiba di apartemen jam sembilan malam. Harry menyadari dia belum makan sepanjang hari dan tidak pula Draco; Harry tak ingin mengungkit kurangnya nafsu makan Draco, tapi dia tetap membuatkan satu pot teh dan setumpuk besar roti panggang, terlalu lelah untuk menyiapkan makan malam lain. Draco tampak setuju; dia memakan roti panggangnya tanpa komentar lalu menghilang ke dalam kamar tamu tanpa kata. Tidak diragukan lagi dia butuh tidur yang sangat panjang, pikir Harry. Draco memulai hari dengan mudah, tapi kentara sekali dia letih sepanjang hari dan, menjelang malam, dia jelas kelelahan.
Mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang.
Hermione telah memperingatkan dia soal ini. Dia secara spesifik menyebutkan efek samping, tapi tidak menjelaskan secara detail. Kemungkinan besar Draco membutuhkan perawatan medis yang tepat, pikir Harry cemas. Orang yang lebih tahu soal penyebab dan gejala dan hal-hal semacam itu. Tempat yang dapat menyediakan pengobatan sesuai. Atau bahkan di Manor, di mana Draco dapat dikelilingi ruangan-ruangan familiar —ruangan mewah, bukan kamar sempit di apartemen Harry— dan memiliki perhatian dari ibunya, yang jauh lebih mengenalnya dibanding orang lain, dan dimanja oleh peri-peri rumah.
Tapi Draco tidak ingin pergi ke satu pun orang atau tempat tersebut.
Tidak; dia datang pada Harry.
Dan mungkin Harry tidak melakukan hal yang benar. Dia tidak mengorganisir urusan dan menghubungi orang-orang untuk memberitahu mereka bahwa Draco telah kembali. Dia tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan— dia baru sadar bahwa Draco bahkan belum ganti pakaian. Harry bahkan tidak memikirkan soal itu— dan dia bahkan tidak menyiapkan makan untuk Draco hingga malam ini, bila teh dan roti panggang bisa disebut makan— dan dia tidak melakukan apa pun yang biasanya dilakukan orang normal untuk membantu.
Tidak. Sebaliknya, dia tidak mengucapkan satu kata pun tentang segala yang terjadi hari ini. Hanya duduk dalam diam bersama Draco, dan pergi dalam perjalanan mobil panjang yang jelas-jelas sangat melelahkan untuk Draco, dan membicarakan hal-hal bodoh, seperti Oliver Cromwell dan kapal karam.
Dan mungkin, dia menyadari, itulah kenapa Draco memilih untuk muncul di apartemen Harry alih-alih di tempat lain.
xxx
Di hari Minggu pagi, ketika Harry bangun, dia meraih kacamata kemudian tongkat sihirnya. Kacamatanya berada tepat di mana dia tinggalkan; tongkat sihirnya tidak.
Dia terduduk, memakai kacamata, dan mempertimbangkan situasi dengan hati-hati. Setelah agak lama, dia mengecek lantai kalau-kalau tongkat sihirnya terguling dari atas meja. Ketika tongkat sihirnya masih gagal untuk muncul, dia membuka laci. Mungkin dia salah menyimpan tongkat sihirnya di tempat lain.
Tapi dia ingat dia menyimpannya di samping kacamata. Dia selalu menyimpannya di sana. Itu sudah jadi rutinitasnya untuk waktu yang lama.
Bila Draco mengambil tongkat sihir Harry, tentunya dia punya alasan bagus. Draco tidak punya tongkat sihir, Harry ingat. Dia meminjam tongkat sihir ibunya, Harry tahu, tapi dia meninggalkannya ketika dia menghilang. Dan Harry menyadari Draco tak punya tongkat sihir sejak itu. Mungkin dia perlu merapal suatu mantra, untuk beberapa alasan, dan dia tak ingin membangunkan Harry jadi…
…atau mungkin dia mengambil tongkat sihirnya lalu pergi. Mungkin akal sehat Draco akhirnya kembali, menyadari kegilaan situasi ini —tidur di apartemen Harry Potter, berkendara bersama-sama— lalu pergi. Mungkin Draco ingat tahun-tahun sekolah mereka yang penuh kebencian dan mengingatkan diri sendiri tentang ratusan alasan kenapa mereka tak akan pernah bisa menjadi teman, lalu mencuri tongkat sihir Harry untuk membalas Harry yang telah mencuri tongkat miliknya, bertahun-tahun lalu.
Harry berdiri dan perlahan membuka pintu, melangkah ke koridor. Dia dapat mendengar suara air dipakai, dan dia mengerling ujung koridor. Pintu kamar mandi terbuka, dan Draco tengah mengetukkan tongkat sihir Harry pada penjepit kertas, mentransfigurasikannya menjadi sikat gigi. Rambutnya lembab, Harry menyadari —dia pasti selesai mandi— dan baju Draco tampak baru saja di-Scourgify.
Draco masih belum menyadari keberadaannya. Harry berdiri dan melihatnya menggosok gigi, merasa sangat bersalah akan pemikirannya barusan. Dia dengan mudahnya berasumsi bahwa Draco mencuri tongkat sihirnya lalu kabur.
Sebentar lagi Draco pasti menyadari keberadaannya, pikirnya. Tapi perhatian Draco berada di tempat lain, dan Harry berdiri di koridor untuk waktu yang lama, menyaksikan Draco mencari benang di dalam lemari kaca. Rasanya aneh melihat Draco begitu lengah.
Harry telah mempelajari bahwa kebanyakan orang memiliki kebiasaan kecil yang dapat membeberkan emosi atau pikiran mereka. Telinga Ron memerah, misalnya, atau Hermione menggigiti bibir. Narcissa memainkan perhiasannya, atau Astoria menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Tapi Draco tampaknya tidak memiliki kebiasaan gugup. Dia melakukan segala sesuatu dengan persis, efisien, pikir Harry. Dan dia ingat cara Draco mengemudi. Setiap gerakannya adalah keputusan yang disengaja.
"Mau pergi mengemudi hari ini?" tanya Harry, memutuskan untuk membuat keberadaannya diketahui. Dia separo menduga Draco akan melonjak kaget, tapi dia hanya menoleh dan mengerling Harry seakan dia tahu Harry ada di sana sejak awal.
"Tidak." Dia mengambil ramuan tidur tanpa mimpi dari dalam lemari dan menutupnya.
Harry mengeryit sedikit. "Kau kesulitan tidur?" Dia melangkah lebih dekat dan Draco menatapnya lama. Ada sesuatu yang sangat jauh dalam mata Draco, pikir Harry, dan itu membuatnya cemas. "Apa semuanya baik-baik saja?"
"Baik."
Harry tidak mengatakan apa-apa. Draco tampak lebih lamban dari biasanya, seolah dia masih lelah dari perjalanan kemarin. Mereka seharusnya tidak pergi, pikir Harry.
"Kau ambil tongkatku?" tanyanya, dan Draco tampak bingung sejenak sebelum dia mengerling tongkat sihir di samping wastafel.
"Oh. Aku pinjam." Dia memungutnya dan berjalan ke arah Harry, seraya mengulurkan tongkat sihirnya. Akan tetapi, ketika dia berada dalam jangkauan, Harry mengabaikan tongkat sihir dan menggenggam pergelangan tangan Draco sebagai gantinya, menariknya lebih dekat.
"Apa segalanya baik-baik saja?"
"Sudah kubilang aku baik." Draco membuang muka. "Hanya capek."
"Mimpi buruk?"
Jeda lama lagi. Lalu Draco bicara pelan. "Aku memimpikan masa yang lain, masa di mana aku terjebak. Kadang, saat aku bangun, itu… membingungkan." Genggamannya pada botol ramuan mengerat. "Aku tidak ingin kehilangan akal sehatku, jadi…"
Kau harus pergi ke St. Mungo. Itulah yang seharusnya Harry katakan. Dia seharusnya menghubungi Narcissa dan meminta Mediwizard (penyihir medis) keluarga, mencoba menghubungi Penyembuh…
"Kau ingin menghubungi seseorang?" sebaliknya Harry bertanya, dan Draco menggeleng.
"Aku lelah."
"Baiklah."
Draco ragu-ragu. "Jangan hubungi siapa pun."
"Tidak akan."
"Aku tahu seharusnya aku mengabari mereka."
"Tak apa. Mereka bisa menunggu," ujar Harry, dan dia tahu itu hal yang buruk untuk dikatakan, tapi itu bisa menunggu. Aku tak yakin aku ingin pulang, Draco pernah berkata, dan Harry hanya bersyukur Draco ada di sini. Itu sudah cukup, dan dia mengatakan itu pada Draco. "Kau sudah melakukan cukup. Beristirahatlah."
Draco ragu-ragu sejenak. "Kalau aku bangun nanti," ujarnya, "kita pergi ke suatu tempat."
"Bagaimana dengan Dover?" tanya Harry. "Aku selalu ingin melihat tebing-tebing putih yang terkenal itu."
Draco mengangguk. "Ke Dover," setujunya, dan lalu dia berbalik dan berjalan menjauh, tangan Harry tergelincir dari pergelangan tangannya.
Merasa tenang oleh rencana mereka untuk pergi ke Dover, Harry membiarkan Draco tidur sepanjang sisa pagi. Dia menghabiskan waktu dengan membuka kotak-kotak kardus barang milik Draco— dia betul-betul lupa soal kotak kardus itu, tapi setidaknya kotak yang berisi pakaian, misalnya, tidak diragukan lagi bakal berguna. Draco mungkin tidak membutuhkan buku teks lama ataupun kalender diarinya, tapi setidaknya benda-benda itu ada di sana. Sesuatu yang familiar.
Harry mengetuk pintu kamar tamu di siang hari, berpikir Draco mungkin ingin secangkir teh. Akan tetapi, tak ada jawaban. Dia melakukan beberapa urusan, ber-Dissaparate ke Gringott, dan pulang ke apartemen jam lima sore.
Dia mengetuk pintu kamar pada jam enam, kemudian mengetuk lagi jam delapan, berpikir mungkin Draco ingin makan. Ketika masih tak ada jawaban, dia mulai cemas.
Yah, mungkin Draco hanya sangat lelah.
Sekitar jam sepuluh, Harry pergi tidur. Dia mengecek Draco terlebih dulu; Draco tampak tidur lelap, botol kosong dan setengah gelas air di atas meja. Harry melihat wajah Draco untuk waktu yang lama. Bahkan dalam tidur, entah bagaimana dia tampak kesusahan . Mulutnya membentuk garis tipis tidak senang dan ketegangan samar di wajahnya.
Harry ragu-ragu, lalu mengulurkan tangan dan menempatkannya di bahu Draco.
"Draco," ucapnya pelan.
Draco tidak bergerak.
"Draco."
Draco bergerak kemudian, dan mengeluarkan suara yang mengindikasikan sedikit kejengkelan.
"Hanya mengecek kalau-kalau kau butuh sesuatu," ujar Harry, merasa lega. Draco mengeluarkan suara lagi yang, meski dapat diinterpretasi secara bebas, kemungkinan besar berarti 'pergi sana'.
Harry menegakkan punggung dan pergi, pelan-pelan menutup pintu di belakangnya.
xxx
Senin pagi.
Harry bangun dini dan mandi dengan santai sebelum berpakaian dan menimang untuk memanggil Holdsworth dan beralasan sakit lagi. Bagaimana pun juga, tebing putih Dover menunggu dia dan Draco.
Dia memanggil Holdsworth, yang simpatinya sudah terbatas kali ini, tapi masih ada.
"Istirahat yang banyak, kau tidak boleh libur besok lagi," ujarnya.
Harry mengakhiri panggilan dan mondar-mandir di dapur, tak sabar menunggu Draco bangun. Setelah kira-kira satu jam, dia akhirnya pergi ke depan pintu dan mengetuk.
Tak ada jawaban. Dia menunggu sejenak, lalu membuka pintu.
Draco masih persis seperti saat Harry tinggalkan.
Masih tidur? pikir Harry jengkel, seraya meraih bahu Draco dan menggoncangnya pelan.
"Draco. Bangun."
Tak ada jawaban. Tapi, Draco terasa sangat hangat, dan Harry, setelah ragu beberapa saat, menempatkan sebelah tangan ke dahi Draco.
Demam.
Harry bangkit tiba-tiba. Apakah ini efek samping lainnya? Atau hanya demam biasa? Merlin, kenapa dia setuju dengan perjalanan bodoh ke Sutton-on-Sea? Jelas-jelas itu terlalu berat untuk Draco, kenapa Harry tidak bersikap layaknya orang dewasa bertanggungjawab sekali-kali dan menyeret Draco pada Penyembuh begitu dia kembali, seperti yang bakal dilakukan orang normal—
Dia mencoba, dengan tidak berhasil, untuk membangunkan Draco lagi. Tapi Draco tampak tidak responsif sepenuhnya. Hampir seperti koma.
Jangan hubungi siapa pun. Itulah yang Draco katakan, dan Harry sudah janji. Draco tak ingin siapa pun tahu, jadi mereka tidak akan—
Harry sadar dia tengah mondar-mandir tanpa tujuan di tengah kamar. Dia berhenti dan bersandar ke pintu, menatap Draco.
Jangan lakukan ini padaku, Draco.
Pelan-pelan, merasa seakan seluruh tubuhnya luar biasa berat, dia berjalan menuju perapian dan memanggil dua sobat terbaiknya.
xxx
Dia harap mereka marah padanya. Akan lebih mudah bila mereka marah. Mereka akan berbicara ketus padanya, dan Harry akan mengangguk dan setuju bahwa iya, dia jelas salah mengambil keputusan…
Tapi Ron dan Hermione —keduanya bertengger di atas bangku meja— menatapnya dengan ekspresi sama, terluka dan kecewa.
"Ini masalah kepercayaan, Harry," kata Hermione.
"Yeah, apa kau betul-betul berpikir kami akan pergi dan memberitahu orang-orang?" tambah Ron. "Semua yang perlu kau lakukan hanyalah meminta kami untuk tidak melakukannya."
"Aku tahu, tapi ini hanya… Aku tak tahu," Harry merasa buruk. "Aku tak tahu," ulangnya. "Siapa pun yang berpikir waras pasti akan memberitahu Narcissa dan Astoria, dan membawa Draco ke St. Mungo, dan—"
"Yah, tak ada gunanya menyalahkan siapa pun," ujar Hermione tiba-tiba. "Kau bilang Malfoy sakit, kan? Apa yang terjadi?"
Harry membuang muka, merasa malu bahwa dia melibatkan teman-temannya hanya ketika masalah sudah sejauh ini. "Dia bilang dia lelah. Dia sering terlihat lelah sejak dia kembali pada malam Jum'at, tapi dia sudah tidur hampir dua puluh empat jam penuh, sekarang. Dan dia demam."
Hermione mengeryit dan tidak mengatakan apa-apa.
"Menurutmu bagaimana?" pancing Harry, khawatir. Hermione menatap Ron, lalu kembali ke Harry.
"Aku tak tahu."
"Yah— kita akan mencari tahu, kan? Kau pasti punya buku atau semacamnya…" Harry terhenti ketika Hermione menggeleng.
"Hanya ada tiga kasus tercatat. Aku tahu salah satu dari mereka menyebutkan kelelahan, tapi… Aku bukan Penyembuh. Aku tidak tahu." Dia berbagi pandang lagi dengan Ron, dan Ron bicara pelan.
"Dengar, sobat," ujar Ron pada Harry. "Aku tahu kau bilang bahwa Malfoy tak ingin siapa pun tahu, tapi… Kurasa sudah waktunya pergi ke St. Mungo."
"Tidak," ujar Harry seketika. "Aku sudah janji padanya."
"Menurutku Malfoy akan lebih senang bisa hidup daripada menjaga janji," ujar Ron. Dan Harry berpaling, tahu bahwa Ron benar dan membenci pilihan yang mesti dia ambil.
Untuk sesaat, keheningan mengerubungi mereka. Lalu Harry bicara, suaranya diikat dengan kekalahan.
"Panggil St. Mungo," ujarnya letih. "Aku akan menghubungi Narcissa dan Astoria."
Hermione menaruh sebelah tangan menenangkan di lengannya. "Kau melakukan hal yang benar, Harry," ujarnya.
Rasanya tidak seperti itu, pikirnya.
xxx
Astoria adalah yang paling pertama menerima pos burung hantu. Dia tiba di St. Mungo tengah hari, Sophie bergelayut di sebelah lengan. Ketika dia melihat Harry tengah duduk di ruang tunggu, wajahnya berubah pucat mengkhawatirkan.
"Kau bilang kau menemukan dia?" tanya Astoria tersengal-sengal. Harry mengangguk. Dia sengaja mengatakannya dengan samar dalam surat, berkata bahwa Draco ditemukan tapi sakit parah dan saat ini berada di St. Mungo.
"Oh, syukurlah Merlin," ujar Astoria, terduduk ke kursi di sebelah Harry. "Oh, syukurlah Merlin. Setelah selama ini…" Dia menatap sekeliling, seakan berharap bakal menemukan Draco di sana, tersenyum padanya. "Di mana dia?"
"Lantai empat. Mereka tidak mengizinkan siapa pun masuk," jawab Harry, dan kemurkaan yang awalnya ia rasakan bagai gelembung mulai muncul ke permukaan. "Penyembuh-Penyembuh sialan itu, mereka mengetes Draco bagai eksperimen. Mata mereka berbinar seperti pohon Natal ketika mereka tahu bahwa dia terbelah di dua masa. Mereka menjalankan setiap tes di bawah matahari, dan mereka ingin membawa satu tim dari Divisi Penelitian."
"Jadi aku bahkan tidak bisa menemuinya?" Astoria tampak seakan seseorang baru saja melemparinya kutukan. "Sungguh sampah! Aku bisa dibilang keluarga! Bila aku ingin melihat Draco maka mereka tak bisa menghentikanku."
"Selamat berjuang. Aku Harry sialan Potter dan mereka masih menendangku keluar."
Kecemasan Astoria dengan cepat berubah menjadi kemurkaan. Harry mendengarkan Astoria mengomel tentang ketidakadilan semua ini; dia sendiri melalui siklus emosi yang sama persis tadi, jadi dia hanya mengangguk simpati hingga Astoria beranjak untuk memarahi Penyembuh terdekat. Harry juga melalui fase yang sama. Dalam lima belas atau dua puluh menit, pikirnya, Astoria bakal muncul dan roboh, pasrah, ke kursi lagi.
Hermione datang pada jam lima, usai kerja. Harry telah menyuruh Hermione dan Ron pulang ketika mereka pertama datang, berkata bahwa lagipula mereka tak bisa melakukan apa-apa. Dan mereka berdua harus kembali kerja. Mereka pergi dengan enggan, berjanji akan kembali di sore hari.
Hermione sangat berhati-hati di dekat Astoria dan mengenalkan diri dengan kaku, tapi keterbukaan Astoria dengan segera memenangkan hatinya.
"Oh, tak perlu perkenalan membosankan begitu," ujar Astoria sebal. "Kau Hermione Granger, siapa yang tidak tahu namamu?" Dia berhenti, lalu mendesah. "Maaf, aku terjebak di sini sepanjang hari, menunggu Penyembuh memberi kami kabar, kabar apa saja— Sophie, jangan sentuh rambut orang, itu tidak sopan— dan rasanya seperti mimpi buruk."
Hermione menjawab dengan simpatik dan Astoria menghangat padanya. Harry meninggalkan mereka berbincang berdua —Hermione dengan segera menggoyang-goyang Sophie di pangkuannya— dan mencoba mencari Penyembuh. Dia menunggu di luar ruangan Draco dan mencengkeram asisten Penyembuh yang tengah berusaha keluar ruangan dengan tangan penuh ramuan.
"Draco Malfoy—"
"Oh, kami baru saja menyelesaikan tes terakhir," ujar si asisten riang. "Minchin sang Luar Biasa melaporkan efek yang sama setelah dia terbelah-waktu —ini sangat menarik, bukan? Sebetulnya Penyembuh senior berkata mungkin dia akan menjalankan beberapa tes lagi besok, karena ini kesempatan yang sangat bagus untuk menulis penelitian tentang…" si asisten terdiam.
"Kesempatan bagus?" ujar Harry marah.
"Yah…er, saya turut prihatin atas situasi ini, tapi di sisi baiknya, kita jadi tahu jauh lebih banyak tentang reaksi kimia dengan inti sihir ketika…" Si asisten terdiam lagi.
"Kalau kau sudah selesai memperlakukan Draco seperti makalah penelitian," hardik Harry, "aku ingin menemuinya."
"Yah, tentu saja, tapi Anda tak akan dapat apa-apa dari kunjungan ini."
Si asisten Penyembuh benar, meski Harry benci mengakuinya. Draco masih tertidur ketika dia masuk ke dalam ruangan, dan si asisten kembali untuk memberitahu Harry bahwa Draco akan tetap tidur hingga setidaknya dua belas jam ke depan.
"Dia dalam masa tidur oleh sihir," ujarnya cerah. "Hanya untuk memastikan segalanya pulih sempurna. Sistem syaraf Minchin betul-betul putus ketika dia bangun, tapi…"
Salah satu asisten Penyembuh yang lain, tengah menulis dengan getol pada sebuah grafik, mendongak dan menatapnya tajam.
"Tak usah dipikirkan," ujar si asisten lemah, lalu menghilang untuk mencari Astoria.
Harry rasa dia harus memberikan waktu sendiri untuk Astoria. Narcissa akan segera datang; dia kira Narcissa akan bergegas datang ke St. Mungo setelah dia mengirim pos burung hantu, tapi mungkin saja dia di luar sepanjang hari dan masih belum menerima pesannya.
Harry memandang Draco sejenak lebih lama, lalu berpaling dan pergi.
xxx
Kembali ke apartemen terasa aneh. Draco di sana hanya tiga malam, tapi entah bagaimana apartemen terasa kosong menyesakkan.
Harusnya dia langsung membawa Draco ke St. Mungo. Ketika Astoria dan Narcissa menyadari bahwa dia telah menyembunyikan Draco selama hampir empat hari, mereka akan sangat marah padanya. Dan dia pantas mendapat murka mereka.
Menyembunyikan Draco.
Karena terkadang, maksud Harry memang terasa seperti itu. Dia ingin menyembunyikan Draco, hanya untuk sesaat— mungkin sedikit lebih lama. Hanya dia dan Draco. Mengemudi dan berbincang tentang hal-hal tidak penting dan tertidur di tengah pusat Inggris. Bintang, sungai, dan padang, dan bila dia menutup mata dia dapat mengingat batu dinding penahan ombak yang hangat oleh matahari, solid dan nyata di bawah kulitnya. Gelombang bergulung, pelan dan konstan. Bukit pasir surut menjadi dataran mulus nan panjang.
Mereka tak pernah tahu apakah kayu itu kapal karam atau dermaga.
Harry menghabiskan kebanyakan malam itu dengan menatap langit-langit.
xxx
Dia pergi kerja esok harinya. Empat ekor burung hantu menunggu di luar kantornya, dan jantung Harry perlahan mencelos. Ini bukan pertanda baik.
"Scourgify," gumamnya, menghilangkan kotoran burung hantu di sekitar pintu, seraya melangkahi seekor burung hantu pigmy yang tampak ngantuk. Punya Ginny.
Ini kali pertama dia menginjakkan kaki ke kantor sejak Draco kembali. Rasanya aneh melihat segalanya persis seperti saat dia tinggalkan lima hari lalu, Jum'at lalu. File Draco masih ada dalam laci. Pensieve, penuh dengan memori-memori, duduk tak terganggu di dalam lemari. Burung-burung hantu mengepak-ngepak di sekelilingnya, akhirnya berjajar rapi. Satu burung hantu —burung hantu elang besar— mematuk burung hantu lainnya hingga mereka minggir ke samping.
"Oh, kau yang paling penting, ya?" gumam Harry pada si burung, seraya mengambil suratnya dan hampir tak bisa menghindari patukan marah.
Itu adalah surat singkat dari Narcissa. Narcissa mengunjungi teman di perumahan luar negeri di Highland dan baru saja kembali. Suratnya pendek dan isinya tak lebih dari alasan singkat atas ketidakhadirannya dan kalimat yang menyatakan dia akan langsung datang ke St. Mungo.
Surat berikutnya dari Astoria dan tidak nyaman untuk dibaca; suratnya penuh rasa syukur dan terima kasih karena telah 'membawa Draco pulang' dan memberitahu Harry bahwa dia selalu dipersilakan untuk mengunjungi Astoria dan Matthew, meski kasus telah ditutup.
Akankah dia tetap dipersilakan di rumah Astoria bila Astoria tahu Draco sebetulnya telah kembali lima hari lalu dan Harry merahasiakannya? Rasa bersalah mekar dalam hatinya ketika dia menyimpan suratnya ke samping.
Surat ketiga dari Hermione dan terdiri dari sebuah amplop penuh dengan kliping dan catatan dari buku-buku, secara detail menjelaskan efek samping time-splinching (terbelah waktu). Tidak ada banyak penelitian tersedia, tulis Hermione, dan aku tak tahu apa ini akan berguna— tapi kupikir kau mungkin tertarik untuk membaca catatannya.
Surat keempat dari Ginny. Kuharap segalanya baik-baik saja, tulisnya. Ron bilang padaku kau memecahkan kasus Malfoy. Selamat! Aku tahu kau telah bekerja begitu keras sepanjang tahun untuk kasus ini. Omong-omong, kau tak akan percaya formasi Tim Nasional Inggris tengah berkembang saat ini. Cukup menarik, cara Chaser berkomunikasi…
Baik sekali Ginny karena telah berusaha, pikir Harry. Ginny bukan tipe yang senang berkirim surat, tapi sekarang setelah mereka putus, kadang dia mengirim kartu pos atau surat pendek. Mungkin berusaha untuk meyakinkan Harry bahwa mereka masih bisa berteman, dan Harry menghargai usahanya.
Para burung hantu —surat mereka akhirnya terkirim— bertengger di sepanjang gantungan topi, semuanya tampak siap untuk tidur siang sebentar. Harry menunduk menatap meja, lalu membuka laci dan perlahan membuka kasus terbaru— seorang penyihir gadis muda dari Staffordshire, diketahui memiliki masalah kesehatan jiwa, hilang setelah seharusnya menghadiri pertemuan dengan Penyembuh Pikiran.
Harry menulis catatan singkat untuk tim Hubungan Muggle agar mengecek rumah sakit dan penampungan tunawisma lokal, tapi setelah itu dia kesulitan konsentrasi. Dia merasa dia harus melakukan sesuatu, tapi apa? Draco butuh Penyembuh, bukan…teman.
Teman. Bukan kata yang tepat. Mereka tak pernah berteman. Mereka berubah dari orang asing langsung menjadi musuh, lalu tak lebih dari memori samar, sebuah sosok jauh yang mudah dihapus dan dilupakan. Kemudian…
…hal-hal aneh terjadi di antara mereka. Memori terputus-putus, benak berpacu melewati mantra Legilimens, pelajaran mengemudi dan Renault Mégane, surat lama terlupakan yang tertulis di belakang diari kalender, bintang-bintang di langit musim dingin ketika Lautan Celtic menerjang tebing karang.
Sebuah ketukan di pintu, meski pintunya terbuka. Harry mengerling.
"Hey."
"Hey." Ron melirik burung-burung hantu yang tengah bertengger di atas gantungan topi. "Baik-baik saja?"
"Yeah."
Ron duduk di salah satu sofa berlengan dan meraih mangkok penuh toffee.
"Itu untuk narasumber," ujar Harry. Itu adalah candaan lama antara mereka berdua. Ron nyengir dan membuka bungkus toffee.
"Kasih aku pertanyaan, kalau begitu," Ron berhenti sejenak. "Atau mungkin aku yang harus bertanya padamu." Dia mengacungkan bungkus toffee pada Harry. "Kau dan Malfoy. Ada hal aneh yang terjadi antara kalian berdua."
Mulut Harry menganga lebar. "Apa kau baru saja mempraktekan Legilimency padaku?"
Ron tertawa begitu keras hingga hampir tersedak toffee. "Tentu tidak. Tapi kurasa itu menjelaskan segala yang perlu kutahu. Sangat kentara, sungguh. Malfoy muncul di tempatmu, kau memutuskan untuk pergi berkendara berdua—"
"Aku tahu, aku tahu, itu bodoh. Aku harusnya memberitahu Narcissa dan—"
Ron melambaikan tangannya acuh. "Kalau kau ingin dengar ceramah soal tanggung jawab, sana cari Holdsworth. Aku, di sisi lain, hanya berpikir itu aneh. Apa kau berteman dengan Malfoy sekarang?"
Harry ragu-ragu. "Tidak," jawabnya akhirnya.
Ron menatapnya dengan pandangan menyelidik, cukup lama. "Baiklah."
"Berhenti menatapku seperti itu," ujar Harry, merasa sedikit sebal. "Aku bukan salah satu kasusmu, yang bisa kau taruh di bawah mantra pembesar lalu kauanalisa."
Pelatihan Auror membuat Ron menjadi cukup cerdik —dia mahir melihat detail yang mungkin akan lewat dari pengamatannya ketika masih muda— tapi Harry hanya berharap Ron tidak mengaplikasikan bakat barunya pada kawan atau keluarganya juga.
"Kau mulai agak defensif," ujar Ron, dan Harry menyempitkan mata. Ron nyengir. "Baiklah," ujarnya. "Aku akan berhenti mengganggumu. Harus pergi. Sampai jumpa di Mad Alchemist, oke?"
"Mungkin," elak Harry, tapi Ron tidak nampak terganggu oleh responnya.
"Yeah, lebih baik mengecek jam besuk St. Mungo dulu," kata Ron, matanya cerah dan jahil. Di saat seperti ini, dia membuat Harry teringat sangat kuat pada Ginny atau George.
"Tentu."
"Bagus." Masih tampak terlalu geli oleh sesuatu, Ron pun pergi, hampir terkena kotoran burung hantu.
"Scourgify," gumam Harry.
Ini akan jadi hari yang panjang.
xxx
Jam lima tepat. Harry sudah tak sabar untuk pergi, bergegas ke atrium supaya dia bisa langsung ber-Dissaparate ke St. Mungo. Jam besuk selesai pukul lima lewat tiga puluh.
Seorang asisten Penyembuh yang tengah mengurus grafik di ujung kasur Draco memberitahu Harry bahwa Draco masih belum bangun. Tidak banyak yang dapat dia lakukan.
Meski begitu, dia duduk di samping Draco, dan bertanya-tanya apakah Astoria dan Narcissa ke mari dan sudah pergi. Narcissa mungkin masih ada di rumah sakit— mungkin dia pergi mencari penyembuh untuk lebih banyak informasi, atau mungkin dia pergi untuk makan.
Jadilah Harry duduk dan menunggu hingga si Penyembuh pergi.
Hening. Tidak apa. Draco selalu menyukai ketenangan. Ruang untuk berpikir, ruang untuk bernapas.
Dia mengamati wajah Draco. Entah ramuan apa yang mereka berikan pada Draco mengubah wajahnya menjadi kanvas kosong. Draco selalu tampak samar-samar tidak senang bahkan dalam tidurnya, seakan dia tertidur dengan fokus penuh, dengan konsentrasi tinggi. Tapi ramuan membasuh semua itu.
Harry bukan tipe orang yang suka berbicara pada orang yang tidak sadar atau sudah mati. Pengalaman terakhirnya dengan kematian —ketika dia menggenggam Batu Kebangkitan— mengajarinya akan finalitas kematian. Berbicara pada seseorang yang jelas-jelas tidak ada di sana itu tidak berguna.
Tapi Harry, dulu sekali, pernah berbicara pada Draco —Draco, yang tidak pernah terlihat selama tiga tahun, yang jelas-jelas absen— dan Draco menjawabnya.
Harry duduk dalam diam untuk waktu lama dalam ruangan, menatap matahari perlahan melemah di langit. Matahari tidak akan terbenam hingga sekitar beberapa jam lagi. Musim panas perlahan membentang di seluruh negeri. Di kejauhan, samar-samar dia dapat mendengar suara lonceng Big Ben, pertanda jam lima-tiga puluh. Tidak diragukan lagi seseorang akan segera datang untuk mengantar Harry keluar. Langkah-langkah kaki terdengar dari koridor dan Harry menghembuskan napas perlahan, lalu menatap Draco.
"Kau sudah janji kita akan pergi ke Dover," ujarnya pelan.
Seorang Penyembuh melangkah memasuki ruangan dan berdeham. "Saya minta maaf, tapi—"
"Jam besuk sudah usai. Baiklah."
Dia berdiri dan pergi.
.tbc ~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart