Running on Air © eleventy7 chapt 10

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 10
.
Narcissa mengirimi Harry pos burung hantu di penghujung April.
Tidak ditemukan apa pun.
Butuh waktu selama itu bagi Narcissa —hampir tiga bulan— untuk melakukan pencarian secara menyeluruh di Manor, menginvestigasi setiap benda, setiap ruangan, untuk memastikan tak ada kemungkinan pembalik waktu yang disembunyikan di sana. Bila pembalik waktunya hilang bersama Draco, alih-alih tertinggal di belakang, tentunya Draco akan meyembunyikannya di Manor.
Atau di dalam Renault Mégane, tapi Harry ingat bahwa mobil itu mungkin masih belum ada di masa Draco terjebak. Meski begitu, dia mencari di dalam Renault dan hasilnya nihil. Pembalik waktunya perlu disembunyikan dengan sangat baik untuk mencegah dicuri atau ditemukan oleh jenis orang yang salah, tapi tentunya Draco akan meninggalkan petunjuk-petunjuk…
Hermione memberitahu Harry bahwa dia sudah menyelesaikan rincian ekstraksi. Begitulah disebutnya, Hermione menjelaskan. Menyelamatkan seseorang dari masa lalu. Sebuah ekstraksi. Prosesnya terdengar rumit dan melibatkan beberapa sihir yang sangat sulit, tapi Hermione menulis semuanya dengan rapi, seperti resep, dan berkata bahwa para Unspeakable siap melakukan prosesnya kapan saja.
Semua yang mereka butuhkan hanyalah pembalik waktu.
Dan itu membuat segalanya makin parah, entah bagaimana. Rasanya seperti menatap puzzle dengan hanya satu keping yang hilang.
Harry sangat sering mengemudi akhir-akhir ini. Dia berkendara di sepanjang garis pesisir, dia berkendara melewati seluk beluk kaki langit perkotaan dan bukit-bukit pedesaan. Dia hanya terus mengemudi.
Seakan mencari sesuatu.
Dan dia bisa melihat perputaran ironi pada situasi ini.In inceptum finis est, pikirnya masam.
Pada setiap permulaan adalah akhir.
xxx
Lalu, pada hari kedua bulan Mei —hari peringatan Pertempuran Hogwarts yang kedelapan— Harry menemukan pembalik waktunya.
Realisasinya baru masuk satu hari sebelumnya, di hari pertama bulan tersebut. Ketika itu musim semi. Musim panas mulai mencapai daratan lagi; dia bisa merasakannya bagai kilau api di kejauhan. Terdapat kehangatan pada angin yang menggerakan dedaunan pohon; dan dia pikir mengemudi ke Cornwall sepertinya menyenangkan.
Di tengah kilau musim semi yang hangat, Helston tampak jauh lebih ramah dan ceria, dan garis pesisir itu sendiri tampak lebih lembut. Ombak-ombaknya tidak begitu garang dan lebih menyenangkan, bergelung dan berputar di sekitar dasar tebing karang. Ada sekeluarga muda tengah mengambil foto di mercusuar, anak-anaknya terkikik dan saling mengejar satu sama lain dalam lingkaran.
Lingkaran.
Harry berjalan di sepanjang jalur pantai barat daya. Mungkin dia hanya akan terus berjalan dan suatu hari nanti dia akan mendapati dirinya kembali ke sini lagi. Membuat lingkaran, membuat corak tanpa arti.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun?
Rasa perih yang familiar mengendap dalam hati Harry. Dia sangat mengenal perasaan nostalgia ini. Dulu, ketika masalah terbesarnya hanyalah PR dan detensi. Dulu, ketika hal paling jahat yang pernah Draco lakukan hanyalah melemparkan Remembrall ke langit.
Sebuah snitch perak.
Harry terhenti. Di kejauhan, dia masih dapat mendengar suara tawa anak-anak. Lebih dekat padanya, terdengar suara ombak menabrak bebatuan.
Perjalanan pulang ke London membutuhkan waktu lima jam, tapi dia hampir tidak merasakannya sama sekali.
xxx
Dia suka lencana snitch itu. Dia bilang itu hadiah dari ayahnya.
Ya, tentu saja Draco mengatakan itu pada Narcissa. Arti dari kode itu sekarang menjadi jelas seperti kaca murni.
Apa kau tahu kenapa dia menyukai snitch perak? Dia menyukai lingkaran.
Tentu saja. Pada setiap permulaan adalah akhir. Sebuah pembalik waktu.
Segera setelah Harry memasuki kantornya, dia langsung pergi mengambil file dari meja lalu membukanya. Foto Draco yang diberikan Narcissa pada Harry berbulan-bulan lalu. Draco menatap Harry, mulutnya kecil dan serius, matanya tak berkedip. Lencana snitch perak tersemat rapi di jubahnya.
Setelah selama ini, dan pembalik waktunya ada di sini. Tepat di hadapannya.
Tapi di mana Draco meninggalkannya? Manor, tentu saja. Tapi mereka telah mencari di sana dengan sangat menyeluruh, semua tempat yang mereka pikir Draco senangi atau sayangi, atau ruangan yang biasa dipakai sebagai tempat penyimpanan barang—
Pada setiap permulaan adalah akhir.
Jantung Harry berdegup kencang bagai derap kaki Thestral. Perlahan dia meninggalkan kantornya, dan menuju atrium Kementrian, mengantri di depan perapian terdekat. Ketika gilirannya tiba, dia melangkah ke dalam api hijau.
"Diagon Alley."
xxx
Berbagai burung hantu berseru pelan; bulu-bulunya bergemerisik, kayu-kayu yang panas oleh matahari berderak. Terdapat bau binatang di udara. Bau serbuk gergaji dari kandang tikus. Toko itu gelap dan tertutup, langit-langitnya dihiasi burung-burung hantu, dan kotak-kotak perlengkapan hewan peliharaan berjejer di dinding.
Si penjaga toko mulanya tampak tercengang kemudian senang ketika dia melihat Harry.
"Harry Potter," ujarnya. "Sungguh suatu kehormatan!"
Harry lupa untuk menyamar karena buru-buru, tapi dia sedang tidak terlalu peduli sekarang.
Di mana?
"Maaf, aku harus mencari sesuatu," ujar Harry, dan si penjaga toko mengerjap padanya.
Draco kembali ke tempat ini. Entah itu sepuluh, dua puluh, atau pun lima puluh tahun lalu, tapi Draco kembali ke sini dan meyembunyikan lencananya. Di suatu tempat yang aman, tapi mudah untuk diakses.
"Accio pembalik waktu," Harry mencoba, tapi tak ada yang terjadi, dan si penjaga toko mengerjap padanya lagi.
"Ada pembalik waktu di tokoku?"
Harry menoleh, memindai toko. Draco, tolong aku, berikan aku sesuatu, sebuah memori, hanya itu yang kubutuhkan—
Bel berdenting pelan dan Harry menoleh, separo berharap Draco berjalan memasuki toko lalu berbicara : Aku memerlukan burung hantu. Ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan.
"Ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan," ulang Harry, menggumam pada dirinya sendiri, berusaha memancing sesuatu. Apa saja.
"Saya pikir Anda mencari pembalik waktu?" si penjaga toko, pada titik ini, betul-betul kebingungan. "Yah… burung hantu elang kami mempunyai indera arah yang baik… Mereka tahu tempat yang dituju dengan tepat, meski mereka tidak selalu pulang ke rumah. Cukup sulit untuk dijinakkan." Dia tertawa gugup.
Harry tidak tersenyum. Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang.
"Dimana tempat burung hantu elang?" tuntut Harry.
"Oh, kami selalu menyimpan mereka di pojok belakang. Mereka bisa jadi sedikit teritorial, jadi lebih baik untuk menjauhkan mereka dari burung-burung yang lain."
Harry membiarkan si penjaga toko berceloteh ketika dia menuntun Harry ke bagian belakang toko. Burung-burung hantu bertengger di sepanjang balok kayu, berkedip-kedip ngantuk ketika Harry berjalan di bawah mereka.
Di sana. Di bagian bawah balok, terukir angka-angka kecil pada kayunya.
Seseorang telah menulis satu set kordinat.
xxx
Malam itu Harry menghubungi McGonagall, menjelaskan situasinya, dan menunggu dengan gelisah hingga dia menerima balasan telat siang berikutnya. Dia segera berangkat ke Hogsmeade; Hagrid-lah yang menunggunya di sana, sehat seperti biasa, berjalan bersama dan menyapa para penduduk desa dengan riang.
"Sore, Pickerill," ujar Hagrid, mengangguk pada lelaki yang tengah memanggul tong kayu oak di sebelah bahu.
"Sore, Hagrid." Si lelaki menghilang ke dalam Three Broomstick. Tempat ini tak pernah berubah, pikir Harry. Bahkan tulisan emas di atas Three Broomstick tetap sama; air mancur coklat tanpa batas yang sama di jendela Honeydukes, dan tanda yang sama menggantung di ambang pintu Hog's Head. Minggu ini terbukti sebagai pekan Hogsmeade untuk murid-murid Hogwarts, beberapa dari mereka masih berlama-lama meski matahari sudah mulai terbenam.
"Ayo kita pergi ke Shrieking Shack— Kudengar di sana berhantu!" kata salah satu murid pada teman mereka ketika mereka lewat.
Ya, pikir Harry. Tak pernah berubah.
Perjalanan menuju kastil jauh lebih singkat dari yang Harry ingat. Ketika Hagrid berceloteh dengan riang tentang sarang bayi lebah-vampir yang dia kembang biakkan, Harry melihat Hogwarts mulai muncul dalam jarak pandangnya. Rumah pertamanya, pikirnya, dan satu bagian dari hatinya akan selalu berada di sini, di mana dia pernah hidup dan mati. Dia ingat Hagrid menggendong tubuhnya bagai anak kecil dari dalam hutan… Dia mengerling Hagrid, yang tengah berjalan dengan senang di sampingnya, dan tersenyum.
Pada setiap permulaan adalah akhir.
Aneh, melihat bagaimana Draco membawanya kembali ke Hogwarts. Membawanya pulang, bisa dibilang.
Ketika mereka memasuki pekarangan kastil, Hagrid berhenti untuk memeriksa secarik perkamen yang Harry berikan padanya, sepasang titik kordinat tertulis dengan tidak rapi di atasnya. Akan tetapi, Harry tidak berhenti. Dia belok dan mulai beranjak menuju lapangan Quidditch.
"Bagaimana kau bisa tahu, Harry?" tanya Hagrid, mengikutinya kemudian. "Hampir sampai, kurasa." Dia mengetuk perkamen dan mengeluarkan sebuah alat kuningan kecil dari dalam saku, membukanya seperti kompas.
Harry menatap langit, seolah dia bakal melihat Remembrall melambung melintasi langit senja, dan menunggu. Mungkin, bila dia menutup mata, dia akan melihat dua orang seeker saling berkejaran satu sama lain di sepanjang langit.
Berlari di udara.
Harry tersenyum pada dirinya sendiri. Hagrid —tengah sibuk mondar-mandir dan menggumam sendiri— berhenti dan mengerling Harry sebelum menunjuk pada tanah di dekat kakinya.
"Ini dia," ujarnya, dan Harry berjalan mendekatinya.
"Tepat di sini?"
"Berdasarkan kordinatnya," Hagrid menggoyang alat kuningannya.
Harry mengarahkan tongkat sihirnya ke tanah yang lembut dan basah oleh hujan. Jauh di dalam —meski dia telah menghubungi dan menerima izin dari McGonagall— dia masih separo menduga McGonagall akan datang menyerbu dan memotong poin Gryffindor karena telah merusak lapangan Quidditch. Tapi tak ada siapa pun di sana —hanya dia dan Hagrid, di bawah sinar terakhir cahaya senja— dan Harry menarik napas.
"Defodio." Tanah menggali keluar dengan sendirinya.
Tidak butuh waktu lama hingga Harry menangkap kilasan perak.
xxx
Harry menjatuhkan lencananya ke tengah meja makan Hermione dan Ron. Hermione menatap lencana itu, matanya terbelalak.
"Aku tak percaya kau berhasil menemukannya," ujar Hermione. Ron duduk di seberang Harry, mug teh mengepul di sebelah tangan.
"Bagaimana bisa?" tanya Ron.
"Menemukannya berkat kordinat yang Draco ukir pada batang kayu di emporium burung hantu."
Ron menatap Harry, mulutnya menganga. "Yah," ujarnya akhirnya. "Aku menarik kembali semua yang kukatakan tentang kau yang payah dalam investigasi, Harry."
"Tapi kita bisa melakukannya, kan?" tanya Harry. "Kita bisa membawa Draco kembali."
"Aku…yah…" Hermione mengetuk lencana dengan tongkat sihirnya, dan mantra transfigurasi pada lencana itu meleleh, menampakkan sebuah pembalik waktu. "Merlin," bisiknya. "Ini adalah pembalik waktu yang terakhir. Aku bertanya-tanya…"
"Fokus, Hermione," ujar Harry tajam. Ini bukan saatnya untuk keingintahuan intelektual. "Bisakah kita membawa Draco kembali?"
Hermione berkedip dan menatapnya. "Apa? Oh, ya. Tapi mantranya sangat rumit, dan akan membutuhkan waktu beberapa hari. Tapi Harry, kau harus mengerti dua hal terlebih dulu. Pertama, tidak ada jaminan ini akan berhasil. Ini adalah sihir yang sangat tidak stabil. Maksudku, proses ini bahkan mungkin dapat meninggalkan efek samping yang sangat berbahaya untuk Malfoy. Yang kedua… Kita mungkin dapat membawanya kembali, tapi aku tak tahu di mana. Dia mungkin bakal muncul kembali di Manor, atau di London entah di mana, atau bahkan tempat yang lebih jauh lagi."
"Aku tak peduli, selama dia di sini. Di masa ini."
"Yah." Hermione meraih pembalik waktu dan mengantonginya. "Aku akan menghubungi para Unspeakable, dan aku akan memberitahumu kalau mereka sudah menyelesaikan mantranya."
Harry membuka mulut, tapi Hermione menyelanya.
"Dan tidak, kau tidak bisa membantu. Ini sihir yang sangat rumit dan kemungkinan besar kau malah akan membuat kesalahan serius."
Harry menutup mulutnya lagi.
xxx
Hermione mengabarinya tiga hari kemudian. Dia menghubungi Harry lewat jaringan Floo sangat larut malam, tampak acak-acakan.
"Berhasil."
"Apa?" Harry, yang tengah membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri, hampir menjatuhkan mugnya.
"Ekstraksinya berhasil."
Harry tak tahu apa yang mesti dia lakukan. Dia ingin tersenyum, tertawa, menangis lega. Dia akhirnya memilih untuk memeluk Hermione erat.
"Terima kasih."
"Jangan berterima kasih padaku, semua ini hasil kerja penyidikanmu," ujar Hermione hangat.
"Draco kembali?"
"Aku berasumsi begitu. Mantranya mengindikasikan ekstraksinya selesai."
"Di mana dia akan muncul?"
"Aku tak tahu, Harry, tapi aku yakin dia akan datang ke Manor sebentar lagi. Narcissa akan mengabarimu, kan?"
Harry mengangguk. Setelah Hermione pergi, dia terjaga hingga larut malam menunggu sesuatu. Sebuah panggilan dari Narcissa, atau surat dari Astoria. Tak ada yang datang.
xxx
Seminggu berlalu.
Harry merasa seakan seseorang perlahan memeras jantungnya. Menyesakkannya. Dia tak bisa fokus kerja; dia mencoba mengemudi tapi bahkan kegiatan itu menjadi tanpa arti sekarang.
Dia sudah tidak lagi mencari.
Dan itu adalah hal terburuk, Harry menyadari. Draco bisa berada di mana saja sekarang, dan bagian terburuknya adalah mengetahui bahwa Draco tidak ingin ditemukan. Harry bisa mencari sesuka hatinya, tapi dia tak akan pernah menemukannya. Hanya Draco yang dapat membawa dirinya sendiri pulang.
Malam itu, dia berdiri di balkon dan mendengarkan seseorang bersiul Blow the Wind Southerly. Dan dia merasa begitu marah pada Draco hingga dia ingin menangis.
Tapi dia tidak menangis.
Xxx
Hari berikutnya, Harry tak masuk kerja dengan alasan sakit. Itu tidak biasa baginya, dan bahkan Holdworth tampak khawatir, berkata semoga dia cepat sembuh.
Dia masuk ke dalam mobil dan mengemudi sampai ke Godric Hollow, lamanya tiga jam perjalanan. Dia tak keberatan. Jarak dan waktu, semuanya terasa relatif sekarang. Dia menatap beberapa properti-properti yang akan dijual. Ada sebuah pondok di pinggiran desa, tapi dia tidak dengan segera tertarik ke sana. Dia akan mengenali rumah ideal ketika melihatnya, pikirnya.
Perjalanan kembali ke London terasa lambat, dan ketika dia mencapai apartemen, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Dia memarkir mobil, berjalan perlahan menaiki tangga, merasa sangat lelah, dan membuka kunci pintu. Bagian dalam apartemen gelap dan tirainya terbuka. Dia menatap ke seberang dapur, pemandangan di balik balkon. Dia merindukan kereta-kereta itu, bila bukan hal lain.
Tapi kemudian, dia hanya menyukai kereta karena mereka pergi ke tempat-tempat.
Terdengar sebuah ketukan di pintu depan. Ron akan ada di sana —kudengar kau sakit hari ini, sobat— dan Hermione akan ada di sana juga, tampak simpatik.
Dia membuka pintu.
Draco berdiri di hadapannya.
Napas Harry tercekat. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan, apa yang harus dia rasakan. Dia ingin marah, memberondong pertanyaan, menuntut jawaban; dia ingin bertanya pada Draco kenapa.
Tapi dia tidak melakukannya. Dia berdiri di ambang pintu, sebelah tangan masih memegang kenop. Dan dia melihat kelelahan pada wajah Draco, kekurusan pada bahunya. Dan dia pun melangkah mundur. Draco membuka mulut, tapi Harry cepat-cepat memotongnya.
"Tidak apa-apa. Kau tak perlu menjelaskan apa pun," ujarnya.
"Aku bukan mau menjelaskan." Suara Draco terdengar kasar, parau. Tapi suaranya membawa hembusan kelegaan untuk Harry.
"Bagus."
Draco melangkah ke dalam kemudian, dan Harry menutup pintu.
Dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Dan dia tahu ini menggelikan, tapi dia takut mengatakan hal yang salah, membuat Draco pergi lagi. Dia ingin menuntut penjelasan dan jawaban, iya, tapi sekarang bukan waktunya. Draco tampak sangat kelelahan, seakan dia telah melalui neraka dan kembali. Jadi Harry hanya tetap diam dan menunggu.
Draco berdiri di tengah ruangan. "Masih sama," ujarnya, sembari mensurvei apartemen.
"Apanya?"
"Tempat ini. Aku bertanya-tanya apakah tempat ini akan tampak berbeda dari kunjunganku sebelumnya."
Kunjungan sebelumnya. Harry bertanya-tanya apakah itu undangan untuk berbicara tentang tiga tahun terakhir, tentang Draco yang terjebak di masa lalu, tentang segala yang terjadi.
Tidak, dia memutuskan.
"Aku akan segera kembali," kata Harry. Dia hanya perlu waktu sejenak untuk menenangkan diri, tanpa Draco mengamati dirinya.
Draco mengeryit. "Apa kau akan menghubungi ibuku? Atau Astoria?"
"Tidak. Kecuali kalau kau ingin," jawab Harry, dan Draco menggeleng.
"Belum."
Harry mengangguk dan pergi, dan akhirnya —di dalam privasi kamarnya— dia dapat menggigit bibirnya keras hingga dia mengecap darah. Dia duduk di ujung kasur dengan kepala di kedua tangan, telapak tangannya menekan matanya hingga dia melihat percikan. Kemarahannya masih ada di sana, tapi sekarang aliran kesedihan mengaliri dirinya, dan ada kebingungan juga, dan kekhawatiran dan hampir panik. Dan setitik kebahagiaan dan kelegaan tersembunyi di bawah semua itu.
Dia menghirup napas perlahan, lalu bangkit, berdiam sejenak lagi untuk menenangkan diri sebelum kembali ke dapur. Draco telah membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri, Harry lihat, dan entah kenapa itu menentramkan.
Dia tampak sangat lelah, pikir Harry, sembari mengamati Draco. Dan lalu dia menyadari bahwa bila Draco tidak berencana untuk menghubungi ibu atau pun mantan istrinya, kemungkinan dia berencana untuk menginap di sini.
"Aku akan membereskan kasur di kamar tamu," tawar Harry, sembari bertanya-tanya apakah dia salah mengartikan dan Draco berencana untuk pergi. Tapi Draco hanya mengangguk dan Harry menghilang ke dalam kamar tamu lalu mengambil setumpuk linen bersih dari dalam lemari laci. Kamar itu cukup kecil, dengan satu kasur dan meja samping serasi. Lemarinya sekarang dipakai untuk menyimpan linen atau semacamnya, dan salah satu lacinya penuh sesak oleh peralatan Quidditch lama yang Ginny lupakan. Meski begitu, Harry tidak merasa Draco akan mengeluh.
Dan dia memang tidak mengeluh. Dia berjalan memasuki kamar, meneliti sekeliling untuk sejenak, menaruh segelas air di atas meja, lalu duduk di ujung kasur. Harry menganggapnya sebagai tanda baginya untuk pergi.
"Beritahu aku bila kau butuh apa-apa," ujarnya, berharap bahwa Draco setidaknya membuka lemari makanan untuk dirinya sendiri. Dia tampak sangat butuh satu atau dua porsi makan yang banyak.
Draco mengangguk. Harry berhenti sesaat, lalu menutup pintu dan mematikan lampu dapur sebelum pergi tidur.
Dia tak bisa tidur.
Dia menendang dan berguling-guling, berusaha membuat kepalanya mencerna fakta bahwa Draco ada di sini. Di apartemen yang sama, hanya beberapa langkah di koridor. Sebagian dirinya berkata bahwa ini hanya mimpi. Tidak lebih dari mimpi, dan ketika dia bangun di pagi hari nanti, Draco akan hilang.
Sudah berapa kali dia membayangkan Draco pulang ke rumah?
Rumah.
Rasanya jauh lebih mudah ketika Draco bukan apa-apa selain memori remeh akan seorang remaja yang egois dan picik. Dulu, ketika Harry membaca judul berita hilangnya Draco dan membuang korannya tanpa pikiran lebih lanjut. Ketika dia masih mencintai Ginny, ketika dia memiliki seluruh karir terbentang di hadapannya, ketika Draco tidak lebih dari catatan kaki di halaman kehidupan Harry.
Dan sekarang…
Hal-hal dalam hidupnya mulai berjatuhan.
Dia mengalami keraguan serius soal karirnya, dia melayang begitu jauh dari Ginny hingga tujuh tahun kebersamaan runtuh bagai tebing karang ke laut, dan…
Semua malam-malam yang dia habiskan untuk mengemudi. Berbagai memori membasuh dirinya bagai ombak: pintu mengayun terbuka — ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan— sebuah cincin pernikahan berputar di lantai. Pertama kalinya Harry melihat Renault Mégane — apa gunanya itu? Duduk dalam kotak, hanya pergi kemana pun orang lain membawamu— padang-padang melintas cepat bagai jalinan emas musim panas.
Malam-malam panjang yang dia habiskan untuk membaca buku-buku teks lama Hogwarts, catatan tangan bagai kartu pos kesepian — Mantra tak akan mempan bila dirapalkan pada diri sendiri. Garis pesisir Cornish bangkit bagai hantu untuk menyapa Harry, dan dia dapat mendengar angin bertiup ke selatan melewati tebing karang terjal, bergegas di sepanjang jalan raya tanpa ujung, bersiul menembus rantai ayunan kosong pada taman bermain kosong.
Dan di suatu tempat antara di sini dan poin paling selatan dari daratan Britain— di suatu tempat antara sekarang dan masa lalu— di suatu tempat antara Aku memerlukan burung hantu dan Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun?— di suatu tempat antara berdiri diam dan berlari di udara— Harry mulai merasakan sesuatu untuk Draco. Afeksi, bahkan mungkin ketertarikan.
Dan itu adalah realisasi yang memusingkan dan mengena, tapi dia tak dapat menghindarinya. Bahkan sekarang, suara Draco berbisik menembus otaknya bagai salju.
Mudah untuk pergi. Sulit untuk pulang.
Mungkin rumah bukanlah bangunan.
Mungkin rumah adalah seseorang.
xxx
Harry bangun pagi berikutnya. Hari Sabtu, dia menyadari setelah panik sebentar dan berpikir dia telat masuk kerja. Ada suara yang memanggilnya dari dapur. Hermione. Pastilah dia menghubungi lewat Floo ke sini.
"Tunggu sebentar," Harry balas berseru, cepat-cepat memakai baju bekas kemarin. Dia separo melompat-lompat ke dapur, masih berusaha memasangkan kaus kaki. Hermione telah mengobok-obok isi lemarinya, mencari kantung teh.
"Masih tidur? Sekarang hampir tengah hari," ujar Hermione. "Ron bilang kau tak masuk kerja kemarin. Kau tahu, hal terakhir yang kau butuhkan adalah jatuh sakit. Kau begitu tertekan akhir-akhir ini, Harry, dan aku tahu hal-hal sangat sulit, terutama dengan kasus Malfoy—
Harry melonjak kaget, kemudian bersyukur pada Merlin bahwa Hermione masih membelakanginya. Dia tak tahu kenapa, tapi entah bagaimana dia merasa dia tidak boleh mengatakan apa-apa. Draco sudah mengatakan dengan jelas bahwa dia masih belum ingin menghubungi siapa pun, dan Harry —bila dia harus jujur pada dirinya sendiri— merasa agak protektif soal keseluruhan situasi. Bila Draco masih belum ingin siapa pun tahu, maka mereka tidak akan tahu.
"—tapi kau betul-betul harus fokus pada hal lain," kata Hermione, sembari mengambil dua mug dan mengetuk tongkat sihirnya pada wadah teh, menghangatkan airnya. "Harry, aku tahu kau tak ingin mendengar ini, tapi…" Hermione menatapnya degan ekspresi lembut. "Terkadang, bahkan meski kita telah melakukan segala yang kita bisa, hal-hal masih tidak berhasil. Terkadang kita harus merelakan."
"Aku tahu," kata Harry, dan Hermione mengerjap padanya.
"Benarkah?" Dia mengatur kantung tehnya dengan sembarang. "Aku tahu kau cukup terobsesi dengan kasus ini, Harry, dan semua orang dapat melihat kasus ini mulai membebanimu. Berjanjilah padaku kau akan beristirahat, oke?"
"Baiklah."
Hermione mengangkat sebelah alis padanya. "Semuanya baik-baik saja?"
"Baik." Harry mencoba tersenyum. "Di mana Ron?"
"Oh, dia janji pada Molly akan membantu membersihkan gudang sapu, jadi— oh! Itulah alasan kenapa aku kemari! Ginny bilang dia lupa untuk membawa perlengkapan Quidditch lamanya, dan aku bilang aku bisa membawakannya untuk dia." Hermione menaruh mugnya di atas konter dan beranjak menuju kamar tamu sebelum Harry dapat mengutarakan sepatah jawaban pun.
"Jangan—" cegah Harry, ketika Hermione membuka pintu dan melangkah cepat ke dalam.
"Dia bilang barangnya di simpan dalam laci lemari," ujar Hermione basa-basi, dan Harry mempercepat laju langkahnya hingga dia berdiri di dalam kamar.
Kosong. Kasurnya dibereskan rapi, meja samping kasur tertutup selapis debu. Hermione tengah mengobrak-abrik isi laci lemari.
"Oh, ini dia." Hermione mengetuk tongkat sihirnya dengan santai pada berbagai benda-benda Quidditch hingga benda-benda itu menciut menjadi seukuran saku. "Yah, aku harus segera pergi. Aku hanya ingin mengecek bahwa segalanya baik-baik saja— aku ingin mengobrol dulu tapi aku sudah janji pada Ron untuk menemuinya di the Burrow pada jam makan siang. Kau boleh ikut kalau mau," tambah Hermione, menunggu penuh harap, dan butuh waktu sesaat bagi Harry untuk merespon.
"Aku…tidak, aku…"
"…butuh waktu sendirian?" tanya Hermione. "Tidak apa. Hanya saja… Jaga dirimu baik-baik." Dia berdiri dan beranjak keluar ruangan. Harry terdiam di tempat untuk saat yang lama, menatap dinding putih dan perabot berdebu. Dia hanya samar-samar menyadari Hermione masih bicara padanya, dan butuh banyak sekali usaha baginya untuk keluar dari dalam kamar dan mengantar Hermione. Hermione memberinya tatapan curiga sebelum pergi.
"Kulihat kau masih khawatir soal dia, Harry," ujarnya menuduh. "Kau tampak sangat parah. Berjanjilah padaku kau akan melakukan yang terbaik untuk rileks dan beristirahat, oke? Jaga dirimu. Pergilah mengemudi, tapi tolong bicara padaku atau Ron bila kau perlu."
Hermione memeluknya singkat kemudian melangkah ke dalam perapian, ber-Floo pergi. Harry berdiri sendirian di tengah apartemen kosong, keheningan nampak berdering di sekelilingnya bagai riak air.
Beberapa menit kemudian, ketika dia hendak meraih kartu kunci Renault —selalu disimpan di pojok konter dapur— dia menyadari kuncinya hilang.
xxx
Harry membuka pintu menuju tempat parkir bawah tanah. Siang itu cerah dan panas, cuacanya ringan dan menyenangkan. Kebanyakan penghuni apartemen sudah berangkat, pergi untuk bersantai menikmati hari Sabtu dengan keluarga atau kawan. Tempat parkir mobil hampir kosong.
Tapi Renault Mégane-nya masih ada di sana.
Harry berjalan ke arah Renault. Ketika dia semakin dekat, dia dapat melihat garis samar seseorang tengah duduk di kursi pengemudi. Dia menempatkan tangannya pada gagang pintu kursi penumpang dan membukanya, berhenti sejenak sebelum masuk dan menutup pintu.
Draco duduk di kursi pengemudi, menatap lurus ke depan seakan ada jalan raya terbuka di hadapan mereka alih-alih tembok beton. Kedua tangannya bersitirahat di atas roda kemudi. Dia tidak bicara, dan Harry membiarkan keheningan mengelilingi mereka. Rasanya sungguh sangat aneh —membingungkan entah bagaimana— untuk duduk di kursi penumpang, setelah menghabiskan berbulan-bulan sebagai pengemudi tunggal.
Draco tidak akan mengatakan apa-apa, pikir Harry, sembari meliriknya. Selalu memilah, selalu dalam kendali sempurna… Satu-satunya saat di mana dia membiarkan Harry melihat isi kepalanya adalah ketika dia pikir dia terjebak di masa lalu selamanya.
Harry perlu memilih kata-kata dengan hati-hati, atau dia punya firasat momen di antara mereka akan hancur berkeping-keping bagai kaca, dan membuat Draco pergi selamanya.
"Kita bisa pergi ke mana saja," ucap Harry pelan.
Dan dia tahu itu adalah hal sempurna untuk diucapkan, karena mulut Draco berkedut dan dia hampir, hampir tersenyum.
"Ke mana saja?"
"Ke mana saja."
Hening singkat lagi. Draco menarik napas perlahan, lalu menekan tombol awalan. Mesin mobil mendengkur hidup dan napas Draco tercekat. Harry ingin mengatakan sesuatu, tapi dia mengenali bahwa momen ini bukan miliknya.
Draco membenahi letak kaca spion. "Kulihat kau sudah menata ulang beberapa hal, Potter," ujarnya dingin, tapi Harry tidak terganggu. Dia dapat melihat getaran samar pada tangan Draco, cara Draco menyembunyikan kegugupannya dengan menatap pengukur bahan bakar, mengecek kaca, menyesuaikan pegangannya pada roda kemudi.
Akhirnya, dia melepaskan rem.
Maju, Harry ingin berkata. Kemudilah. Tapi dia menahan lidahnya.
Draco menggeserkan gigi mundur. Matanya berkelip pada kaca lagi dan gerakannya begitu familiar hingga Harry harus membuang muka untuk menyembunyikan senyum.
Apakah kita makin dekat, atau malah makin tersesat?
Itu tidak penting, pikir Harry.
xxx
Draco mengemudi.
Rasanya hampir mengerikan karena Draco sangatlah tegas. Ketika dia melihat lampu kuning, dia menginjak pedal gas; ketika dia belok di tikungan, dia hanya memelan secara minimal. Ketika dia berhenti di lampu merah, dia berhenti sangat dekat dengan mobil di depannya. Dia mempertahankan batas kecepatannya secara persis dan tak pernah berhenti— bahkan ketika sebuah mobil belok secara tak terduga di hadapan mereka, Draco hanya menyetir ke sebelah kanan dengan mulus dan sedikit mengurangi tekanan pedal gas.
Harry berakhir mencengkeram ujung tempat duduk hingga buku jarinya memutih, bersandar jauh ke belakang dan menggigit bibir untuk menghentikan dirinya dari mengomeli Draco —awas, hati-hati, kenapa bukan aku saja yang menyetir—
"Berhentilah panik, Potter."
Harry mengerling Draco. "Aku tidak panik." Dia berhenti. "Tapi kan sudah tiga tahun lamanya sejak terakhir kali kau mengemudi, mungkin kau harus— ada mobil di depan kita, sepertinya dia bakal memelan untuk lampu merah, kuharap kau tahu—" Dia tak bisa menahan perasaan panik.
"Aku tahu." Draco menghentikan mobilnya dengan mudah.
"Kau beruntung kau tidak menabrak mereka—"
"Ini bukan keberuntungan. Ini presisi. Aku tahu tepatnya kapan harus berhenti, tepatnya kapan harus memelan, tepatnya kapan harus belok. Jangan salah artikan kepercayaan diriku sebagai kecerobohan."
Harry, sialnya, menyadari bahwa dia tak pernah mendapati Draco semenarik ini, ketika dia menyampaikan ceramah dengan kalem, nada bicaranya dipungkiri oleh ketajaman matanya. Harry memalingkan mata dan setelah beberapa lama, Draco maju pada glovebox —tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya— membukanya dan mengambil atlas, menyerahkannya pada Harry.
"Apa?" tanya Harry, untuk sesaat tidak paham.
"Temukan suatu tempat."
"Ke mana?"
"Ke mana saja. Gambar garis pada peta dan aku akan membawa kita ke sana."
Harry membuka halaman atlasnya secara acak. "Kita pergi ke Sutton-on-Sea." Dia membuka kembali halaman luar London, berusaha menemukan rute terbaik, fokus pada tugas navigasi.
Tunjukkan padaku.
xxx
Mereka mencapai A120, kaki langit London cerah —siluet tajam melawan langit biru pucat— menghilang pada kaca spion. Pinggiran kota terbentang di sekitar mereka ketika Draco mengendara menuju cuaca cerah musim semi. Kemudian pinggiran kota meleleh menjadi lembah dan bukit-bukit kecil, dan Harry memeta daratan di hadapannya, jari-jarinya mengikuti garis sungai dan petak hutan berwarna hijau.
Mereka berhenti di Huntingdon untuk mengisi ulang tangki bahan bakar dan beristirahat. Draco bersandar ke sisi mobil dan menengadah ke langit; Harry membaca papan iklan terdekat yang mendeklarasikan bahwa Hundington adalah kota kelahiran Oliver Cromwell.
"Menarik," ujar Draco. "Mengiklankan kota mereka sebagai tempat kelahiran diktator secara terbuka."
"Yah, beberapa orang berpikir dia adalah pahlawan." Harry memandang papan iklan. "Teroris bagi satu orang adalah pejuang kemerdekaan bagi orang lainnya, seperti kata mereka."
Mereka masuk kembali ke dalam mobil. Harry memandang dunia bergulir cepat, dan itu mengingatkannya pada memori-memori: pemandangan-pemandangan terkontruksi di sekitarnya, hanya untuk menghilang lagi sesaat kemudian. Membangun ulang, kemudian larut. Pemandangan runtuh dan memudar bagai ombak menabrak karang.
Harry tertidur di suatu tempat antara Algarkirk dan Wyberton, tepat ketika mereka melintasi sungai.
Sungai dan langit, pikirnya tepat sebelum dia jatuh tertidur. Lingkaran tanpa ujung.
In inceptum finis est.
tbc ~ 

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart