Skip to main content

Running on Air © eleventy7 chapt 2


Running on Air © eleventy7
Harry Potter © J.K. Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.


CHAPTER 2
.
Harry meneliti lebih keras.
Malfoy meninggalkan Eeylops, catat si penyidik pertama. Tak ada saksi lain. Terdapat wawancara dengan istri Malfoy, Astoria Greengrass, yang melaporkan hilangnya Malfoy setelah dia tak kunjung pulang suatu malam. Tipikal wawancara, pikir Harry, sembari membaca transkrip. Astoria tampak 'dalam keadaan menyedihkan' dan terbukti hanya berguna sedikit. Meski begitu, Harry membacanya lagi dan lagi. Dia juga mengunjungi pensieve lagi dan lagi hingga dia hapal di luar kepala.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku memerlukan burung hantu. Ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan."
Si penjaga toko memainkan perannya sebagai tipikal lelaki paska-perang menemui Pelahap Maut paska-perang. Kata-kata singkat dan bahasa tubuh kaku yang mengatakan aku tahu siapa kau, tapi aku terlalu beradab untuk mengungkitnya.
Draco Mafoy pun memainkan perannya. Tidak nampak kurang ajar atau terlalu menuntut, pikir Harry, sambil menyaksikan Malfoy memilih burung hantu untuk yang kesepuluh kalinya. Suaranya menyiratkan kesopanan netral, bahasa tubuhnya kecil dan terbatas. Tidak menarik perhatian, tidak membuat gerakan mencolok atau berlebihan. Aku pun tahu siapa diriku, dan aku lelah orang-orang mengungkit-ungkit.
Dia melihat memorinya lagi. Sebelas kali, dan masih belum dapat kemajuan. Inilah bagian tersulit dalam memecahkan kasus, pikir Harry. Memulai. Mencari sesuatu, tapi tak ada yang tahu apa itu. Bagai mencari buku tanpa tahu apa judulnya atau siapa pengarangnya.
Buku…
Hermione.
Harry memutuskan untuk mengunjungi Hermione besok.
xxx
"Kau mau bantuanku?" Hermione langsung tahu begitu melihatnya berdiri di perapian. Ron sedang dalam tugas mengintai; meski begitu, makan malam sedang disiapkan di dapur dan Harry tahu dia diundang tanpa kata dari Hermione.
"Kau penyihir paling cerdas yang kukenal."
"Jangan mulai deh," tawa Hermione. "Aku mendengarnya dari Ron setiap kali dia perlu bantuan untuk melacak artifak atau ramuan gelap."
Harry tersenyum garing dan melangkah ke dalam ruangan, menaruh file di atas meja dapur. Lebih baik langsung ke inti, pikirnya. Mereka terlalu mengenal satu sama lain untuk berbasa-basi.
"Draco Malfoy."
Hermione kaget. "Apa? Kau melihat dia?"
"Tidak. Itulah masalahnya."
Alis Hermione bertautan, meski hanya sejenak. Lalu dia mengerling file dan ingat. "Oh, Harry," ujarnya, tampak kesal. "Mereka tidak menugasimu kasus yangitu, tentunya?"
Harry mengangguk dan menarik kursi, kemudian duduk.
"Oh, yang benar saja." Hermione mendesah. "Harusnya mereka lebih pengertian sedikit. Well, kalau kau minta pada Holdsworth untuk pergantian file, aku yakin—"
"Aku bisa bersikap objektif, tahu," kata Harry, sedikit jengkel. "Ini kan sudah jadi kerjaanku. Menyelesaikan kasus."
Hermione menatapnya sembari mengangkat kedua alis, kemudian berbalik dan menyibukkan diri dengan ceret.
"Mau teh?"
"Kau tak percaya padaku."
"Aku percaya kok. Mau teh?"
"Ya, terima kasih," kata Harry hati-hati. "Dengar, Hermione—"
"Aku bilang aku percaya padamu, kan? Sekarang, kau butuh bantuan apa?" Dia memasukkan sesendok gula ke dalam mug dan berbalik, mengerling Harry. Pasrah, Harry membiarkannya membuka-buka file. Hermione memindainya, makin jauh dia membaca dia tampak makin terkejut.
"Bagaimana?" tanya Harry ketika dia sudah selesai.
Hermione melirik padanya. "Yah sejujurnya…aku cukup kaget. Aku selalu mengira bahwa Malfoy menghilang ke tempat liburan mewah, untuk lari dari kehidupan lamanya. Tapi ini…"
"Aku tahu." Harry menatap meja, jari-jari menelusuri corak kayu. "Kedengarannya seperti hilang secara paksa, kan?"
Lengan Hermione berkedut sedikit, seolah mengingat kenang-kenangan siksaan Bellatrix. Hilang secara paksa. Istilah itu biasa dipakai Kementrian pada masa kekuasaan Voldemort. Lebih enak didengar daripada penculikan atau pembunuhan.
"Kau sudah mengunjungi Eeylops?" tanya Hermione.
"Berkali-kali. Aku tak yakin petunjuk apa lagi yang bisa kudapat dari dalam memori itu."
"Maksudku bukan memorinya. Tapi tokonya yang asli."
Harry merengut. "Menurutmu ada petunjuk yang tertinggal di sana?"
"Tidak," ujar Hermione. "Tapi mungkin itu bisa memberimu sudut pandang baru." Dia mengetuk file. "Apa kau keberatan jika aku mengakses memorinya?" Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang kau lewatkan, tambah Harry dalam hati. Hermione terlalu bijak untuk mengatakannya sendiri.
"Aku sih tak masalah," ujar Harry, "tapi Holdsworth mungkin keberatan. Kerahasiaan dan semacamnya. Asalkan kau jangan cerita pada siapapun, aku akan baik-baik saja."
"Kau tahu aku tak akan bilang-bilang." Hermione menegak tiba-tiba dan mengerling dapur. "Oh. Teh-nya mulai dingin."
Harry kembali duduk, mengerling file. Dia harap Hermione bisa memberi sugesti yang lebih konkrit, tapi Harry sendiri tak punya ide yang lebih baik.
Sudut pandang baru.
xxx
Bel perak berdenting pelan ketika Harry memasuki toko, dan dia merasa déjà vu yang amat dalam. Di belakang konter, penjaga toko berambut kelabu menatapnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah. Harry memakai ramuan polijus — dipilih dari stok acak ramuan Kementrian — supaya tak ada yang mengenalnya. Ketika menginterogasi saksi memang lebih mudah begini.
Dan Merlin tolonglah dia, dia terlalu terjebak dalam memori hingga dia mengulang hal pertama yang muncul di benaknya.
"Aku memerlukan burung hantu. Ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan." Harry mengerjap, merasa tak nyaman oleh kata-kata asing di mulutnya; bagai menyanyikan lagu yang bukan miliknya.
"Kami memiliki beberapa jenis burung hantu yang menunjukkan ketepatan geografis," ujar si penjaga toko, mengarahkan Harry ke tempat koleksi burung hantu.
Toko ini tidak berubah sama sekali, pikir Harry, sembari membiarkan si penjaga toko lanjut menjelaskan dagangannya. Beberapa jendela sempit menyinari toko oleh cahaya matahari redup, meskipun masih lebih cerah dibanding cahaya matahari di bulan September. Kotak-kotak perlengkapan berceceran, dan burung-burung hantu menggesekkan bulu-bulu mereka pada batang kayu.
Dia bisa saja menanyai si penjaga toko, tapi nampaknya dia tak akan bisa memberi informasi lebih. Lagipula, sudah tiga tahun lamanya, dan Draco Malfoy hanyalah pelanggan lainnya.
"Burung hantunya bisa mengantarkan diri sendiri," ujar si penjaga toko, menyadari Harry yang sedang mengamati burung hantu elang bermata emas. "Anda bisa menjemputnya nanti atau tinggal tulis alamat anda dan menunggu kiriman."
Harry terlonjak. Si penjaga toko menatapnya terkejut.
"Aku memang sedang mencari burung hantu," kata Harry, "tapi aku juga tengah menginvestigasi kasus dingin pada saat ini." Dia mengangkat lencananya, bersyukur bahwa yang tertera di sana hanyalah referensi nomor alih-alih namanya. "Draco Malfoy."
Si penjaga toko menatapnya kosong. Kemudian— "Oh, dia. Dengar, aku sudah memberikan memori, dan aku takut aku sudah tidak begitu ingat kejadiannya sekarang."
"Hanya sedikit pertanyaan singkat, cuma itu," kata Harry. "Mengenai burung hantu yang dia beli. Apakah burung hantunya kembali ke toko?"
"Aku tak ingat."
"Apa Anda punya catatannya?"
"Aku takut kami selalu menghancurkan catatan penjualan setiap tahun." Si penjaga toko memandangnya aneh dan Harry menyadari bahwa rambutnya mulai menghitam lagi; dia meraba-raba mencari botol ramuan polijus dan minum seteguk. Si penjaga toko mengamati botolnya curiga. "Kau minum-minum sambil kerja?" tuntutnya. "Siapa namamu? Akan kulaporkan kau, kau tahu."
"Ramuan cacar nagaku," sangkal Harry, dan si penjaga toko buru-buru menjauh.
Akhirnya Harry membeli sekotak makanan burung hantu, meninggalkan segenggam knut di meja konter, kemudian keluar pintu. Bel perak berdering pelan di belakangnya. Dia berhenti sejenak, tergoda untuk mencoba melacak jejak kaki Malfoy, tapi selain belok ke kiri dia tak tahu kemana Malfoy pergi.
Dia pun pulang.
xxx
Bagi sebagian orang, pulang itu sangat mudah.
Mereka pulang dengan cara yang sama mereka menarik napas, atau melangkah, atau mengerling bintang ketika berada di bawah langit malam. Pulang adalah perjalanan yang dipelajari lewat rute, yang kemudian dihapal dengan hati. Belok di sini, ke pojok sana, sepuluh langkah ke pintu depan — dan mereka tiba di rumah.
Bagi Harry, pulang adalah perjalanan yang mesti dia pikirkan, dan dia sangat sadar dengan ukuran rumah yang menjadi tujuannya. Apartemen dua kamar di Westminster, berpelitur dan mengkilap, menampakkan pemandangan langit barat daya London yang sederhana. Tempat itu menghabiskan jumlah uang yang banyak tapi lokasinya ideal. Rumah sempurna bagi Ginny, yang harus sering bepergian ke luar negeri untuk pertandingan Quidditch. Dan, seperti yang Ginny bilang ketika dia memesan apartemen itu, tempat yang sempurna bagi Harry juga, karena dekat dengan Kementrian.
Harry ber-Apparate ke depan pintu dan membuka kunci dengan lambaian tongkat sihir. Di dalam, lampu-lampu dan Radio Penyihir sedang menyala. Untuk sesaat, hati Harry melambung; terlalu sering dia pulang ke apartemen gelap dan kosong, Ginny masih belum pulang latihan.
"Harry!" panggil Ginny dari dalam kamar. "Kau pulang juga! Biasanya aku yang pulang telat."
Harry masuk ke kamar dan menaruh tas — penuh dengan file — ke lantai. Hatinya pelan-pelan tenggelam lagi. Ginny sedang sibuk kesana kemari. Dia menoleh dan nyengir pada Harry, bintik-bintik di wajahnya mengkerut seperti segenggam pasir.
"Coba tebak."
Harry tak perlu menebak. Dilihat dari banyaknya perlengkapan Quidditch yang Ginny jejalkan ke dalam tas, dan melihat tas kecil di meja samping kasur, tim Ginny menang pertandingan pertama musim ini.
"Selamat Ginny," ujar Harry. "Maaf aku tak bisa datang ke pertandingan."
"Hanya pertandingan pra-eliminasi kok," jawab Ginny enteng. "Kami melawan Margate Rovers hari Sabtu nanti."
"Itu tak begitu jauh," kata Harry, sembari mengamati tas bawaan Ginny. Ginny berhenti sebentar dan tampak menyesal.
"Tapi aku akan berangkat malam ini, supaya kami bisa latihan di lapang Margate besok." Dia menyambar Quaffle latihan dan menjejalkannya ke dalam tas. "Oh, bagaimana kasusmu?"
"Bagus. Berhasil menutup kasus Fenwick."
"Benarkah? Brilian." Ginny menyambar tas. "Tiket ada di atas meja kalau-kalau kau bisa datang ke pertandingan. Love you." Kemudian dia meraih portkey di ujung kasur — bungkus bekas Jammie Dodger — dan menghilang dalam sekejap mata.
Harry duduk di ujung kasur dan mendengarkan kesunyian, yang terasa makin kuat oleh dinding putih, lantai mengkilap, dan dapur yang tak pernah mereka pakai.
Harry rebah perlahan, hingga dia berbaring di atas kasur, dan menatap langit-langit.
xxx
Malam itu, Harry bermimpi.
Dia berada dalam memori lagi. Terdengar suara gesekan bulu burung dan cakar ke kayu. Draco Malfoy berjalan memasuki toko.
Ada yang berbeda.
Harry memiringkan kepala, mengerutkan kening. Entah bagaimana tokonya nampak lebih cerah. Apakah seseorang menyalakan lilin? Lentera?
Bukan. Cahaya matahari, pikirnya. Lebih terik, bagai cahaya matahari di musim panas. Dan si penjaga toko… wajahnya terasa berbeda, bagai lebih tua. Jubahnya juga entah bagaimana tampak lebih usang, lebih kusut.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku memerlukan burung hantu. Ketepatan lebih diutamakan daripada kecepatan."
Harry berjalan mendekati Malfoy. Mencari petunjuk, pikirnya samar. Tapi dia sudah begitu sering menyaksikan kejadian ini…
Jeda sesaat pada percakapan antara Malfoy dan si penjaga toko. Harry, menyadari keheningan yang tak biasa, merengut dan mengangkat pandangannya.
Malfoy sedang memandangnya.
Mata Harry membelalak sejenak sebelum dia ingat bahwa ini hanyalah memori. Malfoy bukan sedang menatapnya, tapi menatap menembus dirinya.
Lalu Malfoy melirik tangannya sendiri. Otomatis Harry mengikuti arah pandangnya.
Tak ada yang menarik pada tangan Malfoy, pikir Harry. Dia mengangkat pandangannya lagi, tapi Malfoy sudah menatap hal lain; burung hantu lainnya.
Harry terbangun, merasa bingung. Memori itu sampai terbawa mimpi. Dia meraih segelas air yang biasa ada di meja samping kasur.
Kemudian dia terhenti, mata sedikit berkilat.
Tangan Malfoy.
Dia tak memakai cincin. Cincin pernikahan. Cincin itu tak ada di sana.
xxx
Hermione menatap sekeliling kandang burung hantu. Dia setuju untuk mengunjungi memori dalam pensieve bersama Harry, supaya Harry bisa menunjukkan penemuannya.
"Dia tampak kurus." Hermione mengamati Malfoy, tapi Harry cepat-cepat menyuruhnya diam.
"Lihat…sebentar lagi, dia akan melirik tangannya… Aku tak percaya aku tidak menyadari itu sebelumnya! Sebentar lagi…"
Mereka menunggu. Malfoy melihat burung hantu, mengangguk, menunjuk salah satu. Harry merengut.
"Harusnya dia sudah…"
Tapi tanpa mereka sadari, Malfoy sudah menyelesaikan pembeliannya lalu pergi. Hermione memberinya tampang minta maaf.
"Yah, mungkin kau menyadarinya tanpa sadar lalu mimpimu menanamkan informasi itu untukmu."
"Kurasa begitu."
"Omong-omong," kata Hermione menyemangati, "ini permulaan. Menurutmu apa artinya itu?"
"Apa, tidak pakai cincin? Aku tak tahu. Bisa berarti apa saja. Mungkin pernikahannya runtuh; mungkin cincinnya hilang; mungkin dia tak suka memakainya."
"Mungkin dia mengubah ukurannya karena berat badannya turun," ujar Hermione, dan Harry harap dia kepikiran kesana.
"Itu poin yang bagus sebenarnya," Harry mengakui.
Bagaimanapun, ketika mereka keluar dari dalam memori, Harry mencari alamat Astoria, terakhir kali diperbaharui dalam file tiga tahun lalu.
Dia harap alamatnya belum berubah.
xxx
Musim panas mulai mendingin menjadi kilau lembut biru dan hijau malu-malu. Rumah Astoria — sebuah gedung gaya Georgian besar dengan atap runcing dan dindingnya yang berwarna batu kapur ditumbuhi ivy muda — berlatar belakang kebun hijau lebat berhiaskan bunga-bunga liar berwarna cerah dan beberapa pohon ek muda atau pohon kastanye anggun.
Ini jenis tempat yang Harry inginkan sebagai rumah.
Dia melintasi jalan sempit ke pintu depan, menunduk ke bawah terali bunga mawar berwarna merah muda, lalu mengetuk pintu dua kali.
Astoria menjawab.
Harry, yang telah diajarkan untuk meneliti setiap detail, menangkap ekspresi terkejut singkat yang melintasi wajah Astoria. Dia mengenakan gaun musim panas santai, bergambar bunga mawar, dan rambutnya yang sewarna matahari diikat sembarang ke belakang. Harry menduga ini bukan penampilan yang biasa dia pakai untuk menyambut tamu, lalu tersenyum minta maaf.
"Aku berkunjung pada waktu yang tidak tepat, ya?"
"Tidak, tidak sama sekali," kata Astoria setelah beberapa saat. Matanya berkelip ke bekas luka Harry dan cepat-cepat berpaling; Harry memilih untuk tidak memakai ramuan polijus untuk kunjungan yang satu ini.
"Aku kemari untuk urusan Kementrian," ujar Harry. "Boleh aku masuk?"
"Aku…tentu saja." Astoria melangkah mundur, mengizinkan Harry untuk masuk ke koridor sejuk, lalu menutup pintu.
Sedang memanggang kue, pikir Harry, sambil menghirup aroma manis kue. Dia melangkahi sebuah boneka kain dan merengut. Dia tak menyadari Astoria sudah memiliki anak.
"Teh?" tanya Astoria.
"Terima kasih."
Dia mengikuti Astoria ke dapur yang diiluminasi cerahnya cahaya matahari. Radio Penyihir di atas konter menayangkan lagu ceria; dipadukan dengan aroma panggangan manis dan dapur berantakan — tepung bertebaran di atas konter, juga sendok pengaduk beroles mentega — Harry merasa sedikit lebih rileks.
Terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Seorang anak perempuan kecil — tidak lebih dari satu setengah tahun, tebaknya — sedang menggenggam stroberi setengah makan dan menatapnya.
"Halo," sapa Harry. Si anak mengamatinya sebentar, lalu menggigit stroberi sebelum menggumamkan "alo" sebagai jawaban dan tertatih-tatih keluar dari pandangan.
Astoria menuangkan secangkir teh untuk Harry dan menaruhnya di atas meja dapur. Harry mengerti isyaratnya lalu duduk di kursi, pertama-tama menyingkirkan mainan Hogwarts Ekspress dan beberapa boneka burung hantu.
"Aku kemari soal Draco Malfoy," ujar Harry, sembari mengamati wajah Astoria lekat-lekat.
Astoria memucat, cengkeramannya di mug mengerat. "Tidak," katanya. "Permintaanku sudah diterima, mereka setuju aku sudah melakukan segala yang kubisa untuk mencarinya—"
"Permintaan apa?" tanya Harry, bingung. Astoria menatapnya seolah dia baru saja menanyakan dari arah mana matahari terbit.
"Permintaan perceraianku. Perceraiannya sudah dikabulkan. Tidak bisa dibalik lagi." Astoria tampak cemas seketika. Harry cepat-cepat menggeleng.
"Tidak, ini tak ada hubungannya dengan itu. Aku ditugaskan untuk menginvestigasi kasusnya."
"Mereka sudah menginvestigasinya. Tiga tahun lalu." Kecemasan Astoria memudar menjadi kebingungan.
"Iya, sekarang sudah menjadi kasus dingin." Harry ragu-ragu, tapi pengelola kasus pendahulu sudah menanyakan semua pertanyaan dasar: dimana terakhir kali dia melihat Malfoy, apa ada orang yang menginginkannya celaka, dan lain sebagainya. Menanyakan pertanyaan macam itu sekarang tak akan menghasilkan apapun. Harry menyesap teh untuk mengumpulkan pikiran, tapi karena dia tak pernah pandai dalam hal strategi wawancara, jadilah dia mengatakan hal pertama yang muncul dalam pikirannya. "Aku tak menyadari kau sudah menikah lagi."
Astoria memberinya senyum kaku. "Matthew Venn. Kau tak akan kenal dia." Mungkin dia memergoki Harry mengerling pintu, karena dia menambahkan, "putri kami, Sophie."
"Orang-orang menghakimimu karena itu," kata Harry pelan-pelan. Astoria memalingkan tatapan, menunduk pada cangkir teh.
"Tentu saja. Itulah kerjaan orang-orang, bukan? Mereka menghakimi. Orangtuaku menyukai Draco. Kalau mengikuti keinginan ibuku, aku akan jadi janda selamanya. Mengunjungi berbagai tempat dengan pakaian hitam menyedihkan. Dia pikir aku mengerikan karena menikah lagi." Dia mengetuk jarinya ke lingkaran mug. "Aku sangat dekat dengan Draco, tentu saja, dan ketika dia pertama menghilang aku sangat kacau." Sesuai dengan deskripsi wawancara penyidik terdahulu, pikir Harry. "Tapi kita belajar untuk terus melanjutkan hidup, bukan?"
Astoria tampak menunggu persetujuan, jadi Harry memberikannya. "Ya, itu benar."
Astoria mengangguk. Percakapan berjalan tenang; Astoria menelusuri corak pada mug, satu kuku jarinya melintasi cetakan gambar bunga-bunga dan dedaunan. Harry menatapnya. Menatapnya lekat-lekat, seperti cara yang sudah diajarkan untuk meneliti barang bukti.
Astoria tampak santai. Tak pernah terlalu menjaga gerak-gerik, baik dari caranya menyelipkan kaki ke bawah kursi ataupun menelusuri corak mug. Murah senyum, pikir Harry, melihat garis-garis tawa yang mulai terbentuk di sekitar matanya. Kulit sawo matang ringan dan rambutnya yang kemerahan oleh matahari menandakan orang yang senang di luar ruangan. Setumpuk buku di pojokan yang berjudul seperti Mantra Berkebun Mudah dan Panduan Inggris untuk Mensukseskan Panen menguatkan hal itu, meskipun buku-buku itu mungkin punya Matthew.
Kata-kata meluncur sebelum dapat Harry hentikan. "Kau tidak seperti tipe orang yang akan Malfoy nikahi."
Mata Astoria berkelip padanya, dan Harry kaget melihat ekspresi Astoria. Terkejut, pikir Harry, dan… waspada? Mungkin juga setitik kecurigaan…
"Oh? Dan kenapa itu?" tanya Astoria. Ya; suaranya terdengar hati-hati sekarang.
Harry menggedik. "Sejujurnya, aku selalu membayangkan istri Malfoy sebagai dirinya versi perempuan." Dia mengatakannya sebagai candaan, berusaha untuk melunakkan Astoria lagi, tapi Astoria tidak tersenyum.
"Kalau begitu kurasa kau tidak mengenalnya dengan baik," ujarnya.
"Tidak," kata Harry, sembari mengamati Astoria. "Memang tidak."
Kemudian dia pamit pulang. Dia akan berkunjung lagi, dan menanyakan soal pernikahannya di lain waktu. Perasaan Harry mengatakan membicarakan hal itu sekarang tak akan menghasilkan apapun; Astoria sudah mundur dari keterbukaannya.
Akan tetapi dia mengantar Harry ke depan dengan cukup sopan, dan Harry pun pergi.
xxx
Harry kembali ke flat-nya di Westminster. Pulang ke kotak di atas langit.
Dia menuangkan segelas wiski Irish untuk dirinya sendiri dan berdiri di balkon, menatap kaki langit London. Harry ingat bagaimana mata Ginny menyala, lampu-lampu kota terefleksi di pupil matanya, ketika mereka pertama kali berdiri di jendela dan melihat pemandangan. Cantik sekali, Ginny berucap. Dia memang selalu memiliki ambisi dan ketertarikan pada tempat-tempat seperti ini. Dia terpesona oleh London sejak dia masih gadis kecil, menemani ayahnya dalam perjalanan menuju Kementrian dan menyukai kesibukan kota. Suatu hari nanti, aku akan tinggal di kotak di atas langit, dia pernah berkata pada ayahnya sekali, dan pada hari mereka membeli apartemen ini, dia tertawa sukacita karena berhasil mencapai impian masa kecilnya.
Sedangkan hati Harry lebih tertarik pada rumah sederhana dari batu dan kayu. Rumah-rumah yang pertama kali menangkap hatinya: Hogwarts, bangunan tua dari batu dan sihir, lalu, the Burrow dengan kamar-kamar nyaman dan kebun berkelok-kelok.
Dia menyesap wiski, merasakan panasnya pelan-pelan membakar kerongkongan.
Dia bisa melihat lampu-lampu kota Lambeth Selatan di seberang sungai, tercermin dalam kilau kegelapan Sungai Thames. Sebuah kereta mendekati platform di atas tanah, hanya terlihat sebagai segaris cahaya merangkak. Beberapa saat kemudian kereta lain berangkat, menambah kecepatan.
Harry melihat hingga kereta menghilang dari pandangan, ke arah barat, di mana titik-titik lampu menghiasi pinggiran jalan dan lalu, pedesaan segelap tinta.
Di jalan di bawah, entah dimana, seseorang menyiulkan nada familiar. Harry memiringkan kepala, mendengarkan cukup lama hingga kata-kata datang padanya. Lagu bangsa Inggris tempo dulu, Harry ingat.
Blow the wind southerly, southerly, southerly
Blow the wind south o'er the bonny blue sea
Blow the wind southerly, southerly, southerly,
Blow bonnie breeze, and bring him to me...
Sisa terakhir musim panas bungkuk pada kehendak musim gugur, mengirimkan angin dingin melalui rambut Harry. Dia bergidik dan masuk ke dalam, menggeser pintu di belakangnya hingga tertutup.
Kereta datang dan pergi, terangkai bagai garis-garis bintang, perlahan menghilang ke dalam malam.
xxx
Sabtu.
Hari ini pertandingan besar Ginny.
Harry bangun pagi-pagi. Ini sudah jadi rutinitas. Bangun pagi, kemudian lari pagi. Mandi, berpakaian. Sarapan.
Dia baru mencapai tahap rutin sarapan dan semangkuk sereal baru dimakan setengahnya ketika penangkalnya bergetar. Dia mendorong mangkuk dan berdiri, berjalan menuju pintu. Hermione? Mungkin Ron, ingin pergi bareng ke pertandingan?
Tapi akhir-akhir ini Harry jadi sangat mahir dalam hal melacak jejak sihir, terutama setelah latihannya di Divisi Investigasi. Ada arus sihir di depan pintu, tapi bukan milik Hermione maupun Ron.
Dia mengambil tongkat sihir dan membisikkan mantra, menyebabkan pintu menjadi transparan hanya padanya, seperti cermin satu arah.
Rambut pirang. Bola mata biru.
Harry ragu-ragu, lalu membuka pintu.
"Mrs. Malfoy."
Si wanita ragu-ragu, lalu mengangguk. "Kau boleh memanggilku Narcissa."
"Seharusnya anda tak bisa menemukan saya." Sejauh yang diketahui rakyat penggemar Harry, dia tinggal di Sussex. Hanya Hermione dan keluarga Weasley yang tahu kebenarannya.
"Tapi disinilah aku." Dia berbicara sopan, tanpa jejak nada dingin atau kebencian dalam suaranya, dan Harry menyadari kesamaan antara nada bicaranya dengan Draco di toko burung hantu. Mereka berdua sama-sama memiliki kesamaan dalam suara mereka setelah perang, pikir Harry. Kesopanan dan keseganan yang seberat kesunyian, sepolos dinding putih, bagai satu orang dalam ruangan kosong.
Harry menelan godaan untuk menanyakan bagaimana dia bisa menemukan tempat tinggalnya.
"Masuklah," dia berkata, karena memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan, dengan seorang Narcissa Malfoy berdiri di depan pintu?
Narcissa melangkah ke dalam. Penangkal berkilat sejenak, lalu menerimanya sebagai seseorang yang tak punya maksud jahat. Dia melihat ke sekeliling ruangan, tapi Harry ragu dia sedang menyelidiki. Dia tampaknya sedang mencari tempat duduk, tapi tak ada kursi berlengan empuk atau sofa nyaman di apartemen ini. Hanya ada jajaran bangku dan meja makan berlapis kaca dengan dua kursi makan di tiap sisi.
Harry mengecek jam. Harusnya lima belis menit lagi dia berangkat dengan portkey, datang tepat waktu untuk mendukung Ginny.
"Kedatanganku waktunya tidak tepat," komentar Narcissa, dan Harry buru-buru menggelengkan kepala. Narcissa mulai tampak ragu dan hal terakhir yang Harry inginkan adalah membuat dia lari, membawa serta informasi berguna bersamanya.
"Tidak sama sekali. Teh atau kopi?" tanyanya, sambil berharap Narcissa menolak keduanya. Teh yang tersedia hanyalah teh murah, dan kopinya hanya ada kopi instan yang disimpan untuk kunjungan langka Arthur Weasley.
Narcissa menolak dengan gelengan kepala samar. "Tidak, terima kasih."
Harry duduk di kursi meja makan. Baik dia maupun Ginny tidak sering menggunakannya, meskipun ada botol tinta dan pena bulu di sudutnya bekas menulis surat. Ada debu tipis di atas meja. Harry diam-diam menggumamkan Scourgify.
Narcissa duduk di kursi yang satunya, sambil mengerling seluruh apartemen. Hari ini langit London cerah, dan dia berhenti sejenak untuk melihat pemandangan. Lalu dia membuka kantung kecil di pangkuannya dan menarik keluar selembar foto, menaruhnya terbuka di atas meja.
"Aku menerima surat dari Kementrian beberapa hari lalu," ucap Narcissa, "isinya menjelaskan bahwa kasus putraku telah dibuka kembali dan berada di bawah pengelolaanmu."
Harry menatap fotonya. Itu adalah potret sederhana dari Draco Malfoy. Dia tak tersenyum, mulutnya sedikit ke bawah seolah dia sedang merenungkan nestapa. Dia memakai jubah abu-abu dan mantel hitam sederhana. Harry melihat lebih dekat; lencana snitch perak itu ada di sana.
Mata Malfoy bergerak dan Harry, kaget, hingga hampir menjatuhkan fotonya. Dia kira itu foto Muggle dilihat dari cara Malfoy tidak bergerak sama sekali.
"Itu foto terakhir Draco," kata Narcissa.
"Baiklah." Harry tak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Dia melirik potretnya lagi.
"Dia suka lencana snitch itu. Dia bilang itu hadiah dari ayahnya."
Harry menoleh. Bertanya-tanya apakah Narcissa membaca pikirannya entah bagaimana. Tapi dia tidak sedang menatapnya; dia sedang menatap foto, dan meski terpasang senyum samar di bibirnya, kesedihan menggarisi wajahnya. Dia tampak jauh lebih tua dari yang Harry ingat. Garis-garis di sekeliling matanya tampak lebih dalam dan dia tampak lebih kurus. Harry bertanya-tanya apakah semua Malfoy menjadi lebih kurus dan lebih kecil setelah perang.
"Apa kau tahu kenapa dia menyukai snitch perak, Harry?" tanya Narcissa. Harry setengah berharap dia memanggilnya dengan panggilan Mr. Potter yang jauh lebih formal. Dia tak yakin apakah dia nyaman dipanggil dengan nama depan oleh Malfoy yang manapun.
"Tidak." Dia bertanya-tanya apakah Narcissa akan menegurnya karena pengetahuannya tentang Draco begitu sedikit, tapi Narcissa tampak sedang memikirkan hal lain, menatap foto dengan ekspresi termenung.
"Dia menyukai lingkaran." Narcissa membalikkan foto dan mengerling meja; Harry memberinya pena bulu tanpa kata dan dia menerimanya, lalu menulis satu kalimat di belakang foto. "In inceptum finis est," ujarnya. "Pada setiap permulaan adalah akhir. Ketika Draco pertama kali mengetahui apa yang telah kulakukan selama pertempuran — kebohongan yang kuucapkan pada Pangeran Kegelapan — dia mengatakan itu padaku. In inceptum finis est."
"Dan apa maksud dia mengatakan itu?" Harry tertarik.
"Bahwa cinta seorang ibu yang membawa kejatuhan pertama Pangeran Kegelapan, dan cinta ibu pulalah yang mengukuhkan kekalahannya tujuh belas tahun kemudian."
"Aku tak memikirkannya seperti itu," kata Harry. "Aku tak pernah berpikir…" Dia mengerling Narcissa. "Kenapa anda menceritakan ini pada saya?"
Narcissa mengangkat sebelah tangan ke kalung di lehernya, jari-jarinya di atas bandul safir.
"Aku datang jauh-jauh kemari bukan untuk menceritakan kisah lingkaran. Aku datang kemari untuk bertanya apakah kau bermaksud menemukan anakku."
"Saya ditugasi kasusnya—"
"Begitu pula penyidik yang pertama, tiga tahun lalu, dan dia mengucapkan nama anakku bagai lumpur dalam mulutnya. Dia mengatakan padaku mungkin Draco lari untuk hidup bermewah-mewah di luar negeri."
Harry meringis, meski Narcissa bicara tanpa amarah. Wajahnya kalem, seperti danau yang dalam, tapi Harry tahu dari pengalaman bahwa air yang tenang lebih berbahaya.
"Saya janji," kata Harry, "saya akan melakukan yang terbaik untuk menemukan dia." Harry ragu-ragu, tapi Narcissa juga telah jujur dan tulus hingga dia merasa harus membalasnya. "Saya…Awalnya saya juga mengira seperti itu. Bahwa Malfoy lari untuk bergabung dengan ayahnya." Harry menyadari dia lupa untuk menggunakan nama depan Malfoy, tapi Narcissa tidak tampak tersinggung. "Tapi saya tak percaya itu, tidak lagi. Saya sudah mengunjungi semua barang bukti…Sebetulnya, sekarang saya sedang mengerjakan observasi baru," ujarnya, sembari memikirkan cincin pernikahan yang hilang.
Narcissa mendengarkan dengan seksama, matanya mengamati Harry seolah Harry adalah rune sulit. Lalu, dia mundur sedikit, kedua tangan terkatup di pangkuan.
"Bila kau mengatakan yang sebenarnya," katanya, "aku akan memberikan informasi apa saja yang kau butuhkan, bantuan apapun yang kau perlukan untuk menemukan anakku."
"Anda terlalu mudah mempercayai." Kata-kata itu diungkapkan lebih karena terkejut; Narcissa Malfoy yang Harry ingat tidak akan semudah itu mempercayakan memori ataupun rahasia anaknya yang berharga.
Narcissa tak mengatakan apapun untuk waktu yang lama. Lalu dia mengulurkan tangan dan menyentuh foto, seolah meyakinkan diri sendiri bahwa ini nyata.
"Mungkin memang begitu," katanya, "tapi putraku telah hilang selama tiga tahun sekarang, dan ini kelihatan seperti kesempatan terakhirnya. Haruskah aku mempertaruhkannya demi menjaga rahasia atau memori?"
Harry tak bisa mendebat itu. Setelah hening lama, Narcissa menyerahkan secarik kartu lalu berdiri.
"Kartu kontakku. Tolong terus kabari aku."
"Pasti." Harry memungut foto untuk dikembalikan padanya, tapi Narcissa menggelengkan kepala.
"Simpanlah. Mungkin bisa berguna."
Harry menemaninya ke pintu, bertanya-tanya apa yang harus dia tanyakan mengenai Malfoy. Informasi apa yang mungkin bisa berguna? Dia tak tahu harus mulai dari mana.
"Apa hal terakhir yang Malf— Draco katakan pada Anda?" tanyanya tiba-tiba. Dia separuh penasaran, tapi juga separuh mengetes apakah Narcissa akan memberinya informasi pribadi secara cuma-cuma.
"Aku bisa memberikan memorinya padamu," jawab Narcissa pelan-pelan, "akan pertemuan terakhir kami. Terakhir kali aku melihatnya. Mungkin bisa membantu."
Well, ternyata Narcissa jauh melampaui tes kepercayaan Harry.
"Memorinya?" tanyanya. Narcissa mengangguk. "Saya…jika tidak teralu merepotkan, saya rasa."
Harry separo menduga Narcissa berkata dia akan mengirimkan memorinya dalam satu atau dua hari, tapi sebaliknya dia berdiri di sana, menunggu dengan sabar, dan Harry menyadari apa maksudnya sekarang. Harry buru-buru berbalik lalu, setelah mengobok-obok laci di dapur, memberikan botol kosong padanya. Harry mengalihkan pandangan dan menyibukkan diri membereskan dapur sementara Narcissa mengekstrak memorinya. Harry tahu beberapa orang menginginkan privasi ketika melakukan mantra itu.
Ketika dia menoleh kembali pada Narcissa, dia sedang mengulurkan botol, asap perak bergerak-gerak di dalamnya.
"Aku minta," katanya, "untuk jangan membagikan memorinya."
"Hanya aku yang akan melihatnya," janji Harry.
Narcissa mengangguk sekali, lalu berbalik dan pergi tanpa kata.
Harry mengecek jam. Pertandingan pastilah sudah dimulai, pikirnya. Lagipula Ginny tahu bahwa pekerjaan selalu lebih penting baginya, sama seperti Quidditch bagi Ginny.
Dia menyelipkan botol ke dalam saku dan melangkah keluar penangkal apartemen, ber-Dissaparate menuju Kementrian.

tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart