Running on Air © eleventy7 chapt 5

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
.
CHAPTER 5
.
Ginny berdandan untuk kencan mereka dan Harry pikir dia tampak cantik, meski dia lembur latihan dan telat datang setengah jam. Harry memesan rum oak yang sudah berumur; Ginny memilih segelas wine riesling.
"Kau tampak luar biasa," kata Harry dan Ginny tersenyum.
"Terima kasih," katanya. "Aku lembur latihan. Pencari bakat pulang setelah pertandingan hari Sabtu tanpa kata, yang mana sedikit mengecewakan. Tapi mungkin di pertandingan berikutnya. Pearson pernah dibina sebelumnya— oh, terima kasih," ujar Ginny ketika pelayan menempatkan wine di atas meja. Harry menerima gelasnya dengan anggukan dan meneguknya senang. "Omong-omong, kondisi angin pada pertandingan hari Sabtu tidak bagus, dan…"
Harry mendengarkan Ginny bicara. Dia selalu menyukai semangat Ginny, pikirnya. Itu adalah salah satu hal pertama yang dia sukai tentang Ginny. Ketika mereka berada di tengah peperangan dan Ginny begitu penuh energi berkobar, matanya cerah dan tangannya yang mengangkat tongkat sihir stabil. Ginny tak pernah terlihat secantik saat berada dalam pertempuran, pikir Harry, dengan wajah ternoda tanah dan jubah sobek-sobek, ketika kekuatan dan semangatnya bersinar lebih terang dari biasanya.
Harry bertanya-tanya apakah dia akan pernah melihat gairah sebesar itu lagi.
"Mari kita jangan bicarakan pekerjaan malam ini," ujar Harry tiba-tiba, menyela penjelasan Ginny tentang pertandingan hari Sabtu. "Kita bicara hal lain."
"Oh." Ginny berhenti dan melihat-lihat sekeliling restoran, seolah mencari topik pembicaraan. "Menarik, bukan? Restoran Muggle ini. Aku baru mau mengetuk tongkat sihirku pada menu untuk memesan. Hampir lupa."
"Pemandangannya bagus."
"Iya, kan? Kuharap kita mampu membeli apartemen di pusat London."
"Maafkan aku, aku tahu kau selalu menginginkan—"
"Oh, itu bukan kritik!" ujar Ginny cepat-cepat. "Aku hanya bilang saja. Kurasa bahkan Menteri Sihir pun tak akan mampu membeli apartemen itu. Tapi, bila aku berhasil masuk Tim Nasional Inggris, siapa yang tahu? Pada tur pertandingan berikutnya, bisa saja— oh, aku bicara soal pekerjaan lagi." Ginny tertawa.
Tapi tawa Ginny dengan segera menyusut ke dalam keheningan, dan Harry—tengah memikirkan beberapa hal untuk dikatakan tapi urung mengatakannya karena semuanya berhubungan dengan pekerjaan—putus asa menyambar topik alternatif pertama yang muncul ke dalam kepalanya.
"Kau ingat pertempuran?"
Ginny menegang. "Sedikit sulit untuk dilupakan, Harry."
"Meski begitu, kau brilian saat itu."
"Aku ingat pemakaman Fred," ujar Ginny menerawang, jelas tidak mendengar Harry. "Mum bilang George masih belum bisa menghasilkan Patronus, dan sepertinya tak akan pernah bisa lagi."
Harry menatap gelas rum, lalu meneguknya lama. Pelayan muncul di samping meja dan Harry hampir lega melihatnya.
"Aku pesan Cornish lamb, dan segelas Appleton Estate lagi," ujarnya buru-buru. Ginny memesan monkfish panggang dan juga mengisi ulang minumannya. Si pelayan menghilang lagi, membawa menu bersamanya.
"Kami akan segera menyelesaikan sektor pra-eliminasi," ujar Ginny, memecah keheningan.
Harry tidak mengingatkan bahwa itu berhubungan dengan pekerjaan. Dia mendengarkan Ginny berbicara soal musim pertandingan yang akan datang, perkiraan hasil musim ini, dan sedikit kritik pada penampilan tim kesukaannya, Kenmare Kestrel.
"Aku tahu ini bisa dianggap tidak setia—aku harusnya mendukung Tim Inggris, sungguh—tapi teknik yang digunakan Seeker-nya brilian dan sangat berani. Chaser-nya juga sedang menyusun formasi baru, dan aku tak keberatan ikut latihan. Aku akan usul pada Gwen."
Harry sedikit mundur ketika pelayan menaruh gelas rum di depannya, menunggu hingga dia pergi lagi sebelum mengangkat gelas dan menyesap isinya lama. Setidaknya mereka punya penangguh waktu ketika makanan datang, dan bisa menyibukkan diri masing-masing untuk makan. Ginny memesan segelas wine lagi dan Harry mencoba wiski berumur dua belas tahun.
Si pelayan mungkin berpikir dia pecandu alkohol, pikir Harry, dan di akhir makan malam kepalanya terasa pusing menyenangkan dan hanya setengah mendengarkan strategi Quidditch Ginny. Terlalu banyak minum alkohol membuatnya tak bisa ber-Apparate, hingga Harry memilih taksi untuk membawa dia dan Ginny pulang. Ginny tampak menikmati perjalanan, dan tampak geli ketika Harry harus lari-lari ke apartemen dan mati-matian mencari uang Muggle untuk membayar supir.
"Tadi menyenangkan," kata Ginny, ketika mereka tengah siap-siap untuk tidur. "Apa kau menikmatinya?"
Kau dengar aku, Draco? Aku bertanya apa kau bahagia.
"Yeah," jawab Harry, sambil menatap dinding putih di seberang. Tak ada apapun di sana. Hanya putih. Kanvas kosong.
"Bagus," ujar Ginny, sembari menarik selimut dan mematikan lampu.
Malam itu tidur Harry tidak nyenyak.
xxx
Bisa jadi ini akibat belajar mengemudi, tapi seminggu kemudian Harry mendapati dirinya memimpikan mobil. Mobil Draco. Memori, pikirnya. Dia memimpikan memori lagi. Dia tengah duduk di belakang, dengan Astoria di kursi penumpang depan dan Draco tengah mengemudi. Mereka berkendara di samping sungai, malam hari, dan Harry ingin menurunkan jendela untuk menghirup langit, bintang-bintang, air, dan lahan tercoreng jalan beraspal bergulir tanpa akhir bagai pita.
"Kau tidak tahu apa yang kau inginkan, Draco," Astoria tengah berkata.
Mata Draco berkelip pada spion-tengah, menemui tatapan Harry.
"Tidak, aku memang tidak tahu," katanya.
Jeda hening dan Harry menyadari Astoria telah tertidur. Memori seharusnya berakhir. Harry mengalihkan pandangan dari Astoria, lalu mendongak dan membeku. Mata Draco, terefleksi pada spion tengah, terkunci pada matanya.
Draco berbicara.
"Kita bisa pergi ke mana saja."
Dia bukan berbicara padamu, dia bicara pada Astoria. Dia tidak sedang menatapmu, dia menatap menembus dirimu…
"Ke mana saja?" ulang Harry, hanya untuk meyakinkan bahwa Draco tak dapat mendengar dirinya.
Draco tersenyum sedikit, pandangan kembali ke jalan raya di depan. "Ke mana saja."
Jantung Harry berdetak kencang. "Ayo kita pergi ke tempat kau berada."
"Kenapa?"
"Aku tak tahu di mana kau berada," kata Harry, mulutnya kering. "Aku sedang berusaha menemukanmu."
"Aneh," ujar Draco, "karena aku tengah mencarimu."
Entah bagaimana, ini penting. Bagai suara memudar, bagai pintu tertutup, bagai lampu kereta memudar di kejauhan.
"Seperti lingkaran," gumam Harry. Draco memandangnya lagi.
"Sekarang kau mulai mengerti, Potter," ujarnya.
Ketika Harry bangun, ada plastik persegi panjang di tangannya.
Kartu SIM Draco.
xxx
Harry mendapat lisensi sementaranya pada tanggal 31 Oktober. Dia pergi ke rumah Astoria dengan Floo—sudah terhubung secara resmi ke jaringan Floo milik Astoria—lalu menunjukkan kartunya pada Matthew.
"Fotonya jelek sekali," Harry mengamati, dan Matthew tertawa.
"Sudah jadi adat. Foto semua orang pada lisensi pertama mereka memang selalu tampak jelek. Setidaknya sekarang kau bisa mengemudi secara legal," tambahnya. Harry sudah lulus dari jalan kecil ke jalan raya, meski jalan pedesaan di dekat rumah Astoria terbilang sepi lalu lintas.
"Aku bisa mencoba ke jalan raya utama," kata Harry semangat.
"Jangan buru-buru, sobat. Kau masih belum bisa fokus menggunakan indikator tanpa mengangkat kakimu dari akselerator."
"Mengerjakan dua hal sekaligus itu sulit ketika kau melaju enam puluh mil per jam," balas Harry.
"Yeah, dan akan lebih parah lagi ketika kau terlibat kecelakaan karena kau menghabiskan waktu lima belas menit untuk mencari indikator."
Kendati demikian, ketika mereka memulai pelajaran mengemudi, Matthew membiarkan Harry mencoba jalan raya. Dan ketika Harry berhasil melalui jalan lurus panjang tanpa bantuan, Matthew bertanya tentang Draco.
"Sudah menemukan petunjuk?"
"Tak ada. Segalanya tampak berputar-putar."
"Yah, semoga beruntung. Maksudku, sudah tiga tahun lamanya, dan—awas, kau meluncur terlalu ke kiri—hadapi saja, tak ada banyak kesempatan untuk menemukan petunjuk baru."
"Yah, kuharap aku bisa menemukan sesuatu. Ngomong-ngomong soal menemukan sesuatu—apa kau kenal mekanik handal?"
"Aku kenal beberapa orang mekanik di Exeter. Akan kucari kontak mereka di rumah nanti. Sekarang, belok kiri di sini. Kurasa kau sudah siap ke jalan raya besar."
"Kuharap kau bercanda."
Matthew nyengir.
xxx
Harry tiba di rumah jam sebelas malam, tersenyum-senyum dan berpikir bagaimana dia akan menceritakannya pada Ginny. Dia bisa mengemudi secara legal. Dia dapat lisensi mobil—masih sementara tentu saja, tapi di akhir tahun mungkin dia bisa dapat lisensi penuh. Entah bagaimana, hal ini terasa penting. Sebuah batu peringatan. Ginny bahkan tidak menyadari dia belajar menyetir, dan…
Dia melangkah ke kamar dan senyumnya memudar. Ginny tak ada di sana, meski ada catatan di atas bantal. Dia memungutnya.
Maaf, aku lupa bilang tadi pagi—aku menghadiri lokakarya strategi selama dua hari di Leeds. Akan pulang hari Kamis. Love you, sampai jumpa.
Harry menatap catatan itu sedetik, lalu mengesampingkannya. Dia berdiri beberapa lama, berpikir, lalu menoleh pada dua kotak kardus di samping meja nakas dan menghapus mantra dis-ilusi.
Kalau begitu, lebih baik dia juga kerja.
xxx
Dua jam kemudian, Harry sedang duduk di tengah kasur, benda-benda berserakan di sekelilingnya bagai daun musim gugur. Lencana prefek berkilau cerah oleh cahaya lampu; origami bunga mawar terbaring di atas bantal.
Harry mendapati dirinya membaca buku-buku pelajaran Hogwarts dengan teliti, sudah lupa akan tugasnya dan terserap oleh rincian-rincian kecil.
Draco menulis di dalam buku-buku itu. Catatan-catatan kecil tergores pada margin, mulai dari Buku Mantra Standar, Kelas Satu hingga Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut. Rasanya aneh. Harry selalu berasumsi bahwa Draco arogan menjengkelkan dan sangat berpuas diri soal pekerjaan sekolahnya. Akan tetapi, pada buku teks kelas satu menunjukkan berhalaman-halaman catatan yang ditulis susah payah oleh tangan kekanakan bocah sebelas tahun. Draco menulis setiap langkah dan, bagi Harry, dia tampak takut salah merapal mantra atau menggunakan teknik yang salah.
Rasanya aneh melihat tulisan tangan Draco mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Tulisan bulat hati-hati mulai menjadi miring dan, di tahun keenam, tulisan itu berubah menjadi goresan yang kuat dan apik.
Ada tulisan-tulisan kecil menghiasi halaman. Draco menulis Janggut Merlin, ini membosankan, di buku teks Herbologi, secara tiba-tiba memotong catatan panjang lebar mengenai Tulip Bergigi-Tujuh.
Lebih mengejutkan lagi adalah pengakuan jujur pada buku Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut: pada halaman mengenai kegunaan kaki kumbang, Draco menulis Aku bahkan sudah tak peduli lagi pada mata pelajaran ini.
Aneh sekali Draco menulis pemikiran semacam itu di buku teks. Tapi, Harry menyadari, pada siapa lagi dia bisa mengungkapkan isi hatinya? Pada penghujung waktu mereka di Hogwarts, jelas sekali Draco bahkan tidak mempercayai kawan-kawan terdekatnya. Dan sudah pasti dia tak bisa bercerita pada kedua orangtuanya, yang sama-sama kesulitan seperti dirinya.
Pasti rasanya kesepian. Harry sangat mengenal rasa kesepian itu.
Harry membuka Buku Mantra Standar , Kelas Enam. Di beberapa halaman, ada gambar simpul Celtic, tapi Harry rasa itu tak menunjukkan apapun. Tampaknya Draco hanya senang berlatih menggambar corak di sela-sela pelajaran yang membosankan. Ada beberapa catatan kecil, tertulis rapi pada margin. Mantra tak akan mempan bila dirapalkan pada diri sendiri, Draco menulis di suatu halaman. Harry merengut dan membaca judul mantra. Mantra Tranquillo, rupa-rupanya itu mantra untuk menentramkan orang dan mengurangi rasa takut atau cemas.
Dia menutup buku dan menatap sampulnya untuk waktu yang lama. Tak ada buku kelas tujuh. Draco tak kembali ke Hogwarts untuk menamatkan pendidikannya, kalau begitu.
Harry condong di atas kasur dan menarik buku catatan Draco ke arahnya. Berisi kalender 2003 dan diari, dipenuhi tulisan rapi dan tanggal rutin. Penarikan mingguan dari Gringotts, juga pengingat untuk memperbaharui registrasi mobil. Catatan terakhir ditulis pada hari Draco menghilang. Kunjungi pengacara keluarga, 4:30pm. Tak diragukan lagi itulah urusan yang dituju Draco setelah membeli burung hantu. Kendati demikian, mungkin ada baiknya menanyakan tujuan kunjungan Draco pada si pengacara, bila si pengacara masih ingat.
Harry membuka-buka sisa halaman buku, tapi halaman setelah tanggal 9 September semuanya kosong lalu—
Namanya.
Dia menatap halaman. 21 November. Tanggal yang rupa-rupanya dipilih secara acak.
Potter,
Aku percaya saat ini kau memiliki properti yang merupakan milikku—
Kalimat itu dicoret buru-buru. Harry menyadari ini sebagai konsep surat, karena di bawahnya Draco melakukan pendekatan kedua.
Dear Potter,
Aku percaya saat ini kau memiliki tongkat sihir hawtorn, inti rambut unicorn—
Dicoret lagi. Begitu pula percobaan ketiga dan keempat. Percobaan kelima mendemontrasikan kejengkelan dan dimulai dengan coretan malas.
Potter, kembalikan tongkat sihirku. Lagipula kau tidak menggunakannya. Mungkin kau bahkan sudah tak peduli dengan tongkat itu lagi. Sejujurnya, aku menunggu kau untuk terbang melampaui planet kesembilan dan menjadi sekumpulan massa antropomorfik energi murni. Judul Berita Utama di Daily Prophet berikutnya: Penyelamat Potter Sekarang Diklasifikasi Sebagai Planet Baru.
Hary tak bisa menahan cengiran. Ini cukup lucu, sungguh. Makin lucu lagi karena di sampingnya terdapat gambar kecil yang diasumsikan sebagai Planet Harry. Dia menggambar planet mirip Saturnus mengenakan kacamata. Harry tertawa dan membuka halaman, setengah berharap bakal menemukan gambar lucu lainnya. Tapi dia malah menemukan lebih banyak tulisan. Rupa-rupanya, surat masih berlanjut.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
Kata-kata itu bergulir memasuki kepala Harry bagai gelombang pasang. Dia mengerjap, senyum memudar, dan mulai membaca lagi.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu. Aku akan melempar Remembral ke langit dan kau bisa mencoba menangkapnya.
Terkadang aku berpikir kau boleh menyimpan tongkat sihirku. Aku ingat semua mantra Hitam yang pernah kulakukan, semua Kutukan Tak Termaafkan yang pernah kucoba menggunakannya. Tapi lalu aku ingat ketika aku sebelas tahun, belajar Lumos dan merapal mantra perbaikan, sulit sekali untuk melepaskan itu.
Jadi kembalikan tongkat sihirku, atau berikan aku pembalik-waktu.
Harry tidak ragu bahwa Draco—di puncak frustasi setelah berusaha menulis surat formal—menulis pesan yang satu ini dengan maksud tak akan pernah dibaca oleh siapapun, apalagi Harry sendiri. Terdapat ketulusan dan kejujuran yang aneh dalam tulisan itu. Sulit sekali bagi Harry untuk membayangkan Draco—dengan ekspresinya yang dingin dan ketidakmampuannya untuk mengekspresikan diri kecuali lewat hinaan kekanakan—menulis ini.
Lalu dia ingat Draco memakai ekspresi dingin yang tengah Harry bayangkan ini, ketika dia menyuruh Astoria untuk menyampaikan eulogy ayahnya. Ya, Draco pandai menyembunyikan pikiran dan perasaannya, menutupinya dengan apatis dan arogansi.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
Tiba-tiba hati Harry terasa pedih untuk mereka semua. Hermione dan Ron, tak tahu apa yang terbentang di hadapan mereka. Neville, yang suatu hari akan disiksa Pelahap Maut. Dan ya, bahkan Draco, yang jelas-jelas memimpikan masa depan yang berbeda.
Tetap saja dia itu Malfoy, Harry mengingatkan diri sendiri. Tapi Malfoy —Malfoy yang senang mencibir dan mementingkan diri sendiri— sulit untuk diingat, seolah tahun-tahun berlalu bagai pasir halus yang diayak. Dan sekarang yang dia tahu hanyalah Draco, yang selalu tampak serius dan sedih, yang mengenakan lencana snitch perak karena in inceptum finis est, yang berusaha memperbaiki diri dengan menulis surat yang tak akan pernah dia kirim, yang mengemudi kemana-mana, mencari sesuatu.
Mencari dirinya sendiri, atau mungkin memori. Mungkin, setelah sekian lama, dia hanya tengah mencari ketentraman pikiran.
Harry mengepak barang-barang satu demi satu. Origami bunga mawar, yang tampak usang dan compang-camping, membuat Harry bertanya-tanya kenapa Draco menyimpannya. Buku teks, berisi tulisan dan gambar-gambar selama enam tahun. Dasi sekolah, lencana Prefek. Apakah Draco bangga menjadi Prefek? Ataukah dia melihatnya seperti dia melihat tongkat sihirnya, sebagai kenangan manis pahit, sebagai pengingat akan semua yang telah dia lakukan?
Malam itu, Harry bermimpi.
xxx
Malam hari. Bintang-bintang terlihat jelas di atasnya, putih bersih bagai salju pertama di musim dingin. Dia tengah berdiri di ujung karang terjal, menatap gulir ombak kelabu gelap yang bergemuruh rendah, menabrak dasar karang dan menimbulkan busa-busa laut berputar-putar di sekeliling bebatuan hitam yang berkilauan.
Dia menoleh.
Draco berdiri di sebelahnya, tengah menatap lautan gelap di depan.
"Ini bukan memori pensieve," kata Harry perlahan. Dia kira dia bakal diabaikan, tapi betapa kagetnya dia ketika Draco menoleh padanya.
"Kau ada di sini lagi," ujarnya.
"Lagi? Aku tak pernah kemari." Harry tak tahu lagi bagaimana dia harus merespon.
"Kupikir yang terakhir kali itu hanya mimpi, ketika aku melihatmu di dalam mobil—"
Seketika Harry merasa dingin.
"Itu memang mimpi. Ini juga mimpi."
"Ini semua memoriku, Potter. Ini nyata. 5 September 2003. Aku mengemudi ke pesisir Cornish."
"Truro," kata Harry tiba-tiba. Draco berpaling lagi darinya, menatap ombak gelap Lautan Celtic.
"Melewati Truro. Aku ingin melihat di mana ujung daratan. Aku mengemudi hingga Helston dan parkir di menara mercusuar."
Harry melihat ke sekeliling, tapi tak ada mercusuar. Tak ada apapun. Bahkan hanya setitik cahaya jendela dari rumah di kejauhan pun tak ada. Hanya ada bulan separo di atas mereka yang menyinari tempat, menimbulkan kilau samar di atas lautan gelap.
"Dan kemudian aku jalan kaki," ujar Draco.
"Apa? Di sepanjang karang terjal? Pada tengah malam?"
"Tepatnya jam tiga dini hari," Draco melirik Harry. "Kau harus menemukanku, Potter. Ini kesempatan terakhirku. Aku tak tahu kenapa harus kau, dari sekian banyak orang, yang muncul dalam memori-memoriku—"
Gemuruh ombak melawan karang tampak meningkat. Harry sedikit bergeser, rasanya seolah bumi mulai runtuh.
"Aku sedang menginvestigasi kasusmu," ujar Harry, menaikkan suaranya di tengah raungan ombak. Ujung karang mulai ambruk ke laut dan dia terhuyung ke belakang. "Aku berusaha menemukanmu. Kau di mana? Bila ini memang nyata, katakan padaku!"
Draco membuka mulut, tapi tebing karang ambruk, runtuh bagai istana pasir, lalu kegelapan mengerikan dari badai liar mengelilingi Harry.
Dia terbangun dengan aliran adrenalin menyakitkan, setengah teriakan terkubur di kerongkongan.
xxx
"Aku bersumpah aku mengatakan yang sebenarnya."
Hermione mengerling Harry yang sedang mondar-mandir di sekeliling dapur. Lalu dia mengembalikan tatapan ragunya pada cangkir teh di atas meja di depannya.
"Kau memimpikan Malfoy? Dan dia bilang padamu bahwa dia pergi ke Helston?"
"Iya," ujar Harry frustasi. "Dia bilang itu nyata, bahwa itu bukan mimpi, dan aku harus menemukan dia—"
"Mungkin harusnya kau bertanya di mana dia berada, kalau begitu," ujar Hermione, dan Harry tak yakin entah dia bercanda atau tidak.
"Aku mencoba, tapi mimpinya betul-betul langsung runtuh." Harry mondar-mandir di dapur lagi, secangkir teh di atas meja perlahan mendingin. "Ini pernah terjadi sebelumnya—aku memimpikan memori dan berbicara dengannya, maksudku— tapi Draco tampak berbeda saat itu. Semacam abstrak. Seolah dia pun berpikir itu hanya mimpi, dan dia hanya mengikuti alur. Tapi kali ini— dia tampak kaget ketika aku ada di sana, dia bertanya padaku— entah bagaimana dia tampak lebih nyata." Dia mendongak dan menangkap tatapan Hermione. "Kau pikir aku sinting, ya?"
Hermione tak mengatakan apapun untuk waktu yang lama. Lalu dia menyesap tehnya pelan-pelan.
"Kau pernah memimpikan kejadian nyata sebelumnya, Harry."
Itu membuat Harry berhenti mondar-mandir. Dia berputar. "Itu beda! Itu Legilimens dan Sihir Hitam," ujarnya, suaranya rendah dan marah. Hermione mendesah.
"Bukan itu maksudku. Aku hanya bilang bahwa aku percaya kau bisa membedakan mana mimpi normal dan mana mimpi yang…berbeda."
Kemarahan Harry memudar. "Oh," ucapnya.
"Dengar, aku harus pergi kerja —aku ada rapat dengan Kepala Divisi Satwa Gaib— tapi…" Hermione berhenti sejenak. "Mungkin Malfoy berusaha memberitahumu lokasi dirinya, dalam mimpi itu."
"Menurutmu dia berada di Helston?"
Hermione berhenti lagi. "Dari yang kau ceritakan, tebing karang di sana berbahaya."
Harry berkedip lalu tersentak mundur, seolah Hermione baru saja menamparnya. "Dia tidak menghilang di Cornwall, dia hilang di London—"
"Yah, kau masih belum mempertimbangkan bahwa dia hilang atas keinginannya sendiri. Mungkin dia ingin melakukan sesuatu dan tak ingin menyakiti keluarganya."
Harry seketika sadar apa maksud Hermione. "Tidak," ujarnya. "Tidak. Tidak, Hermione. Dia tak mungkin melakukan itu."
"Apa kau pikir dia depresi sama sekali?" tanya Hermione lembut.
"Dia tak mungkin melakukan itu," ulang Harry tegas. Hermione menatapnya lama.
"Yah, lebih baik aku berangkat," kata Hermione pada akhirnya. "Beritahu aku bila kau dapat petunjuk baru."
"Pasti."
Hermione menghabiskan tehnya dan buru-buru ke perapian dapur, melemparkan segenggam bubuk Floo ke dalam api dan ber-Floo menuju Kementrian.
Harry berjalan perlahan ke dalam api yang masih berwarna hijau dan ber-Floo pergi, tiba di perapian Astoria dan Matthew.
Waktunya belajar mengemudi lagi.
xxx
Harry mengemudikan mobilnya melaui tikungan, mengamati jalan yang basah oleh hujan. Wiper mobil di kaca depan ceklak-ceklik dengan irama menenangkan.
"Hati-hati dengan kecepatanmu," kata Matthew. Harry mengurangi tekanan pada akselerator sedikit.
Hujan musim gugur makin sering dan makin dingin, bagai peringatan datangnya musim dingin. Sekarang sudah di penghujung bulan November, dan London mulai dipenuhi perayaan: lampu-lampu Natal di Jalan Oxford, dan Hyde Park Winter Wonderland dipenuhi bocah-bocah bersemangat serta turis-turis berpakaian tebal.
Di Devon Timur ini, tanda-tandanya tidak begitu kentara. Hanya aroma pai daging dan roti jahe dari toko kue lokal, dan di toko-toko makanan manis berjajar bon-bon dan sugar mice berwarna pastel. Ketika Harry mengemudi di jalan utama desa, dia melihat untaian lampu menghiasi rumah-rumah dan ada beberapa toko yang jendelanya dihiasi suasana Natal apik.
"Salju di Devon Timur tidak terlalu tebal, ya?" tanya Harry. Matthew menggelengkan kepala.
"Tidak juga. Musim dingin di sini lumayan."
Harry memelan ketika seekor kucing berlari melintasi jalan, sembari memikirkan Godric Hollow dan lampu-lampu yang berkilauan di atas salju. Satu-satunya Natal yang dia habiskan di rumah, dan tiba-tiba dia merindukannya lebih dari apapun.
"Kau tahu apa," ujar Matthew, "kurasa kau sudah siap untuk praktek."
"Aku kan baru belajar mengemudi beberapa bulan," kata Harry ragu-ragu.
"Tapi, kau belajar dengan cepat. Satu-satunya hal yang masih perlu kau pelajari adalah parkir paralel. Dan kadang saat kau mau melakukan tiga titik belok malah jadi lima titik belok." Matthew tertawa.
"Aku tak akan pernah bisa melakukan parkir paralel dengan benar," gumam Harry. Kadang dia tergoda untuk memakai mantra penekan ruang, tapi sejauh ini dia berhasil menahan diri.
"Well, kita fokus belajar itu minggu ini, setelah itu kurasa kau bisa memesan," ujar Matthew.
Harry mengemudi balik ke rumah Astoria dan Matthew untuk rutinitas biasa mereka— satu atau dua botol butterbeer di depan api berkobar sembari Harry menyuguhi Matthew kisah-kisah dari dunia sihir. Matthew tampaknya cukup tertarik pada naga-naga.
"Naga kan luar biasa besar dan bernapas api, bagaimana kau bisa menyembunyikan itu dari Muggle selama ribuan tahun?" tuntutnya ketika Harry bersandar nyaman ke sofa berlengan.
"Oh, ada semacam mantra. Dan jika yang terburuk terjadi, kau selalu bisa meng-Obliviate Muggle bila mereka melihat sesuatu yang tidak seharusnya," ujar Astoria, datang membawa semangkuk kastanye bakar.
"Obliviate?"
"Menghapus memori," ujar Astoria. Matthew mengerutkan kening.
"Itu tidak benar. Kurasa kau tidak seharusnya main-main dengan kepala orang seperti itu. Tentunya itu tidak baik bagi mereka."
Harry separo mendengarkan Astoria dan Matthew cekcok. Dari kata-kata Matthew soal main-main dengan kepala orang, benaknya mengalir bagai sungai hingga dia ingat percakapannya dengan Hermione. Dia bisa melupakannya selama kurang lebih satu jam, sementara dia mengemudi. Tapi sekarang percakapan itu duduk dalam kepalanya bagai batuan berat.
Apakah Draco depresi?
Dia selalu tampak begitu…jauh, dalam memori-memori. Baik ketika dia berjalan memasuki toko atau mengemudikan mobil atau bicara pada Astoria, dia tidak betul-betul ada di sana. Harry mengenali sesuatu di wajah Draco: garis-garis kaku, seolah berusaha mengusir dirinya yang dulu, atau matanya yang menerawang jauh.
Jarak.
Draco telah melalui jarak yang amat jauh, Harry yakin. Tapi entah bagaimana, dia tak pernah berhasil menyeberangi jarak antara masa lalu dan masa kini.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
"Kau tampak termangu," ujar Astoria tiba-tiba. Harry mendongak dan berusaha tersenyum.
"Hanya sedang berpikir," katanya enteng. "Aku hanya berpikir… Draco tidak sedang kecanduan ramuan apapun, kan? Atau mantra?"
Astoria merengut, tampak bingung. "Tidak. Kenapa? Apa itu penting? Kadang-kadang dia minum ramuan penahan sakit, ketika dia sakit kepala, tapi hanya itu."
"Baiklah," kata Harry. "Aku hanya bertanya-tanya." Bila Draco minum sesuatu untuk mengurangi depresi, tentunya Astoria akan tahu. Harry buru-buru mengubah subjek pembicaraan. "Aku akan mengunjungi pengacara keluarga Malfoy besok. Draco pernah punya janji dengan dia."
"Itu aneh," kata Astoria, berhenti sejenak makan kastanye.
"Aneh?" tanya Harry tajam.
"Ya. Pengacara hanya betul-betul berurusan dengan Narcissa."
Harry merengut dan berdiri, menyadari bahwa sekarang sudah lebih larut dari yang dia kira. Dia pamit pada Astoria dan Matthew lalu ber-Floo ke apartemen, bersyukur ketika melihat Ginny masih belum pulang latihan. Harry sedang ingin sendiri. Butuh waktu untuk berpikir.
Dia duduk di konter dapur dan menatap tanpa betul-betul melihat pada corak batu granit.
Draco tak mungkin melakukan itu, dia berkata pada Hermione. Tidak mungkin Draco, yang sangat keras kepala—yang menghabiskan waktu setahun berusaha membetulkan Lemari Penghilang sialan. Bahkan ketika si tengil bodoh itu mengacungkan tongkat sihir pada Dumbledore dengan tangan gemetaran dan kengerian di matanya, dia masih belum mengakui bahwa dia tak bisa menyelesaikan tugas dari Voldemort. Harry ingat sepersekian detik sebelum para Pelahap Maut tiba, Draco mulai menurunkan tongkat sihirnya ketika Dumbledore menawarkan jalan yang berbeda.
Mungkin Draco hendak menerima kekalahannya.
Harry berdiri dan berjalan menuju pintu geser, menariknya terbuka dan melangkah ke balkon. Entah bagaimana, apartemen terasa menyesakkan, bagai mencekiknya. Di luar, udaranya kering dan Harry bergidik, menarik mantel lebih erat. Di sini lebih dingin dibanding dengan di Devon Timur. Harry bertaruh besok pagi bakal ada kabut di atas sungai Thames.
Dia melihat kereta datang dan pergi. Dan malam itu dia tidak bermimpi.
.
tbc~

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart