Running on Air © eleventy7 chapt 13

Running on Air © eleventy7
Harry Potter © JK Rowling
Alih bahasa oleh neko chuudoku.
.
CHAPTER 13
.
Ketika pagi bergulir di langit, Draco menyarankan untuk mengemudi ke Brighton. Namun Harry kelelahan dan mereka pun check in di bed-and-breakfast lokal. Si resepsionis —seorang perempuan tua yang mengetik hanya dengan satu jari, lama sekali tiap satu hurufnya— tampak tak dapat berhenti menatap mereka. Harry tiba-tiba sadar jubahnya acak-acakan.
"Apa kalian bersama?" tanya si resepsionis.
"Tidak," jawab Harry.
"Ya," jawab Draco.
Si resepsionis terhenti.
"Ya," jawab Draco tegas, dan si wanita mengangguk, lanjut menghadap komputer. "Dia bermaksud bertanya apa kita bayar bersama, Potter," gumam Draco pada Harry.
"Yah, memang tidak," ujar Harry, sedikit malu tapi berusaha menutupi kesalahannya. "Aku bawa beberapa uang Muggle—"
"Jangan bodoh. Aku bawa kartu. Aku yang bayar."
Kemudian Harry —bila dia harus jujur pada diri sendiri— ngambek. Draco membayar untuk dua kamar dan membuat kesalahan fatal dengan bertanya tentang jalur setapak pesisir timur; si wanita langsung melancarkan percakapan (satu arah) antusias mengenai flora dan fauna lokal. Draco berhasil memisahkan diri dengan sopan lima belas menit kemudian dan mereka pun kabur ke kamar mereka.
Kamar Draco tepat di seberang koridor, Harry mengingat seraya membuka kunci kamarnya sendiri, menampakkan kamar luas dan rapi. Terdapat pemandangan laut yang luar biasa, tapi dia terlalu lelah untuk mengapresiasinya.
"Aku mau tidur," ujarnya pada Draco, separo menduganya akan berkata dia akan pergi jalan-jalan. Tapi Draco hanya mengangguk lalu membuka kunci kamarnya sendiri, menghilang ke dalam.
Harry menutup pintu, langsung menuju kasur, dan roboh di atasnya.
Hanya dalam beberapa menit, dia tertidur.
xxx
Mereka mengeksplorasi tebing esok harinya. Harry mempelajari bahwa mercusuarnya bernama Mercusuar Foreland Selatan. Mercusuarnya sudah tidak digunakan sejak 1988 dan diubah menjadi museum kecil, diawaki pemandu tua. Draco berlama-lama di depan diagram bola lampu berbingkai di dinding dan disapa oleh si pemandu, yang tampak antusias melihat ketertarikan Draco. Dia menyampaikan kuliah lima belas menit penuh tentang lampu karbon. Harry, meski dia terhibur, merasa kasihan pada Draco dan menyelamatkannya.
"Kita harus segera pergi," ujarnya, seraya berjalan ke arah Draco dan memiringkan kepala ke arah pintu.
"Ya, betul," jawab Draco santai, meski ada setitik syukur dalam suaranya, dan dia mengangguk sopan pada si pemandu sebelum mundur dengan buru-buru. Setelah mereka berada pada jarak pendengaran yang aman, Harry mulai tertawa dan Draco merengut.
"Mereka selalu begitu," kata Draco, tampak kesal. "Selalu. Aku berdiri di sana, mengurus urusanku sendiri, dan mereka akan mendekat dan mulai bercakap-cakap. Itu menjengkelkan."
"Sungguh mengerikan," goda Harry. "Orang-orang bersikap baik padamu. Bagaimana kau bisa tahan itu semua?"
"Sangat lucu, Potter." Draco berbelok ke jalan setapak pesisir. "Ayahku sangat ahli untuk tampak dingin dan terasing, mengecilkan hati siapa pun yang ingin mendekat. Kuharap aku punya efek yang sama pada orang-orang."
Harry berhenti untuk mengamatinya. "Kau tidak begitu. Cukup mengejutkan, tapi kau memang tidak punya efek seperti itu."
Aneh… Di sekolah dulu, Draco selalu menguarkan udara dingin. Tapi sekarang… terkadang dia tampak jauh, tapi dalam cara yang berbeda. Entah ketika dia menatap dalam diam pada diagram di mercusuar atau pun berdiri diam di depan meja resepsionis penginapan, dia tampak seperti semacam orang yang mungkin bukan pembicara yang baik, tapi sudah pasti pendengar yang baik.
Dia mengatakan itu pada Draco.
"Kau pendengar yang baik. Orang-orang suka itu."
Draco tampak tak tahu harus merespon apa, tapi Harry menangkap rona samar di wajahnya.
xxx
Mereka mengemudi ke Brighton. Atas permintaan Harry, mereka berhenti di Hopper's Crossing, sebuah pemukiman sihir kecil. Berhasrat menghindari tatapan menganga dan ekspresi takjub, Harry menggunakan mantra praktis untuk mengubah warna rambut dan memanjangkannya sedikit, menutupi bekas luka di dahinya. Dia melakukannya dengan asal saja, tapi seperti ini pun sudah cukup. Lagipula orang-orang tak akan menduga melihat Harry Potter di sini, dan Harry telah belajar bahwa manusia sering hanya melihat apa yang mereka sangka akan lihat.
Dia menukar beberapa galleon dengan uang Muggle di tempat penukaran lokal, lalu mengunjungi toko buku untuk membeli beberapa perkamen dan Pena Bulu Bertinta. Draco —yang telah lama menghilang ke toko pakaian terdekat— muncul lagi dengan rengutan dan tangan penuh kantong belanja.
"Kau sedang apa?"
"Menulis pada temanku. Aku tak mau mereka cemas."
Rengutan Draco makin dalam. Harry, menduga kekhawatiran Draco, menambahkan, "Aku tak akan menyebutkanmu sama sekali."
Dia menyodorkan suratnya pada Draco; isi suratnya pendek dan singkat, memberitahu Hermione dan Ron bahwa dia ingin istirahat, dia pergi liburan, dia baik-baik saja, dan dia tak sabar bertemu mereka lagi.
Draco membaca suratnya sekali, dua kali, tiga kali, sebelum berbicara pelan.
"Kau boleh bilang aku bersamamu."
Kali ini giliran Harry yang ragu-ragu.
"Boleh," ujar Draco. "Tak apa."
Harry mengangkat pena bulu dan menulis catatan tambahan.
P.S: Draco bersamaku, kami berdua baik-baik saja.
Lima menit kemudian, Harry menyaksikan burung hantu elang terbang dari kandang burung, sayapnya merentang di langit biru, garis samar surat di kakinya menghilang di kejauhan.
xxx
Selanjutnya, ketika mereka kembali ke jalan dan tengah menuju Brighton lagi, Draco berkata dia harus kembali ke manor.
"Ibuku akan cemas," ujarnya.
Harry menyalakan indikator dan menyalip mobil di depan. "Hermione dan Ron akan mengabarinya begitu mereka menerima surat dariku. Ibumu akan tahu kau baik-baik saja."
Draco mengerling ke luar jendela, menatap pemandangan bergulir cepat.
"Aku harus kembali," ujarnya. "Aku punya banyak kewajiban. Ibuku mengorganisir beberapa acara sosial untuk kuhadiri dan Astoria ingin bertemu pengacara—"
"Lupakan semua kewajibanmu."
Hal itu merebut perhatian Draco. Dia menoleh untuk menatap Harry.
"Apa?"
"Lupakan semua kewajibanmu," ulang Harry. "Kau tidak boleh kembali hanya karena kau perlu menghadiri acara sosial apa pun yang Narcissa organisir atau karena Astoria membuat janji. Aku ingat kau pernah berkata padaku sekali: 'Apa gunanya itu, duduk dalam kotak dan hanya pergi kemana pun orang lain membawamu?' Itulah alasan kau pergi, dan itu akan menjadi alasan kau pergi lagi."
Draco masih menatap Harry.
"Aku tak pernah mengatakan itu padamu," ujar Draco akhirnya.
Harry mengeryit. "Apa?"
"Aku tak pernah berkata 'apa gunanya, duduk dalam kotak' padamu. Aku mengatakannya pada Astoria. Kau hanya melihatnya dalam memori."
Harry tertawa tak percaya. "Hanya itu yang kau tangkap dari percakapan ini? Ya Tuhan, Malfoy, kau bisa jadi sangat…" Dia menggelengkan kepala.
Draco tak sudi menjawab itu, tapi ketika Harry mengerlingnya lima menit kemudian, dia dapat melihat Draco tersenyum.
"Apa?" tanya Harry.
"Apa?"
"Apa yang kau senyumi?"
"Bukan apa-apa."
Mereka terjatuh ke dalam keheningan lagi. Tapi dua puluh menit kemudian, ketika mereka separo melintasi jembatan di atas Sungai Ouse, Draco bicara lagi, tidak mengalihkan tatapannya dari jendela.
"Kau terlalu banyak tahu tentangku, Potter."
Harry menyembunyikan senyuman.
xxx
Mereka tiba di Brighton. Harry, yang sudah muak mentransfigurasi benda-benda menjadi sikat gigi dan sisir, pergi ke toko obat terdekat. Draco, meski dia sangat familiar dengan mobil dan pom bensin, tampak tertarik oleh banyaknya barang yang tersedia dan Harry mesti menyeret dia pergi dari jajaran botol sirup obat batuk.
"Itu sama saja dengan Ramuan Pepper-Up," ujar Harry.
"Sama sekali tidak. Kita pakai lacewing dan mata kumbang— sedangkan mereka pakai…" Draco memiringkan kepala, menatap label di botol obat. "…Dextromethorphan."
"Yah, tidak diragukan lagi Muggle akan sama ngerinya bila mereka tahu kita menelan bagian tubuh serangga."
"Semua orang menelan serangga. Sebatang coklat rata-rata mengandung delapan kaki serangga di dalamnya."
"Apa? Itu omong kosong."
"Serangga sudah pasti hadir pada proses memanen biji kakao. Berusaha memproduksi coklat bebas serangga jauh terlalu mahal."
Harry menunduk menatap Double Decker di tangannya dan menimang untuk menaruhnya kembali ke rak. Akan tetapi —bila yang dikatakan Draco benar— ada sedikit bagian tubuh serangga pada setiap coklat.
"Kau mau?" tanyanya, menyodorkan Double Decker dengan setitik tantangan dalam suaranya.
"Kenapa tidak?" kata Draco, membalas tantangannya dengan alis terangkat.
Mereka membayar belanjaan mereka —atau lebih tepatnya, Draco membayar memakai kartunya. Harry merasa sedikit tak nyaman soal Draco yang membayar segalanya sejauh ini, tapi Draco tampak tak peduli dan dia tak membuat Harry merasa dia berhutang apa pun.
"Darimana kau belajar soal coklat itu, sih?" tanya Harry kemudian, ketika mereka tengah berjalan melintasi Royal Pavilion.
"Berkelana ke Birmingham dan pergi ke Cadbury World."
Harry tertawa. "Kau pergi ke Cadbury World? Dan selama ini kupikir kau melakukan perjalanan yang sangat serius untuk mencari jati diri di seluruh Britain."
"Coba saja kau cari sesuatu untuk dilakukan di Birmingham," balas Draco.
Hari itu musim panas yang nyaman. Kubah-kubah dan puncak-puncak menara Royal Pavilion yang berbentuk bawang terbuka ke langit, berkilau putih di bawah cahaya matahari senja, dan taman-taman tersebar jauh dari bangunan dalam hamparan hijau subur.
Harry tidak keberatan tinggal di sini untuk beberapa waktu.
xxx
Mereka pergi ke kafe untuk makan siang. Harry menganggap hari itu spesial; Draco cepat-cepat menyanggahnya.
"Kau tahu kan bahwa 'spesial' biasanya makanan yang sebentar lagi basi? Mereka mati-matian ingin menyingkirkannya."
"Kau tahu," balas Harry, "bahwa kau secara sistematis menghancurkan segala sesuatu yang dulu kusenangi soal makanan? Serangga dalam coklat, sekarang ini…"
"Meski begitu kau tak akan mengubah pilihanmu." Hal ini tidak dimaksudkan sebagai hinaan, pikir Harry, dilihat dari nada bicara Draco dan cara dia menggedikkan bahu sesudahnya. Hanya pengamatan kasual.
Akan tetapi, Harry terus memikirkannya selama makan. Manusia membuat pilihan salah; manusia diberi tahu; manusia lanjut membuat pilihan yang salah meski telah diberi tahu.
Dia bertanya-tanya pada titik mana kesetiaan Draco pada Voldemort menjadi sebuah pilihan sadar.
xxx
Harry bersikeras mengunjungi pantai sebelum mereka pergi.
"Saat aku masih kanak-kanak," ujarnya, "semua orang yang kukenal pergi ke Brighton untuk ke pantainya." Dan sekarang akhirnya dia memiliki kesempatannya sendiri.
Draco tidak tampak terlalu antusias, tapi dia tidak menolak secara langsung ketika Harry langsung menuju dermaga. Area tepi pantai dipenuhi turis kebingungan, penduduk lokal yang jengkel, dan kafe dengan musik berisik. Pantai itu sendiri dipenuhi keluarga-keluarga. Hari libur sekolah, Harry ingat. Ada terlalu banyak anak kecil memekik dan menendang pasir di sana-sini.
"Banyak sekali orang," kata Harry akhirnya, seraya menatap lautan melewati hidung-hidung terbakar matahari dan kaki-kaki pucat.
"Ini kan Brighton."
Harry kira Draco akan berkata kubilang-juga-apa dengan nada penuh kemenangan. Berpuas diri, sesuatu yang menjengkelkan. Tapi Draco yang seperti itu sudah lama terbasuh oleh perang dan kelelahan.
Kau ingat ketika kita masih sebelas tahun? Mari kembali ke masa itu.
Tapi Harry senang meninggalkan masa lalu di tempat seharusnya.
xxx
Petang harinya, mereka mengemudi menuju Southampton. Perjalanannya menghabiskan waktu dua jam. Harry, yang bertugas sebagai navigator perjalanan, memilih rute langsung. Dia bertanya-tanya apakah Draco lebih suka rute jalan yang indah dan berkelok-kelok, seperti biasanya, tapi Draco tidak mengatakan apa pun soal pilihan jalan Harry. Mereka berpacu di sepanjang M7, Draco percaya diri seperti biasa. Dalam cahaya temaram matahari senja, seekor rubah melintasi jalan dan Draco menghindarinya dengan apik.
Mereka tiba di Southampton jam delapan tiga puluh. Matahari tengah terbenam di atas kota, tapi Draco tampak tak ingin berlama-lama di sana. Harry menyebutkan observasi itu dan Draco mengangkat bahu.
"Aku pernah kemari sebelumnya."
Mereka berhenti di perlintasan kereta api, palang pintu terayun menutup, bel peringatan merah berkedip-kedip bagai suar di malam hari. Ketika mereka menunggu kereta api lewat, mata Draco berkelip pada spion tengah.
"Ini nyata," ujarnya.
Harry terdiam. Suara Draco naik di ujung, mengubah pernyataan menjadi separo pertanyaan tak yakin.
"Menurutmu ini tidak nyata?" tanya Harry hati-hati.
"Aku tak tahu." Mata Draco berpaling dari kaca, tatapannya terkunci pada mata Harry sebagai gantinya. "Terkadang aku… kesulitan membedakan antara mimpi, memori, dan realita."
Apa kau menceritakannya pada para Penyembuh? Harry ingin bertanya, tapi menahan dorongan itu. Tidak, tentu saja Draco tidak memberi tahu para Penyembuh. Mereka tidak akan membiarkannya pulang. Tidak, tentu saja dia tidak memberi tahu ibunya. Ibunya bergantung pada topeng kenormalan.
Tidak, dia hanya memberi tahu Harry. Dan Harry tahu itu penting.
"Dengar," kata Harry, seraya meraih tangan Draco. Draco tampak kaget, tapi tidak menarik tangannya ketika Harry menyelimuti tangan Draco dengan tangannya. "Saat kau terjebak dalam waktu, kita tidak bisa bersentuhan, kan? Jadi ini pasti nyata."
Draco menatap Harry, lalu mengerling tangan mereka yang bertautan.
"Kau punya bekas luka," Draco mengamati. Harry terkejut dan mengikuti arah pandang Draco. Lampu jalan bersinar perak samar di atas kulit Harry, menampakkan jalinan huruf-huruf. Saya tidak boleh berbohong.
"Begitu pula kau," ujar Harry, sedikit menguraikan tangannya untuk menyapukan ujung jarinya di atas lengkungan ekor ular memudar.
Kereta bergegas lewat, menderu, gerbong-gerbongnya beradu dengan rel dengan repetisi persis. Draco menatap lurus ke depan dan Harry bertanya-tanya apakah dia tengah menghitung gerbong.
Gerbong terakhir bergegas lewat dan garis gelap kereta dengan segera menghilang di sepanjang lengkungan rel. Bel peringatan menghentikan bunyi konstannya secara tiba-tiba; sinar merahnya berkelip dan mati. Draco menarik tangannya, melepas rem tangan ketika palang pintu naik, lalu mengemudi melintasi rel.
Lampu depan mobil menukik sejenak sebelum menerangi rentangan aspal tanpa ujung lagi.
xxx
Mereka berhenti untuk bermalam di Bournemouth. Setelah mereka menemukan bed-and-breakfast sesuai dan memesan kamar masing-masing, Draco bertanya apakah Harry akan memberi tahu para Penyembuh.
"Memberi tahu mereka apa?" tanya Harry, seraya berjalan pelan di sepanjang koridor, mencari nomor kamarnya.
Rupa-rupanya penemuan kesabaran Draco ada batasnya. Dia memberi Harry tatapan jengkel dan Harry tiba-tiba ingat. Realita dan memori, melebur bersama dan tercerai-berai bagai pasir dilempar ke langit.
"Tidak," jawabnya. "Maksudku, itu bukan urusanku, kan?"
"Ibuku akan cemas kalau dia tahu."
"Yah, kalau begitu jangan beritahu dia," kata Harry, tiba di depan pintu kamarnya.
Draco menatap Harry, membuka mulutnya, lalu tampak berubah pikiran dan menutup mulutnya lagi.
"Sampai jumpa besok," sebaliknya dia berkata.
"Besok," balas Harry, seraya membuka pintu dan melangkah ke dalam. Dia menutup pintu di belakangnya dan menatap ke seberang ruangan kosong yang gelap.
Dia bermimpi malam itu, tentang hujan yang menghajar tato gelap di sepanjang kulit daratan.
xxx
Harry serius dengan apa yang dia katakan pada Draco.
Jangan kembali demi mereka. Kembalilah demi dirimu sendiri.
Dia bertanya-tanya untuk siapa dia kembali.
Dia kembali demi semua orang lainnya, selama perang. Setidaknya, dia senang berpikir begitu. Dia melakukannya demi mereka, ribuan kelahiran Muggle tak berwajah yang hancur di bawah kekejaman rezim Voldemort. Para penyihir laki-laki dan perempuan yang mati-matian berharap akan masa depan yang lebih baik. Kawan-kawannya sesama murid Hogwarts, memenuhi koridor-koridor Hogwarts dengan jeritan mereka ketika Carrow bersaudara menyiksa mereka.
Dia melakukannya demi sahabat-sahabatnya. Hermione dan Ron, yang selalu ada tak peduli apa yang terjadi. Luna, yang diculik dan ditinggalkan untuk layu di ruang bawah tanah Malfoy Manor yang gelap. Neville, yang berteriak bahwa dia tidak akan pernah menyerah, tidak akan pernah. Ginny, yang bersinar dan cantik, selalu berjuang.
Dia melakukannya demi mereka. Tentu saja.
…Tapi sebagian dari dirinya selalu berharap untuk bergabung dengan kedua orangtuanya. Aneh; pada awal segalanya, dia takut akan kematian. Dia ngeri akan kematiannya sendiri.
Tapi menjelang akhir, dia terus berpikir mungkin akan baik. Bahkan mungkin menyenangkan, untuk menyerah begitu saja. Dia akan bersama kedua orangtuanya lagi, dan Sirius, dan —ketika perang terus berkecamuk— Remus. Mereka semua tersenyum menyambutnya. Mati? Sirius berkata. Lebih mudah dan lebih cepat dari tertidur.
Tentu saja.
Mudah untuk pulang.
Tapi Harry tak pernah pulang.
Selalu, selalu, pergi menjauh.
xxx
Mereka mengemudi esok harinya, tapi tidak jauh —mereka berhenti di suatu tempat antara Poole dan Exmouth, menghabiskan tiga hari di paroki kecil di Salmouth-on-Sea. Harry tidak keberatan. Kadang mereka berjalan bersama di sepanjang pantai —begitu kosong dan berangin dibanding pantai Brighton yang hiruk pikuk— dan di waktu-waktu lainnya Draco menghilang sendirian, untuk melihat-lihat toko, menyusuri jalan setapak pantai, atau mengunjungi mercusuar tua.
Pada hari ketiga, Draco menelusurkan satu jari di sepanjang peta pesisir barat daya dan berkata mereka akan pergi ke Cornwall.
"Baiklah," ujar Harry.
Mereka meninggalkan garis pantai, bergabung dengan daratan A31. Harry mendengarkan suara ombak makin menjauh. Dia akan merindukannya. Suara konstan ombak menyapu daratan, selama beberapa hari terakhir, terasa bagai gema aliran darah dalam nadinya, menjaga detak jantungnya.
"Kau mengambil rute langsung," ujar Harry di suatu tempat sekitar tengah malam ketika Draco mengemudi melintasi Launceston. "Kupikir kau suka rute pemandangan."
"Kadang-kadang," jawab Draco.
Keheningan mengerubungi mereka lagi. Harry tengah menatap ke luar jendela, menatap lampu-lampu kota kabur dan memudar di kejauhan, ketika Draco bicara lagi.
"Kenapa kau melakukannya?"
Harry, hampir terlena untuk tidur oleh lampu-lampu jalan memudar, butuh waktu sejenak untuk mencerna pertanyaan itu.
"Melakukan apa?" tanyanya mengantuk.
"Ikut denganku."
"Ke Cornwall?" Harry masih berusaha untuk terjaga dengan benar.
"Ke mana saja, kemana-mana," kata Draco. "Kenapa kau membetulkan Renault-ku? Belajar mengemudi? Ikut bersamaku dalam perjalanan ini? Ke Dover, ke Brighton, ke mana saja?"
Ke jantung antah berantah.
"Untukmu, kurasa." Harry sudah berada di puncak rasa kantuknya.
"Apa?"
"Untukmu," ulang Harry.
Hening beberapa menit— atau mungkin lebih, Harry tak yakin, karena panggilan alam mimpi berbisik padanya, dan dia hampir dengan segera menyerah dan tertidur.
xxx
Dia bangun pada saat mereka berkendara di sepanjang sisi jalan entah di mana. Dia mengerjap-ngerjap dan perlahan menarik dirinya kembali ke alam sadar, menatap padang bergegas lewat.
Lalu—
"Tunggu," katanya. "Berhenti."
Draco menyalakan indikator, meski tak ada mobil lain di jalanan. Dia tak pernah lalai.
Jangan salah artikan kepercayaan diriku sebagai kecerobohan.
Dia menepikan mobil ke sisi jalan. "Ada apa, Potter?"
"Tunggu sebentar," ujar Harry perlahan. Dia membuka pintu mobil, Draco mematikan mesin.
Padang terbentang di hadapannya, sama gelapnya dengan tumpahan sebotol tinta. Tapi dia mengenal tempat ini.
Harry melangkah ke bahu jalan, merasakan kerikil menekan tanah lembut. Tangkai-tangkai gandum melengkung lembut ketika dia menelusurkan tangannya di sana. Matahari telah mengelantang warna padang; sekarang berwarna emas pucat, hampir sewarna tulang-belulang…
"Tulang belulang," ujar Harry.
"Apa?" tanya Draco tajam. "Ada tulang belulang?"
"Tidak." Harry menggelengkan kepala, kemudian dia tertawa. Suaranya jauh lebih keras dari yang dia kira. Alih-alih terserap bumi, suara tawanya menggema di sepanjang padang, terbang ke langit malam yang cerah. "Tidak lagi. Musim panas lalu, ketika aku tengah mengerjakan kasus lain, aku menemukan tulang belulang di sini." Dia menghembuskan udara cepat. "Sekarang aku di sini lagi."
Dia menoleh pada Draco dan menangkap kilasan tak yakin melintasi wajahnya dengan cepat.
"Baik-baik saja?" tanya Harry.
Draco ragu-ragu.
Hanya itu yang Harry butuhkan untuk berjalan ke arah Draco dan menggenggam tangannya.
"Ini nyata," ujarnya, tangannya mengerat refleks di sekeliling tangan Draco. "Bukan memori."
Draco menunduk pada tangan mereka yang bertautan. "Terkadang aku lupa," katanya pelan.
"Aku tahu."
"Aku tak bisa begitu membedakan."
"Tidak apa."
Harry melihat jam berdetak, menandai setiap detiknya. Saat itu tengah malam dan mereka berdiri bersama, bergandengan tangan, di bawah langit yang begitu jernih hingga Harry dapat melihat cahaya bintang Orion dan Bimasakti antara bintang-bintang. Dia dapat melihat Sirius bersinar cerah, dia bahkan dapat melihat sinar samar Eltanin, kepala rasi bintang Draco.
Harry merendahkan tatapannya untuk menatap ke seberang padang. Mungkin ini tempat yang sama, mungkin pula bukan.
Itu tidak penting.
In inceptum finis est.
xxx
Mereka berhenti di Truro untuk mengisi bahan bakar. Harry menyarankan untuk menginap satu malam. Bila tebakannya betul, mereka akan menuju Landewednack. Ketika mereka tiba di paroki kecil itu, semuanya bakal sudah tutup dan mereka harus tidur di mobil atau terus terjaga sepanjang malam.
Beberapa tempat pertama yang mereka coba tidak memiliki kamar kosong. Saat itu awal libur musim panas dan Cornwall terbukti menjadi tujuan banyak pengelana. Akhirnya, mereka menemukan penginapan dengan satu kamar tersedia. Hanya satu, tapi setidaknya kasurnya ada dua. Harry kira Draco akan mengomel, tapi Draco hanya mengangkat bahu dan membayar uang jaminan.
Ketika mereka berhasil melacak kamar —sistem penomoran kamar digantikan oleh nama-nama sentimental— Draco mengklaim kasur dekat jendela dan dengan segera membuka jendelanya. Harry bertanya-tanya apakah itu kebiasaan. Di Hogwarts, Seamus rajin membuka jendela tidak peduli musim atau cuaca, dan hal itu sering menyebabkan pertikaian dengan mereka-mereka yang tidak terlalu senang dengan iklim Scotland yang dingin menggigit. Pada akhirnya, Ron —di tengah kejengkelan— menerapkan selotip ganas untuk menutup permanen jendelanya.
Terjadi pergumulan kekanakan singkat untuk berebut ke kamar mandi. Draco menang setelah mendaratkan sikat gigi ke kepala Harry.
"Baiklah! Silakan mandi duluan, kalau begitu," ujar Harry cemberut. "Kuharap kau kepeleset ubin."
Draco hanya memberinya tampang puas lalu menutup pintu. Beberapa detik kemudian, terdengar dengung shower dinyalakan.
Harry berjalan ke arah jendela dan menutupnya hanya demi membuat Draco sebal.
xxx
Tentu saja, saat Harry kembali dari gilirannya mandi, jendelanya terbuka lagi. Rupa-rupanya Draco sudah tertidur, meski suara nyanyian mabuk melayang dari kamar tetangga dan lampu di samping kasur Harry memancarkan sinar ke seluruh kamar. Untuk beberapa alasan, Harry selalu mengira bahwa Draco adalah tipe orang yang mudah terusik tidurnya.
Dia duduk di ujung kasur dan membuka kacamata, mendengarkan suara klik familiar ketika dia menutup bingkai kacamata. Inilah rutinitas yang dia lakukan sepanjang hidupnya, tidak peduli apa yang terjadi. Entah saat dia tidur di bawah tangga di Privet Drive, atau malam pertamanya di Hogwarts, atau saat dia akhirnya bisa ke kasur usai Pertempuran Hogwarts setelah mereka mengidentifikasi semua yang gugur— di penghujung hari, dia selalu membuka kacamata dan menyimpannya di tempat aman.
Dan setelahnya, tentu saja, dia menempatkan tongkat sihirnya di samping kacamata. Selama perang, ketika dia tengah memburu Horcrux, dia mulai tidur dengan tongkat sihir di bawah bantal. Hermione tidak senang dengan itu —dia bilang terlalu banyak penyihir mengalami kecelakaan mantra serius karena itu— tapi Harry tak ingin mengambil resiko serangan malam hari dan tongkat sihir hilang.
Sekarang, dia menaruh tongkat sihirnya di samping kacamata, mendengarkan suara tap pelan yang dihasilkan. Ada sesuatu yang menentramkan dari fakta bahwa dia masih memiliki tongkat sihir yang satu ini. Tongkat sihir yang sama yang mengandung bulu phoenix yang disumbangkan Fawkes. Tongkat sihir yang sama yang dicuri Crouch Jr. dan dipakai untuk memanggil Tanda Kegelapan. Tongkat sihir yang sama yang menghancurkan tongkat sihir milik Lucius Malfoy, yang merapalkan Patronus pertama Harry, yang menyelamatkan Sirius dari Dementor-Dementor, yang memaksa tongkat sihir Voldemort menghentikan kutukan kematian yang dirapalkannya.
Ketika dia jatuh tertidur, dia pikir dia dapat mendengar suara lautan.
xxx
Saat dia bangun, Draco tidak ada. Harry tidak terlalu cemas. Sikat gigi Draco masih ada di kamar mandi, tongkat sihirnya ada di meja samping kasur. Harry pikir aneh sekali Draco tidak membawa tongkat sihirnya. Dia bertanya-tanya apakah Draco lupa. Setelah sesaat keraguan, dia mengambilnya.
Dia kira dia akan melihat perubahan. Kesetiaan tongkat sihir ini telah beralih lagi, tentu saja, dan akan ada beberapa resistansi. Tapi tongkat sihir ini terasa seakan menyapanya bagai teman lama.
"Lumos," bisik Harry, hanya untuk melihat apakah tongkatnya akan menolak.
Tapi tongkatnya seketika memancarkan sinar putih kebiruan.
Terdengar ceklik samar kenop pintu lalu, di seberang kamar, pintu melayang terbuka. Harry salah tingkah.
"Nox," celetuknya, seraya menjatuhkan tongkat sihirnya.
Draco menatap Harry, lalu menatap tongkat sihirnya, lalu kembali ke Harry lagi.
"Barusan itu licik," ujar Draco setelah beberapa lama.
"Aku—kupikir kau melupakan tongkat sihirmu," kata Harry, wajah memerah.
"Aku pergi sarapan," kata Draco singkat, seraya melintasi kamar dan memungut tongkat sihirnya.
"Apa? Dan kau tidak bawa serta tongkat sihirmu?"
"Tempat ini murni pemukiman Muggle. Tongkat sihirku tidak diperlukan untuk makan roti panggang dan membaca koran."
"Kau harus selalu membawa tongkat sihirmu kemana pun, untuk jaga-jaga," ujar Harry cepat-cepat. "Bagaimana kalau kau diserang?"
"Tenanglah, Mad-Eye," hardik Draco. "Dan jauhkan tanganmu dari tongkat sihirku."
Harry memerah makin dalam. "Aku hanya… Kupikir tongkat sihirnya akan… tidak ramah, hanya itu. Jadi kupikir aku mungkin bisa mencobanya dan merapal mantra… Maksudku, kesetiaannya mungkin sudah beralih… Kau tidak mengalami kesulitan untuk menggunakannya, kan?"
"Tentu saja tidak." Draco menghilang ke kamar mandi, rupa-rupanya menganggap perbincangan sudah selesai. Sesaat kemudian, dia mulai menggosok gigi.
Harry menuruni tangga untuk sarapan dengan merana.
xxx
Mereka mengemudi menuju Landewednack. Harry tetap diam selama perjalanan hingga Draco kehilangan kesabaran di suatu tempat setelah Helston.
"Apa?" tandasnya. Harry, yang tengah melamun sembari menatap atlas jalan, mengeryit.
"Tak ada apa-apa."
"Kau ngambek sejak kita meninggalkan Truro," ujar Draco ringkas. Harry menoleh untuk menatapnya.
"Aku?" tanyanya tak percaya. "Kaulah yang terus mendiamkanku!"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kau marah padaku," kata Harry jengkel. "Hanya karena aku merapal satu mantra —dan baiklah, seharusnya aku tidak melakukan itu, seharusnya aku—"
"Kau betul-betul masih ngambek masalah itu?" tuntut Draco. "Tak bisa dipercaya, Potter. Ya, aku memang sedikit sebal pada saat itu, tapi aku sudah melupakannya saat kita keluar dari penginapan. Tidak seperti kau, aku tidak suka menyimpan dendam."
"Tidak suka menyimpan dendam? Kau gila? Saat kau masih remaja—"
"Semua remaja menyimpan dendam! Berikan aku contoh satu saja remaja yang tidak mementingkan diri sendiri!"
Harry membuka mulut, lalu mengingat Hermione dan Ron yang berciuman dengan semangat sementara perang berkecamuk di sekeliling mereka.
"Neville," gumam Harry akhirnya, seraya melotot pada Draco. "Neville tidak mementingkan diri sendiri."
"Longbottom juga senang menyirami tanaman dan memakai rompi dengan corak membosankan. Akui saja, dia tidak pernah remaja."
"Jangan hina temanku!"
"Bagaimana bisa itu disebut hinaan? Aku hanya bilang—"
"Yeah, aku mendengarmu! Dan setidaknya aku punya teman—"
Draco menyetir keluar dari jalan dengan tajam dan Harry panik untuk sesaat.
"Kau mencoba membunuh kita?"
"Tidak." Draco mematikan mesin, mengeluarkan kartu kunci dari dalam kantung dan melemparkannya pada Harry. Butuh waktu beberapa saat bagi Harry untuk mencerna apa yang tengah terjadi ketika Draco membuka pintu, melangkah ke luar, lalu menghantam pintu hingga tertutup.
"Tunggu— kau mau kemana?" kata Harry, seraya bergelut untuk membuka sabuk pengaman.
Draco menoleh dan menatapnya. "Menjauh darimu," jawabnya.
Dengan itu, dia ber-Dissaparate.
.
tbc~ 

Comments

Popular posts from this blog

Galaksi

thats my brain said to my heart